oleh Taufik Darwis
Apakah yang terjadi bila naskah (teater) mementaskan dirinya sendiri? Lahir kurang dari 66 tahun lalu, naskah itu tetap berjalan dan tidak ingin berhenti. Sebab menurutnya, berjalan dengan tidak berjalan sama-sama lelahnya. Maka, untuk melengkapi kisahnya yang pasti menghadapi kelelahan itu, dia melengkapi kisahnya sendiri malah dengan cara tidak melengkapi, tapi dengan mengosongkan kisahnya. Lalu, teater dan panggung apa atau seperti apa yang bakal hadir dari naskah yang ingin mementaskan dirinya dengan logika seperti ini?
Pertanyaan itu hadir ketika Mbah Tohir Srimulat dengan santai (yang kukuh mempertahankan meskipun mempunyai pengalaman pahit dengan ke-Srimulat-annya) menjawab Tony Broer yang menanyakan (naskah) Yokasmo ini dari mana dan akan dipentaskan seperti apa, dengan jawaban, “Yokasmo ini nama peran yang sering saya pentaskan di pentas-petas horor lokal Srimulat, biarkan naskah yang mementaskan dirinya sendiri” di sebuah diskusi kecil menjelang pertunjukan monolognya di Auditorium HMJ Teater FSP ISI Yogyakarta, Kamis (21/09/2012) malam.
Menurut penuturannya, Mbah Tohir berteater sejak masih SMP, juga belajar seni rupa di Akademi Seni Rupa Surabaya sebagai mahasiswa. Bergabung dengan grup Srimulat tahun 1967, dengan mengawali sebagai pelukis reklame, lalu dipercaya sebagai aktor spesialis horor dan menjadi direktur artistik. Di tahun 1989 bergabung dengan Srimulat kota Solo sebagai sutradara, stage art dan aktor, lalu berkeliling ke Srimulat Semarang dan Jakarta.
Naskah yang menyutradarai
Naskah itu ternyata memiliki visi sebagai seorang sutradara juga. Di panggung beberapa menit menjelang pentas, dia begitu cekatan memberikan instruksi kepada penata cahaya untuk memberikan penekanan-penekanan (dengan bahasa pencahayaan) pada panggung yang akan dihadapinya. Kadang di panggung itu terdengar bunyi-bunyi yang mewakili huruf tak beraturan dengan cepat tapi memiliki kisah, ruang dan nasibnya masing-masing. Dimengerti dan tidak dimengerti. Nasib yang menjengkelkan itu juga menjadi narasi penting dalam pertunjukan Yokasmo-nya Mbah Tohir. Yokasmo yang dalam kisah ini berarti seorang aktor/pemain panggung, bukan peran (tokoh horror) dalam pentas-pentas Srimulat yang dimainkan oleh pemain panggung (tema yang juga hmpir serupa dengan lakon Nyanyian Angsa-nya Chekov).
Pertunjukan Yokasmo dimulai dengan kemunculan Mbah Tohir yang membaca sebuah sajak dengan membesarkan tubuh dan vokalnya. Sebuah sajak gelap yang hangat, tapi begitu muda dan gagah ketika dibacakan (seperti Hamlet yang berhadap-hadapan degan pisaunya). “…hidup hanya menunggu penghabisan. Pejamkanlah matamu yang liar dan bergerak bergelombang, beribu cahaya akan menjemputmu, itu adalah kunang-kunang yang lahir dari jasad ibu dan bapakmu.” Lalu adegan berubah, tubuh dan vokal pun berubah. Sampai panggung memberi pengetahuan bahwa naskah yang disebut Mbah Tohir tadi memang mementaskan dirinya sendiri, dan menyutradarai dirinya sendiri. Pengetahuan itu muncul ketika Sang Peran (Yokasmo) merumuskan dirinya sendiri melalui bahasa ungkap yang dekat dengan apa yang sering dibicarakan dan dilakukan Mbah Tohir. Misalnya, ketika Mbah mencoba menembang Jawa sambil berusaha mengambil perhatian tubuh penonton agar menjadi santai penuh tawa tapi tetap ketat menjaga agar perhatian penonton tidak mondar-mandir. Sebuah logika komunikasi yang renyah untuk mengganti sekantung kacang rebus dalam mengikuti adegan-adegan selanjutnya. Mbah Tohir adalah wakil dari kondisi sebuah generasi yang tidak ingin kehilangan narasi.
Hantu Lokal yang menertawakan kemiskinan
Untuk menjaga narasi itu, Mbah Tohir memakai nama Yokasmo agar kenangan selama perjalanan hidupnya itu tidak menjadi ‘yang lain’ bagi dirinya, tapi terus dihisap melalui kepercayaan pada sikap toleran dengan diri yang terus menerus, hingga menjadi sebuah naskah yang juga dipercayai untuk mementaskan dirinya sendiri. Meskipun proses penghisapan itu beresiko membuat aktor-aktor muda menjadi gila karena di teater masih ada orang yang masih bisa menertawakan kemiskinan di kala tua seperti guyonannya (kurang lebih dikatakan seperti ini), “heh, makin hari angka kemiskinan berkurang, karena banyak orang miskin yang mati”.
Mbah Tohir pernah menjadi pelukis reklame film-film dibioskop yang tiap sambil melukis dia berhadapan dengan imaji keterkenalan yang dibawa industri film. Mbah Tohir juga pernah bergabung di Srimulat yang mempunyai sisi sejarah panggung yang melahirkan artis-artis dalam masa perkembangan awal TV. Besar atau kecil, itu pasti memberi pengaruh yang banyak, Seperti igauan-igauan Yokasmo di panggung setelah menemukan dirinya terbangun, dia mendapati bahwa dirinya sendiri (kecuali teman sekamarnya) adalah seorang miskin. Apa yang dicari Mbah Tohir selain melaksanakan kepercayaannya pada panggung, “belajar hidup dari kehidupan” tegasnya. Sikap yang mungkin omongkosong untuk orangorang yang pragmatis. Tetapi itulah yang menjadikannya tetap berjalan meskipun kemiskinan tetap menghantuinya untuk berhenti, lebih dari akting menghantui Yokasmo dalam panggung Srimulat, melakukan pentas keliling dengan membawa dirinya sendiri, ya sendiri.
Tidak perlu menilai pertunjukan Yokasmo dari unsur-unsur teknisnya, tidak perlu. Biarlah keluwesan bermain untuk menjadi bukan hanya Yokasmo, kesungguhan menghadirkan imaji penjara dari seutas tali, atau daya tahannya dalam menghadirkan beberapa gaya seni peran dari Shakespearean sampai Srimulatan itu menjadi naskah yang benar-benar mementaskan dirinya sendiri yang terus berjalan. Sebab berhenti sama-sama lelahnya, sampai menjemput atau dijemput kunang-kunang pun sama-sama hangatnya.***
*Yokasmo ini akan dipentaskan kembali di Bandung sebagai salah satu rangkaian pertunjukan dalam acara ”The Second Invitation to the Theatre"
, (Jurusan Teater STSI Bandung) tanggal 20-22 November 2012.
Komentar
Posting Komentar