Langsung ke konten utama

coretan-catatan EKONOMI SENI (SUBLIM)

23 Desember 2013 pukul 23:48
--------------------------------------------

Dengan tidak mau mereduksi seni dalam sisi ekonomi semata-mata. KIta harus berani ngomongin atau bahkan ngawinin estetika dan ilmu ekonomi. si Baudrillard pernah bilang, bahwa memang sudah terjadi pertautan antara seni dan ilmu ekonomi (masyarakat postmodern). Awalnya orang ngomongin ilmu ekonomi itu ngomongin etika mengatur hubungan sosial, pasar. Pasar adalah dunia petukaran, bahwa sekarang dalam masyarakat kosumsi, pertukaran pertama-tama merupakan pertukaran tanda, kita tuh sangat mudah mengatakan ketika mengadakan pertukaran di pasar: “kita hanya menukarkan nilai tanda”. Tapi tidak sesederhana itu, kita perlu tahu anatomi pasar itu. Baudrillard mencoba membedakan jenis-jenis nilai yang ada di pasar dan bagaimana nilai-nilai ada itu dipertukarkan, dan nilai tertentu berubah menjadi nilai lain.



Masingmasing seni punya pucak dan bahayanya sendiri. Misalnya, seni Pertunjukan: begitu layar dibuka dan pintu ditutup manajemen produksi tidak bisa merubahnya lagi. Outputnya hanya ketika dimainkan di ruang dan waktu yang tidak bisa diulangi (keren).

Tapi kita tetap harus lihat dari sisi kepentingan seni. Kita harus melihat kepentingan ini, sebab kalau tidak seni dengan mudah dikooptasi kepentingan-kepentingan lain. Kalau kita ngomongin industri kreatif sampai pengaruhnya ske ekonomi kreatif kita bisa sampai menemukan prinsipprinsip kreatifitas yang  tidak sama dengan prinsip industri:

Bukan soal produksi tapi soal refleksi (kegiatan mental-berfikir), bukan untuk cari kemapanan tapi soal eksperimen, bukan soal output tapi input, bukan seragam/identik tapi berbeda, bukan wilayah duit tapi persoalan budaya, bukan soal mayoritas tapi minoritas, bukan soal domain privat tapi domain publik (politik)?:

Jadi kreatifitas pertama-tama adalah nilai budaya, kebenaran autonomi posisi, dan wilayah-wilayah yang belum terdefinisikan, membuat destabilisasi. Seni sebagai bahasa kemanusian dan medium emansipasi, menjadi pengalaman negatifiti, mengundang kita ke wilayah yang kita tidak tahu.
ah..


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka