Langsung ke konten utama

PERFORMING CULTURAL STUDIES

30 Juli 2013 pukul 18:15

(Disarikan dari: Henry.A.Giroux (2000). Impure Acts: The Practical Cultural Studies. New York, Routledge, hlm 126-141)

Melalui tulisan ini, Giroux secara kritis mengkritisi kelemahan para akademisi yang cenderung membatasi diri pada dunia akademiknya semata dengan tujuan untuk menjadikan pekerja budaya sebagai Intelektual Publik Oposisional. Pembentukan intelektual publik oposisional ini secara implisit dalam konteks kajian budaya merujuk pada dua unsur penting yakni pendidikan dan politik. Untuk lebih jelasnya, akan diuraikan sebagai berikut.

1. Pendidikan
Upaya pengembangan teori kajian budaya sebagai sebuah praktek pendidikan yang interdisipliner dan oposisional dimaksudkan untuk menghasilkan sebuah perubahan sosial. Untuk itu, dalam rangka pengembangan kajian budaya yang perlu juga diperhatikan adalah memahami dominasi kekuasaan yang dapat merepresi proyek kajian budaya. Secara implisit dalam pengertian ini, Giroux menempatkan proyek pengembangan kajian budaya sebagai sebuah studi budaya dalam rangka membentuk Pendidikan Kritis. Artinya dalam kajian budaya perlu ada perluasan kemungkinan pendidikan politik yang menyoroti persoalan bagaimana pendidikan sebagai sebuah praktek kritis sehingga dapat digunakan untuk menjembatani ketegangan antara praktik sosial dan dominasi kekuasaan. Jadi yang dilakukan di sini, tidak hanya menghubungkan praktik pendidikan publik yang interdisipliner dan oposisional tetapi memperluas kerja praktek budaya.Kerja budaya adalah senantiasa berusaha membuka ruang baru yang lebih sosial Sekaligus mempertimbangkan penemuan metode baru dalam melakukan kajian budaya, mengubah cara berpikir dan memperdalam proses pendidikan, hubungan sosial, dan kehidupan publik.

Perluasan lingkup kajian budaya dilakukan untuk menghindari model kajian budaya yangtekstual. Lewis Gordon berpendapat bahwa teks mereduksi praktik performatif sehingga para satu sisi kajian budaya cenderung lebih politis dan di sisi lain immaterial. Pada fase ini, Giroux, optimis untuk mengatasi kemungkinan perkembangan kajian budaya yang hanya formalistik dengan memperhatikan performasi kajian budaya dan relevansinya untuk menentukan peran teori dan proyek pembentukan kajian budaya yang lebih pedagogis. Hal ini penting dilakukan agar proyek politik dalam kajian budaya dapat mendukung penyebaran pengetahuan yang dikembangkan oleh kaum intelektual kepada masyarakat publik. Seruan politis dalam perspektif ini menunjukkan bahwa studi budaya dan pendidikan kritis dapat dianalisis secara lebih kritis sehingga dapat menekan wacana kekuasaan dan politik yang semata-mata berdasarkan teks melainkan bagi Giroux proyek kajian budaya perlu juga memperhatikan isu-isu yang terjadi dalam kehidupan sehari.



2. Politik
Kerja budaya dalam wacana Raymond Williams berhubungan dengan strategi kajian budaya dan pendidikan kritis yang menegaskan keinginan untuk menjadi bagian dari perubahan sosial itu sendiri atau yang disebut pendidikan budaya. Bagi Williams pendidikan budaya adalah bagian dari seluruh pengalaman sosial dan budaya. Artinya dalam pendidik budaya, perlu dipertimbangkan korelasi antara budaya dan kekuasaan, baik secara simbolik kelembagaan, politik dan ekonomi. Pendidikan budaya secara spesifik mengenali cara-cara di mana kaum intelektual dan pekerja budaya dikuasai oleh kekuasaan. Misalnya, fenomena kaum intelektual yang cenderung terikat pada teks. Pendidikan performatif mengacu pada kerja budaya dalam konteks yang lebih luas untuk rekonstruksi kehidupan masyarakat yang demokratis. Gary Nelson mengaskan bahwa kajian budaya perlu menjadi perhatian bersama kaum intelektual dan pekerja budaya baik dalam lingkup akademik maupun di luar lingkup akademik.

Bentuk mendasar dari politik budaya adalah konsep pendidikan radikal yang mempersoalkan pola hubungan dominan dan terdominasi, kekuasaan dan ketidakberdayaan yang terus diproduksi dan direproduksi. Dalam konteks ini, kaum intelektual dan pekerja budaya mempertanyakan bagaimana hubungan budaya dengan kekuasaan, mempertanyakan mengapa dan bagaimana budaya beroperasi melalui lembaga dan teks. Di sini, pekerja budaya memperoleh kesempatan untuk memperhatikan persoalan-persoalan baru seperti yang disebutkan oleh Peggy Phelan yakni bagaimana isu-isu sosial dibingkai dalam ideologi. Budaya politik mencermati bagaimana kekuasaan beroperasi dalam budaya tertentu sehingga gambar, simbol-simbol lebih berharga bagaimana teks dipahami wacana publik. Teks tidak dapat dianalisis secara terpisah dari tempat mereka dalam konteks kehidupan sehari-hari.

Antara politik dan budaya memiliki perbedaan yang sangat tipis sehingga sering gagal membuat perbedaan antara apa yang bisa disebut pendidikan politik dan politisasipendidikan. Pada satu sisi, pendidikan politik memberikan kesempatan untuk tidak hanya  mengekspresikan diri secara kritis, tetapi untuk mengubah struktur partisipasi dan cara pandang mengenai identitas, nilai-nilai, dan keinginan; atau memahami bagaimana kekuasaan bekerja. Sedangkan di posisi lain, politisasi pendidikan dimaksudkan dipahami sebagai kondisi dimana ada ketidakhirauan terhadap pengetahuan, kekuasaan, ideologi, dan proses pengajaran/pembelajaran; atau bahasa, metodologi, atau proses kelembagaan yang seringkali mengabaikan ruang pedagogis, kekakuan yang terlalu sering mengabaikan segala upaya penting untuk menginterogasi secara normatif dasar pengajaran dan tanggung jawab pendidikan politik, termasuk isu-isu mengenai bagaimana mereka dapat membantu dan mengubah hubungan kekuasaan yang menghasilkan kondisi-kondisi material dari rasisme, seksisme, kemiskinan, dan conditions. Intinya, mempolitisir pendidikan adalah isu penting mengenai bagaimana pedagogi menempatkan dan melegitimasi bentuk-bentuk tertentu dari identifikasi posisi subjek.



...

Kedudukan konsep hegemoni di dalam tulisan Giroux dipakai untuk mengkritik tradisi intelektual studi budaya yang melulu tekstual dan sekaligus merekonstrusi kehidupan/budaya masyarakat yang demokratis (praksis). Di dalam konsep hegemoni Gramsci, tugas pembentukan masyarakat sipil yang lebih demokratis ini harus diambil oleh intelektual organik yang mempunyai tugas kepemimpinan: kultural dan politis dalam mengartikulasikan/membahasakan memberikan arah pandangan dunia-orientasi (ideologis) dalam pembentukan masyarakat ideologis dan politis dengan cara memposisikan dirinya sebagai ‘seorang’ intelektual oposisional terhadap ideologi dominan  penguasa yang ‘mencangkokan’ dirinya di dalam proses pemaknaan kehidupan sehari-hari masyarakat.  Jadi, hegemoni penguasa dilawan oleh hegemoni yang tumbuh dari masyarakat (organik).

Di dalam konteks praktik kerja kajian budaya ala Giroux, terdapat dua unsur penting di dalam kerja budayanya. Pertama, Pendidikan. Dalam konteks pendidikan, Giroux mempunyai keprihatinan terhadap kerja praktik budaya kaum intelektual yang cenderung membatasi diri pada dunia akademik semata. Padahal pelaku kerja budaya seyogyanya bukan sekedar akademisi tetapi sebagai pendidik dan intelektual publik. Selain itu, Giroux juga mengkritik model kajian budaya yang lebih terfokus pada teks (bandingkan Lewis Gordon). Kedua, politik. Dalam konteks politik, Giroux melihat bahwa dalam pendidikan budaya (R. William) orang/subjek harus mengambil peran untuk ikut terlibat (tanggung jawab politis) dalam proses perubahan sosial sendiri. Jadi di dalam pendidikan budaya ini perlu mempertimbangkan korelasi antara budaya dan kekuasaan, baik secara simbolik, kelembagaan, politik, dan ekonomi. Dalam konteks ini pendidikan membuat subjek  bisa menjadi subjek bagi dirinya sendiri dan jadi subjek kekuasaan (dibentuk). Karena yang dimaksudkan pendidikan di sini pendidikan dibaca sebagai bagian dari pengalaman sosial dan budaya.

Jadi,  konsep hegemoni dipakai tidak hanya sekedar untuk mengkaji praktek  budaya di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang ada dalam hubungan ideologis yakni ‘negosiasi’ antara yang dominan dengan subordinan (beyond of the textuality) tapi juga berperan di dalam proses rekonstruksi (membentuk) kehidupan masyarakat yang lebih demokratis dengan jalan penyebaran pengetahuan (hasil kajian) melalui pendidikan performatif dari kerja budaya untuk menciptakan budaya baru.

(willy&darwis)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka