Langsung ke konten utama

DISKONTINYUITAS TUBUH-PELAJAR ANTARA TEATER DAN PENDIDIKAN


Oleh Afrizal Malna


Para pelajar itu, yang seluruhnya merupakan siswa SMA dan SMK, berlompat-lompat, berteriak, saling berangkulan, ketika pemenang Festival Teater Pelajar se Banten diumumkan di Gedung Teater UNTIRTA Serang. Kegirangan yang gaduh.

            Perhatian mereka terhadap teater cukup mencengangkan. Teater dari tubuh yang galau. Tubuh yang sudah tidak kanak-kanak lagi, tetapi juga tubuh yang belum dewasa. Tubuh yang mencari ruang pijaknya dalam keremajaan mereka. 15 Kelompok teater dari berbagai sekolah menengah Tangerang, Cilegon, Pandeglan, dan Serang mengikuti festival ini. Berlangsung 27-29 April 2012 di Gedung Teater UNTIRTA. Mereka datang menggunakan angkot, menggotong sendiri berbagai peralatan. Sebagian terus maju, walau dalam proses latihan, mereka ditinggalkan oleh sutradara atau pelatih mereka yang sebelumnya sudah bersedia menjadi pelatih. Atau tidak mendapat dukungan sama sekali dari sekolah.

            Dalam pertunjukan, mereka berubah menjadi demang, centeng, tentara Belanda, pedagang warung, pembantu rumah tangga, orang kota dan orang desa, atau menjadi anak-anak. Demang yang jahat, yang memeras rakyat dan mengambil gadis-gadis desa yang cantik, cukup banyak mereka angkat sebagai tema pertunjukan, di samping tema cinta yang gagal dan kematian. Saijah dan Adinda dalam pertunjukan Tanah Air Mata (Teater SMAN 8 Tangerang) keduanya mati. Cinta mereka kandas. Tokoh perempuan dalam pertunjukan Jangan-Jangan (Teater SMAN 1 Serang) juga dibuat mati, sebelumnya gila dan dipasung oleh ayahnya yang materialistis. Kematian seperti ditempuh untuk mengubah kegagalan menjadi kenangan. Dan cinta tetap hidup dalam kenangan. Atau: cerita dan cinta untuk mereka adalah kenangan.

Sang ayah, seorang Jawara Panjak, yang memiliki sanggar tari tradisi, kecewa ketika anaknya tidak mau menikah dalam pertunjukan Jawara Panjak (Teater MAN Balajara). Tradisi orang tua untuk punya cucu, muncul dengan kuat. Tetapi sang anak lebih memilih melanjutkan sekolah, daripada menikah dalam usia muda, dan menciptakan tarian-tarian kreasi baru. Benturan antar generasi, tradisi dan modern dibuat menjadi keras. Kontras yang juga berlangsung pada kelompok yang lain. Sebagian pertunjukan mereka menjadi medan olah raga silat,  pengajian dan permainan kanak-kanak dari tradisi yang mereka kenal. Tradisi menjadi rejim tubuh-museum yang membatalkan tubuh-masakini mereka.


             Munculnya tema-tema di atas, merupakan usaha mereka untuk memenuhi tema festival yang memang berkaitan dengan tradisi atau identitas Banten. Maka sebagian tema yang muncul merupakan streotip dari tema yang disodorkan dalam festival itu. Banten yang pada Abad 16 sudah terkenal sebagai salah satu pusat perdagangan dunia, merupakan kawasan yang sejak awal telah memasuki pergaulan internasional, pergaulan multi-kultural melalui dunia perdagangan. Kawasan yang kaya dengan berbagai bahasa dan dialek, dengan mayoritas Sunda, Jawa dan Melayu. Seorang Kiyai bisa berdialog terbuka dengan seorang perempuan peranakan Cina dalam pertunjukan Saudagar yang Kikir (Teater SMAN 2 Pandeglang).

Tetapi streotip identitas yang menonjol dalam pertunjukan mereka rata-rata adalah silat dan pengajian. Riset yang tidak cukup kuat serta negosiasi yang jaraknya terlalu pendek terhadap tradisi, merupakan salah satu yang membuat sebagian mereka terperangkap dalam streotip identitas Banten. Kehilangan kekinian mereka. Masalalu yang diusung tanpa masakini. Tradisi yang dimuseumkan dan dipisahkan dari masakini. Pendeknya negosiasi ini, tentu saja membuat sebagian pertunjukan mereka menjadi mesin tubuh yang menciptakan tubuh-identitas semata sebagai kostum. Teater cenderung dipahami sebagai tontonan yang kehilangan dramaturginya, koregorafi yang kehilangan penyutradaraan, atau musik yang kehilangan teater.

Rejim tubuh-identitas itu memang tidak sepenuhnya bisa membatalkan tubuh-masakini mereka. Tubuh-masakini itu tetap bocor melalui suara, gestur dan identitas kecantikan. Sebagian besar pemain perempuan, misalnya, tetap menggunakan pakaian yang fashion, walau mereka memerankan tokoh pembantu rumah tangga, atau memainkan peran sebagai ibu rumah tangga yang miskin. Mereka tidak ingin membatalkan tubuh yang cantik dalam tubuh kemiskinan. Kostum internal dan kostum eksternal hampir tidak ada bedanya. Fenomena ini membuat tubuh-masakini mereka tetap bocor sebagai tubuh-eksternal. Sementara itu kemiskinan tetap dibuat identik dengan warung yang terbuat dari gubuk.

Benturan-benturan antara penanda dengan yang ditandai sebenarnya tidak begitu jauh dari kenyataan pada umumnya yang berlangsung di sekitar kita, termasuk di Banten sebagai kawasan dengan banyak peninggalan Sunda lama: antara kerajaan lama dengan kesultanan, Sunda Wiwitan dengan agama-agama yang diresmikan oleh pemerintah, agraris dan industri, tubuh-lokal dan tubuh-urban, ilmu kesaktian dan internet yang berlangsung sebagai keserentakan. Orang Baduy Luar kini bebas menggunakan HP, keluar masuk mall sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan yang mereka buat (batik atau pakaian hitam-hitam mereka).

Pertunjukan Protes (Teater SMA Plus Al-Khaeriyah Badarmussalam, menempatkan pusat benturan itu pada TV. Para perempuan dengan menggunakan gayung, centong dan peralatan rumah tangga lainnya, berusaha menghancurkan TV yang sebenarnya juga telah jadi bagian dari peralatan rumah tangga mereka. Dan media itu, ternyata memiliki kekuasaan tidak tersentuh yang tidak bisa dihancurkan. Kehadirannya sudah mirip sebagai agama atau tuhan baru.

Pertunjukan Gosip (Teater SMAN 1 Pandeglang) memperlihatkan benturan dalam bentuk linguistik sosial yang kheos: Setiap info diterima oleh tetangga sebagai cerita yang melebihi info itu sendiri. Kemudian melahirkan masyarakat lisan yang membusuk dalam cerita yang mereka susun sendiri dari berbagai info yang sebenarnya tidak berkaitan satu sama lainnya. Pembusukan yang berlangsung dalam kecepatan tinggi untuk saling berebut fokus, berebut omongan maupun berebut penampilan. Pembusukan cerita yang bisa mengorbankan nyawa orang lain, atau menjebloskan orang lain yang tak bersalah ke dalam penjara. Pembusukan lingustik seperti ini, bisa menjadi pembacaan lain pola-pola pemindasan dan korupsi yang dilakukan oleh para demang masalalu, masih terus berlangsung ke para demang masakini melalui kekuasaan mereka masing-masing (demang orang tua, demang sekolah, demang pejabat negara maupun demang nilai-nilai sebagai personifikasi kekuasaan).

            “Kalau tidak ada yang kuno, elu bakalan nggak ada,” kata sang ayah kepada anaknya dalam pertunjukan Jawara Panjak. Festival teater ini, untuk para pelajar Sekolah Lanjutan Atas, pada gilirannya merupakan sebuah perayaan untuk belajar menjadi orang lain, memahami perbedaan, memperpanjang jarak negosiasi antara tradisi dan masakini mereka. Lebih dari itu, teater bisa menjadi aktualisasi dan aplikasi atas pendidikan yang mereka dapatkan dari sekolah. Teater bisa menjadi catatan kritis terhadap pendidikan yang mereka alami.

Teater membawa mereka untuk menyadari tubuh yang memiliki kehendak, di tengah pendidikan yang cenderung memformat tubuh sebagai objek mata pelajaran di sekolah. Teater membuat semacam diskontinyuitas atas tubuh-pelajar untuk mengalami tubuh di luar kekuasaan sekolah.*** (Afrizal Malna, penyair)

            

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka