Langsung ke konten utama

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG



Oleh Afrizal Malna

Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua.

Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka.

Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyampaikan dialog, mengundang penonton, mencari dana untuk membiayai pertunjukan, mengatur berbagai agenda, mencatat pengeluaran, mulai membicarakan gagasan-gagasan, mengatasi konflik yang terjadi, hingga pertunjukan berakhir. Untuk pertama kalinya, di atas panggung, ia disorot oleh sekian banyak lampu, menjadi pusat tontonan dari sekian banyak mata penonton yang menatapnya.

            Untuk pertama kalinya melalui teater, seseorang mulai belajar membaca dirinya sendiri dengan cara memerankan orang lain. Bahwa aku tidak pernah ada tanpa orang lain. Memerankan orang lain yang menghasilkan 2 dinding sekaligus: dinding untuk membaca diri sendiri dan dinding untuk mengerti orang lain. Seorang aktor yang egois, yang tidak memiliki toleransi akan keberadaan orang lain, hanya akan membuat semua kostum yang dimasukinya sama seperti memasuki kepompong nasisme yang memalukan.

Semua mata rantai itu mengikat seseorang dalam teater. Mata rantai yang tidak bisa dipotong-potong menjadi lebih pendek, atau ditutup-tutupi untuk menyembunyikan kekurangannya. Mata rantai itu akan muncul dengan sendirinya ketika pertunjukan berlangsung. Seorang pemain, yang tidak pernah latihan menatap, misalnya, akan terlihat pada permainan fokus melalui matanya yang goyah. Melalui teater juga, seseorang mulai melihat lapisan dinding-dinding yang harus dilaluinya setiap hari, sejak dari dinding rumah, dinding sekolah atau dinding pekerjaan, hingga dinding kekuasaan yang hidup di sekitarnya (baik yang dibawa oleh agama, negara maupun pasar).




Permainan 4 Dinding Untuk Teater Pelajar
Hubungan antara sekolah dan teater, sama pentingnya dengan hubungan antara manusia dan pengetahuan. Sekolah mengantar manusia untuk memasuki ilmu pengetahuan. Dan teater mengantar seseorang untuk bertemu dan menatap tubuh dan dirinya sendiri. Hubungan antara teater dan ilmu pengetahuan, dalam hal ini, sama dengan membawa ilmu pengetahuan untuk dialami melalui tubuh, melakukan semacam internalisasi terhadap pengetahuan dan diri sendiri. Hubungan yang pada gilirannya, akan membuka dinding-dinding yang mengitari seseorang.

Teater terbuka untuk pelajar mengalami fisika, kimia, biologi, matematika, bahasa maupun mata pelajaran lain untuk dialami tubuh mereka sebagai pertunjukan. Progres hubungan antara sekolah dan teater terletak justru dalam jarak hubungan langsung antara teater dan sekolah. Progres yang membuat teater menghasilkan dinding baru di tangan pelajar, karena mereka menggunakan tema yang paling dekat dengan dunia mereka sendiri.

Sekolah, tubuh-remaja, drama dan teater, merupakan empat dinding yang saling bertemu dalam Festival Drama Pelajar 2012, berlangsung di IKIP PGRI Semarang (21-28 Mei 2012). Festival ini dihadiri pelajar-pelajar dari berbagai SMA maupun SMAK di berbagai kota: Menado, Semarang, Denpasar, Palu, Jepara, Kudus, Kendal,  Banyumas, Purwarejo, Pontianak, Gresik dan Singaraja.

            Dua dinding utama, antara sekolah dan tubuh-remaja, merupaka realitas pertama yang mereka hadapi sehari-hari. Sekolah merupakan dinding di mana para pelajar tidak hanya mendapatkan pengetahuan melalui mata pelajaran yang mereka terima. Di balik mata pelajaran ini ada disiplin, peraturan, berbagai bentuk hubungan dengan guru-guru, dan pada gilirannya juga membawa pelajar berkenalan dengan bahasa kekuasaan dan berbagai streotip nilai yang terkandung pada masing-masing mata pelajaran. Sementara tubuh pelajar, merupakan dinding yang goyah: dinding dari tubuh yang bukan anak-anak lagi, tetapi juga belum bisa dianggap dewasa. Dinding yang gelisah mencari pegangan di tengah berbagai nilai maupun tawaran yang mengagresi mereka. Tubuh yang di sekolah cenderung ditaklukkan sebagai objek peraturan, harus menggunakan seragam, dan bentuk-bentuk lain terhadap pengekangan tubuh maupun inisatif.

            Di antara kedua dinding utama ini, pelajar juga didorong memasuki pertarungan terbuka untuk menjadi siapa yang lebih pintar, lebih pandai, dan bentuk-bentuk persaingan lainnya. Pertarungan yang mempersepsi mereka untuk memahami bahwa dunia di sekitar mereka merupakan pasar bebas untuk bertarung pada satu sisi. Pada sisi lainnya adalah pengekangan untuk tidak melanggar hal-hal yang dianggap utama. Setiap pelanggaran akan mendapat sanksi sekolah atau sanksi agama. Dualisme ini cenderung membuat tubuh-remaja tidak mendapatkan ruangnya untuk tumbuh. Tubuh itu hanya boleh tumbuh dengan cara mengikuti pola-pola prilaku yang tersedia atau sudah diformalkan.

            Dua dinding berikutnya, drama (dinding ke 3) dan teater (dinding ke 4), berada di luar dinding utama. Dinding drama menawarkan kepada pelajar kisah-kisah dan tokoh-tokoh yang bisa mereka perankan. Dalam kisah-kisah itu ada romantika, idealisme, harapan, impian, konflik, penderitaan, kesepian, kesedihan, perjuangan atau kematian. Kisah yang membuat seseorang membuat jembatan antara dirinya dengan orang lain, antara dunia di sana dengan dunia di sini, antara peristiwa yang telah berlalu dengan peristiwa yang sedang dialami.  Mata rantai yang berisi berbagai pola-pola pikiran dan emosi.

Sementara teater merupakan dinding ke 4, dimana mereka mulai memainkan ilusi-ilusi dalam medan pertunjukan. Teater membuat bangunan, ruang, gerak, visualitas dan suara untuk mengubah dinding ke 3 menjadi ilusi. Teater sebagai dinding ke 4, merupakan lorong ventilasi tempat bermetamorfosisnya pertunjukan menjadi ilusi. Ilusi inilah yang kemudian dibawa penonton pulang, menjadi jendela baru untuk melihat kenyataan yang setiap hari dihadapinya. Ilusi yang pada gilirannya membuat penonton kembali merindukan untuk menyaksikan sebuah pertunjukan teater.


Dinding Rumah yang Patah
Apakah yang bisa dilihat dari ke empat dinding tersebut dalam Festival Drama Pelajar yang baru saja berlangsung di Semarang, yang dikoordinasi Teater Gema IKIP PGRI Semarang?

            Sebagian besar kelompok teater pelajar yang mengikuti festival ini, mengangkat cerita di sekitar kehidupan rumah tangga. Cerita rumah tangga dengan latar jaman yang tidak terlalu pasti. Penggunaan setting ruang tamu maupun kostum untuk peran-peran streotip yang sama, membuat identitas waktu sebagai latar cerita tidak cukup untuk dikenali. Latar belakang lebih banyak ditentukan melalui kostum (Jawa, Bali atau Manado) dan dialek.

            Dari sebagian besar yang mengangkat kisah rumah tangga tersebut, hampir seluruhnya mengisahkan hubungan rumah tangga yang patah: ayah pemabuk, ayah yang tidak pernah pulang, anak yang hamil di luar nikah kemudian diusir, suami pengangguran kemudian menjadi dukun palsu, kakek-nenek yang kesepian, istri yang menjual diri karena suami sakit, hingga keluarga yang berduka karena anjingnya mati. Pada sisi lain, kehidupan keluarga dijerat lintah darat hingga ke pasar. Sebagian dari kisah rumah tangga ini datang dari kalangan miskin.

Cerita yang dipentaskan itu hampir seluruhnya mengisahkan tentang dinding rumah yang patah. Kenyataan ini cukup mengherankan, kenapa kelompok drama pelajar justru lebih banyak mengangkat kisah rumah tangga, dan kisah itu hampir seluruhnya menyampaikan sisi muram kehidupan rumah tangga?

Dinding utama mereka, yaitu dinding sekolah dan dinding tubuh-remaja sebagai realitas pertama yang dihadapi setiap hari oleh pelajar, sama sekali tidak terwakili melalui kisah-kisah keluarga yang mereka pentaskan ini.

Tubuh-Biasa dan Tubuh-Teater
Ada 2 strategi yang mungkin ditempuh dari bagaimana tubuh-remaja memerankan tubuh-dewasa melalui kisah-kisah rumah tangga itu. Strategi yang banyak ditempuh adalah dengan memaksa tubuh-remaja mereka menjadi tubuh-dewasa melalui kostum, karakter, cosmetika dan gestur. Untuk tampak dewasa, mereka menggunakan berbagai cara. Salah satu di antaranya mengenakan kaca mata polos. Strategi ini ditempuh untuk memaksa mengubah tubuh-remaja mereka menjadi tubuh-teater. Tubuh yang belum pernah mengalami hidup sebagai orang dewasa, dipaksa untuk bisa memerankannya.

            Hampir rata-rata tubuh-teater itu tidak terjadi. Karena untuk menjadi tubuh-teater seperti yang diharapkan, memang memerlukan waktu latihan yang lebih intensif. Sementara para pelajar rata-rata memiliki waktu yang tidak banyak untuk berlatih, di tengah-tengah tugas sekolah yang lebih banyak menyita waktu mereka. Strategi ini kemudian lebih banyak menghasilkan tubuh yang tegang, kehilangan gestur, kesulitan untuk menyembunyikan tangan, atau berdiri yang kehilangan ruang. Moblitas bloking juga cenderung statik dan kaku. Anggota rumah tangga seperti asing berada di ruang tamunya sendiri. Sutradara biasanya memecahkan kesulitan ini dengan memberikan properti kepada aktor, agar aktor terus kelihatan sibuk dengan properti yang dibawanya.

            Strategi kedua, yaitu membiarkan aktor dengan tubuh-biasanya sebagai tubuh-remaja, bisa dikatakan tidak ada yang menempuhnya. Tubuh-biasa seakan-akan pantang masuk ke dalam panggung. Seluruh tubuh-aktor seakan-akan memang harus hadir di panggung pertunjukan sebagai tubuh yang telah dipermak, dimanipulasi dari aslinya.

            Beberapa kelompok memang memiliki tubuh pemain yang cukup matang, seperti terjadi pada SMA Eben Haezar Manado yang mementaskan Babel, SMA 1 Denpasar yang mementaskan Aut, SMAK 2 Semarang yang mementaskan Lintah Darat, SMA 3 Pontianak yang mementaskan Ayahku Pulang, SMA Muhammadiyah Gresik yang mementaskan King Lier, SMA 1 Palu yang mementaskan Merpati Tua, SMA Duta Karya Kudus yang mementaskan Pagi Bening, SMA Kendal yang mementaskan Petang di Taman atau SMA 15 Semarang yang mementaskan Gubrak.

            Kelompok teater dari SMAK 2 Semarang yang mementaskan Lintah Darat, memilih memainkan tubuh-komikal dimana tubuh-biasa mereka sebagai tubuh remaja, tetap terekspresikan di balik peran mereka sebagai orang dewasa yang berjualan di pasar. Hal ini juga terjadi pada pertunjukan SMA 15 Semarang yang mementaskan Gubrak. Mereka seperti tetap berusaha berada pada garis bahwa yang mereka lakukan semacam permainan dalam “drama-dramaan”. Pilihan yang membuat enerji mereka sebagai tubuh-remaja ikut menentukan mobilitas akting maupun mobilitas blocking yang mereka mainkan. Tubuh remaja mereka, yang campur aduk antara tubuh yang masih polos dengan tubuh yang membawa ikon-ikon urban dan tradisi, serta peran yang harus mereka jalani, serentak semuanya hadir sebagai tubuh-kreol yang unik.

Sementara sebagian lain di antara mereka, tenggelam dalam peran yang terlalu berat yang harus mereka mainkan. Misalkan ketika memerankan penderitaan yang terlalu dalam, atau peran kekuasaan seorang raja.

Desain dan Streotip Pemeranan
Pemeranan hampir rata-rata memang menempuh jalan pendek. Yaitu memerankan tokoh-tokoh yang diturunkan dari sisi streotipnya: ayah dengan karakter kaku penuh kekuasaan, ibu dengan karakter lemah yang banyak menangis dan melolong. Pembantu yang membawa serbet atau kemoceng. Peran nenek atau kakek-kakek dengan tubuh terbungkuk-bungkuk , berjalan tertatih-tatih dan suara yang dibuat bergetar.

            Streotip ini berlanjut pada bagaimana ruang tamu didesain: bingkai pintu untuk keluar masuk, bingkai jendela dan satu set ruang tamu. Pertunjukan SMK 2 Nusaputra Semarang yang mementaskan Babrah, berusaha menempuh set yang lebih detil dengan menghadirkan pipa air yang bisa mengeluarkan air, dan kompor dengan nyala api untuk memasak. Tetapi detil ini tidak ikut mengatasi suasana serba kaku ketika adegan berlangsung di ruang tamu, beserta dengan kue-kue dalam toples yang hampir tidak tersentuh oleh aktor. Detil yang tidak mendapatkan sentuhan aktor, pada akhirnya seperti tidak mendapatkan kehadirannya, ketika aktor tidak menyentuhnya.

            Begitu pula pertunjukan yang menggunakan latar masyarakat miskin yang ditempuh dengan cara streotip. Kemiskinan selalu digambarkan melalui gubuk reot, kaos oblong kumuh untuk suami, dan daster dekil untuk sang istri.

            Streotip pemeranan pada akhirnya memang lebih banyak ditempuh, daripada membuat sebuah desain tersendiri dari peran yang harus mereka mainkan. Cara-cara streotip yang ditempuh dalam pemeranan, juga beresiko dimana pertunjukan cenderung berlangsung dengan latar belakang yang tidak terlalu bisa dikenali. Nenek-nenek dan kakek-kakek jaman sekarang, misalnya, tidak selalu berjalan terbungkuk-bungkuk. Pembantu rumah tangga, juga tidak selalu membawa serbet atau kemoceng, mereka bahkan sama dengan majikannya yang masing-masing sibuk dengan ponsel mereka.

            Pada kasus pertunjukan SMA 1 Denpasar yang mementaskan Aut karya Putu Wijaya, justru menjadi masalah tersendiri. Karena naskah absurd Putu Wijaya ini, dimana seorang ibu melapor telah kehilangan anaknya, sementara anaknya itu sebenarnya masih ada dalam kandungannya (belum lahir), ditempatkan dengan latar Bali dengan para petugas mengenakan kostum pecalang. Latar belakang sosail-budaya yang terlalu kuat ini (Bali urban), membuat pesan-pesan absurd dari naskah Putu Wijaya ini menjadi tidak bunyi. Ia justru terlihat menjadi konyol.

            Pada pertunjukan SMA Eben Haezar Manado yang mementaskan Babel, naskah yang mencampur-adukkan antara tema-tema teologis dengan kekuasaan, akting mereka yang kuat cenderung bergeser menjadi tontonan semata. Orientasi untuk membuat tontonan ini, bertambah kuat ketika pertunjukan mulai memainkan unsur api. Di antaranya membakar kain yang memang berbahaya. Pertunjukan yang tidak mengetahui bahwa memang dilarang menggunakan unsur api di atas panggung.

            Tubuh-remaja yang telah ditinggalkan pada sebagian besar pertunjukan mereka, paling ekstrim berlangsung dalam pertunjukan SMA Kebomas Gresik. Pertunjukan berkisah dari seorang putri yang hamil di luar nikah. Ia dihina oleh keluarga kemudian diusir ke luar rumah. Di jalan, sang putri menghadapi berbagai penderitaan. Anak di luar pernikahannya hilang. Sepanjang hari ia melolong mencari anaknya. Ia kemudian berkali-kali menghadapi penipuan hingga mata dan anggota tubuh yang lainnya hilang. Ia seperti harus hidup tanpa tubuh. Di tengah-tengah penderitaan yang panjang dan massif ini, tiba-tiba alur cerita berubah, bahwa semua itu mimpi. Pembalikkan alur yang terlambat, ketika mimpi menempati durasi pertunjukan yang lebih panjang dari kenyataan yang sebenarnya.
           
Ilusi dan Ilustratif
Desain ruang dan pemeranan yang streotip, kian tebal hadir di panggung pertunjukan, ketika musik juga diperlakukan lebih sebagai musik ilustratif. Bahkan beberapa pertunjukan, peristiwa yang berlangsung di atas panggung dibantu dengan unsur suara. Pertunjukan yang dilihat kemudian beralih menjadi pertunjukan yang didengar.

            Ketika pertunjukan menjadi kian ilustratif, kehilangan hubungan organiknya sendiri antara dinding-dinding terdekat yang harus mereka perankan, maka teater ilustratif ini kian jauh untuk bisa menghasilkan ilusi yang bisa dibawa penonton pulang.

            Festival Drama Pelajar seperti yang berlangsung di Semarang ini, perannya kini bertambah penting, ketika dunia pendidikan semakin goyah untuk menyiapkan murid-murid mereka menghadapi perubahan jaman. Pada sisi lain peran rumah yang semakin berkurang, di bawah perkembangan media komunikasi dan mata rantai konsumsi yang kian membawa anggota keluarga untuk memenuhi mata rantai konsumsi di luar rumah. Rumah semakin kehilangan cerita.

            Banyaknya kelompok teater yang mementaskan cerita-cerita rumah tangga dalam festival ini, dan hampir seluruh cerita merupakan kisah yang muram di sekitar kehidupan keluarga, bisa dibaca sebagai cermin kehidupan rumah tangga urban yang memang kian kehilangan cerita. Keluarga-keluarga urban kian tidak mampu berbagi cerita di dalam rumah mereka sendiri.

            Teater dalam dunia pendidikan, menjadi lebih signifikan kehadirannya, ketika teater digunakan sebagai tempat pertemuan dari berbagai dinding yang dihadapi pelajar: dinding sekolah, dinding rumah dan dinding kehidupan mereka bersama dengan tubuh-remaja yang mereka hadapi sehari-hari.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka