Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton
pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang
pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah
pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena
persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya
yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua.
Teater lahir,
hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa
bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa
ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang
mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika
pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka.
Teater membuat
seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah
papan, menjahit, memerankan seseorang, menyampaikan dialog, mengundang
penonton, mencari dana untuk membiayai pertunjukan, mengatur berbagai agenda,
mencatat pengeluaran, mulai membicarakan gagasan-gagasan, mengatasi konflik
yang terjadi, hingga pertunjukan berakhir. Untuk pertama kalinya, di atas
panggung, ia disorot oleh sekian banyak lampu, menjadi pusat tontonan dari
sekian banyak mata penonton yang menatapnya.
Untuk pertama
kalinya melalui teater, seseorang mulai belajar membaca dirinya sendiri dengan
cara memerankan orang lain. Bahwa aku tidak pernah ada tanpa orang lain.
Memerankan orang lain yang menghasilkan 2 dinding sekaligus: dinding untuk
membaca diri sendiri dan dinding untuk mengerti orang lain. Seorang aktor yang
egois, yang tidak memiliki toleransi akan keberadaan orang lain, hanya akan
membuat semua kostum yang dimasukinya sama seperti memasuki kepompong nasisme
yang memalukan.
Semua mata
rantai itu mengikat seseorang dalam teater. Mata rantai yang tidak bisa
dipotong-potong menjadi lebih pendek, atau ditutup-tutupi untuk menyembunyikan
kekurangannya. Mata rantai itu akan muncul dengan sendirinya ketika pertunjukan
berlangsung. Seorang pemain, yang tidak pernah latihan menatap, misalnya, akan
terlihat pada permainan fokus melalui matanya yang goyah. Melalui teater juga,
seseorang mulai melihat lapisan dinding-dinding yang harus dilaluinya setiap
hari, sejak dari dinding rumah, dinding sekolah atau dinding pekerjaan, hingga
dinding kekuasaan yang hidup di sekitarnya (baik yang dibawa oleh agama, negara
maupun pasar).
Permainan 4
Dinding Untuk Teater Pelajar
Hubungan antara sekolah dan teater, sama pentingnya dengan
hubungan antara manusia dan pengetahuan. Sekolah mengantar manusia untuk
memasuki ilmu pengetahuan. Dan teater mengantar seseorang untuk bertemu dan
menatap tubuh dan dirinya sendiri. Hubungan antara teater dan ilmu pengetahuan,
dalam hal ini, sama dengan membawa ilmu pengetahuan untuk dialami melalui
tubuh, melakukan semacam internalisasi terhadap pengetahuan dan diri sendiri.
Hubungan yang pada gilirannya, akan membuka dinding-dinding yang mengitari
seseorang.
Teater terbuka
untuk pelajar mengalami fisika, kimia, biologi, matematika, bahasa maupun mata
pelajaran lain untuk dialami tubuh mereka sebagai pertunjukan. Progres hubungan
antara sekolah dan teater terletak justru dalam jarak hubungan langsung antara
teater dan sekolah. Progres yang membuat teater menghasilkan dinding baru di
tangan pelajar, karena mereka menggunakan tema yang paling dekat dengan dunia
mereka sendiri.
Sekolah, tubuh-remaja,
drama dan teater, merupakan empat dinding yang saling bertemu dalam Festival
Drama Pelajar 2012, berlangsung di IKIP PGRI Semarang (21-28 Mei 2012).
Festival ini dihadiri pelajar-pelajar dari berbagai SMA maupun SMAK di berbagai
kota: Menado, Semarang, Denpasar, Palu, Jepara, Kudus, Kendal, Banyumas, Purwarejo, Pontianak, Gresik dan
Singaraja.
Dua dinding
utama, antara sekolah dan tubuh-remaja, merupaka realitas pertama yang mereka
hadapi sehari-hari. Sekolah merupakan dinding di mana para pelajar tidak hanya
mendapatkan pengetahuan melalui mata pelajaran yang mereka terima. Di balik
mata pelajaran ini ada disiplin, peraturan, berbagai bentuk hubungan dengan
guru-guru, dan pada gilirannya juga membawa pelajar berkenalan dengan bahasa
kekuasaan dan berbagai streotip nilai yang terkandung pada masing-masing mata
pelajaran. Sementara tubuh pelajar, merupakan dinding yang goyah: dinding dari
tubuh yang bukan anak-anak lagi, tetapi juga belum bisa dianggap dewasa.
Dinding yang gelisah mencari pegangan di tengah berbagai nilai maupun tawaran
yang mengagresi mereka. Tubuh yang di sekolah cenderung ditaklukkan sebagai
objek peraturan, harus menggunakan seragam, dan bentuk-bentuk lain terhadap
pengekangan tubuh maupun inisatif.
Di antara kedua
dinding utama ini, pelajar juga didorong memasuki pertarungan terbuka untuk
menjadi siapa yang lebih pintar, lebih pandai, dan bentuk-bentuk persaingan
lainnya. Pertarungan yang mempersepsi mereka untuk memahami bahwa dunia di
sekitar mereka merupakan pasar bebas untuk bertarung pada satu sisi. Pada sisi
lainnya adalah pengekangan untuk tidak melanggar hal-hal yang dianggap utama.
Setiap pelanggaran akan mendapat sanksi sekolah atau sanksi agama. Dualisme ini
cenderung membuat tubuh-remaja tidak mendapatkan ruangnya untuk tumbuh. Tubuh
itu hanya boleh tumbuh dengan cara mengikuti pola-pola prilaku yang tersedia
atau sudah diformalkan.
Dua dinding
berikutnya, drama (dinding ke 3) dan teater (dinding ke 4), berada di luar
dinding utama. Dinding drama menawarkan kepada pelajar kisah-kisah dan
tokoh-tokoh yang bisa mereka perankan. Dalam kisah-kisah itu ada romantika,
idealisme, harapan, impian, konflik, penderitaan, kesepian, kesedihan,
perjuangan atau kematian. Kisah yang membuat seseorang membuat jembatan antara
dirinya dengan orang lain, antara dunia di sana dengan dunia di sini, antara
peristiwa yang telah berlalu dengan peristiwa yang sedang dialami. Mata rantai yang berisi berbagai pola-pola
pikiran dan emosi.
Sementara
teater merupakan dinding ke 4, dimana mereka mulai memainkan ilusi-ilusi dalam
medan pertunjukan. Teater membuat bangunan, ruang, gerak, visualitas dan suara
untuk mengubah dinding ke 3 menjadi ilusi. Teater sebagai dinding ke 4,
merupakan lorong ventilasi tempat bermetamorfosisnya pertunjukan menjadi ilusi.
Ilusi inilah yang kemudian dibawa penonton pulang, menjadi jendela baru untuk
melihat kenyataan yang setiap hari dihadapinya. Ilusi yang pada gilirannya
membuat penonton kembali merindukan untuk menyaksikan sebuah pertunjukan
teater.
Dinding Rumah
yang Patah
Apakah yang bisa dilihat dari ke empat dinding tersebut dalam
Festival Drama Pelajar yang baru saja berlangsung di Semarang, yang
dikoordinasi Teater Gema IKIP PGRI Semarang?
Sebagian besar
kelompok teater pelajar yang mengikuti festival ini, mengangkat cerita di
sekitar kehidupan rumah tangga. Cerita rumah tangga dengan latar jaman yang
tidak terlalu pasti. Penggunaan setting ruang tamu maupun kostum untuk
peran-peran streotip yang sama, membuat identitas waktu sebagai latar cerita
tidak cukup untuk dikenali. Latar belakang lebih banyak ditentukan melalui
kostum (Jawa, Bali atau Manado) dan dialek.
Dari sebagian
besar yang mengangkat kisah rumah tangga tersebut, hampir seluruhnya
mengisahkan hubungan rumah tangga yang patah: ayah pemabuk, ayah yang tidak
pernah pulang, anak yang hamil di luar nikah kemudian diusir, suami
pengangguran kemudian menjadi dukun palsu, kakek-nenek yang kesepian, istri
yang menjual diri karena suami sakit, hingga keluarga yang berduka karena
anjingnya mati. Pada sisi lain, kehidupan keluarga dijerat lintah darat hingga
ke pasar. Sebagian dari kisah rumah tangga ini datang dari kalangan miskin.
Cerita yang
dipentaskan itu hampir seluruhnya mengisahkan tentang dinding rumah yang patah.
Kenyataan ini cukup mengherankan, kenapa kelompok drama pelajar justru lebih
banyak mengangkat kisah rumah tangga, dan kisah itu hampir seluruhnya
menyampaikan sisi muram kehidupan rumah tangga?
Dinding utama
mereka, yaitu dinding sekolah dan dinding tubuh-remaja sebagai realitas pertama
yang dihadapi setiap hari oleh pelajar, sama sekali tidak terwakili melalui
kisah-kisah keluarga yang mereka pentaskan ini.
Tubuh-Biasa dan
Tubuh-Teater
Ada 2 strategi yang mungkin ditempuh dari bagaimana tubuh-remaja
memerankan tubuh-dewasa melalui kisah-kisah rumah tangga itu. Strategi yang
banyak ditempuh adalah dengan memaksa tubuh-remaja mereka menjadi tubuh-dewasa
melalui kostum, karakter, cosmetika dan gestur. Untuk tampak dewasa, mereka
menggunakan berbagai cara. Salah satu di antaranya mengenakan kaca mata polos.
Strategi ini ditempuh untuk memaksa mengubah tubuh-remaja mereka menjadi
tubuh-teater. Tubuh yang belum pernah mengalami hidup sebagai orang dewasa,
dipaksa untuk bisa memerankannya.
Hampir rata-rata
tubuh-teater itu tidak terjadi. Karena untuk menjadi tubuh-teater seperti yang
diharapkan, memang memerlukan waktu latihan yang lebih intensif. Sementara para
pelajar rata-rata memiliki waktu yang tidak banyak untuk berlatih, di
tengah-tengah tugas sekolah yang lebih banyak menyita waktu mereka. Strategi
ini kemudian lebih banyak menghasilkan tubuh yang tegang, kehilangan gestur,
kesulitan untuk menyembunyikan tangan, atau berdiri yang kehilangan ruang.
Moblitas bloking juga cenderung statik dan kaku. Anggota rumah tangga seperti
asing berada di ruang tamunya sendiri. Sutradara biasanya memecahkan kesulitan
ini dengan memberikan properti kepada aktor, agar aktor terus kelihatan sibuk
dengan properti yang dibawanya.
Strategi kedua,
yaitu membiarkan aktor dengan tubuh-biasanya sebagai tubuh-remaja, bisa
dikatakan tidak ada yang menempuhnya. Tubuh-biasa seakan-akan pantang masuk ke
dalam panggung. Seluruh tubuh-aktor seakan-akan memang harus hadir di panggung
pertunjukan sebagai tubuh yang telah dipermak, dimanipulasi dari aslinya.
Beberapa kelompok
memang memiliki tubuh pemain yang cukup matang, seperti terjadi pada SMA Eben Haezar Manado yang mementaskan Babel, SMA 1 Denpasar yang mementaskan Aut, SMAK 2 Semarang yang mementaskan Lintah Darat, SMA 3 Pontianak yang
mementaskan Ayahku Pulang, SMA Muhammadiyah
Gresik yang mementaskan King Lier, SMA
1 Palu yang mementaskan Merpati Tua, SMA
Duta Karya Kudus yang mementaskan Pagi
Bening, SMA Kendal yang mementaskan Petang
di Taman atau SMA 15 Semarang yang mementaskan Gubrak.
Kelompok
teater dari SMAK 2 Semarang yang mementaskan Lintah Darat, memilih memainkan tubuh-komikal dimana tubuh-biasa
mereka sebagai tubuh remaja, tetap terekspresikan di balik peran mereka sebagai
orang dewasa yang berjualan di pasar. Hal ini juga terjadi pada pertunjukan SMA
15 Semarang yang mementaskan Gubrak.
Mereka seperti tetap berusaha berada pada garis bahwa yang mereka lakukan
semacam permainan dalam “drama-dramaan”. Pilihan yang membuat enerji mereka
sebagai tubuh-remaja ikut menentukan mobilitas akting maupun mobilitas blocking
yang mereka mainkan. Tubuh remaja mereka, yang campur aduk antara tubuh yang
masih polos dengan tubuh yang membawa ikon-ikon urban dan tradisi, serta peran
yang harus mereka jalani, serentak semuanya hadir sebagai tubuh-kreol yang
unik.
Sementara
sebagian lain di antara mereka, tenggelam dalam peran yang terlalu berat yang
harus mereka mainkan. Misalkan ketika memerankan penderitaan yang terlalu
dalam, atau peran kekuasaan seorang raja.
Desain
dan Streotip Pemeranan
Pemeranan hampir rata-rata memang menempuh jalan
pendek. Yaitu memerankan tokoh-tokoh yang diturunkan dari sisi streotipnya:
ayah dengan karakter kaku penuh kekuasaan, ibu dengan karakter lemah yang
banyak menangis dan melolong. Pembantu yang membawa serbet atau kemoceng. Peran
nenek atau kakek-kakek dengan tubuh terbungkuk-bungkuk , berjalan
tertatih-tatih dan suara yang dibuat bergetar.
Streotip
ini berlanjut pada bagaimana ruang tamu didesain: bingkai pintu untuk keluar
masuk, bingkai jendela dan satu set ruang tamu. Pertunjukan SMK 2 Nusaputra
Semarang yang mementaskan Babrah,
berusaha menempuh set yang lebih detil dengan menghadirkan pipa air yang bisa
mengeluarkan air, dan kompor dengan nyala api untuk memasak. Tetapi detil ini
tidak ikut mengatasi suasana serba kaku ketika adegan berlangsung di ruang
tamu, beserta dengan kue-kue dalam toples yang hampir tidak tersentuh oleh
aktor. Detil yang tidak mendapatkan sentuhan aktor, pada akhirnya seperti tidak
mendapatkan kehadirannya, ketika aktor tidak menyentuhnya.
Begitu
pula pertunjukan yang menggunakan latar masyarakat miskin yang ditempuh dengan
cara streotip. Kemiskinan selalu digambarkan melalui gubuk reot, kaos oblong
kumuh untuk suami, dan daster dekil untuk sang istri.
Streotip
pemeranan pada akhirnya memang lebih banyak ditempuh, daripada membuat sebuah
desain tersendiri dari peran yang harus mereka mainkan. Cara-cara streotip yang
ditempuh dalam pemeranan, juga beresiko dimana pertunjukan cenderung
berlangsung dengan latar belakang yang tidak terlalu bisa dikenali. Nenek-nenek
dan kakek-kakek jaman sekarang, misalnya, tidak selalu berjalan
terbungkuk-bungkuk. Pembantu rumah tangga, juga tidak selalu membawa serbet
atau kemoceng, mereka bahkan sama dengan majikannya yang masing-masing sibuk
dengan ponsel mereka.
Pada
kasus pertunjukan SMA 1 Denpasar yang mementaskan Aut karya Putu Wijaya, justru menjadi masalah tersendiri. Karena
naskah absurd Putu Wijaya ini, dimana seorang ibu melapor telah kehilangan
anaknya, sementara anaknya itu sebenarnya masih ada dalam kandungannya (belum
lahir), ditempatkan dengan latar Bali dengan para petugas mengenakan kostum
pecalang. Latar belakang sosail-budaya yang terlalu kuat ini (Bali urban),
membuat pesan-pesan absurd dari naskah Putu Wijaya ini menjadi tidak bunyi. Ia
justru terlihat menjadi konyol.
Pada pertunjukan SMA Eben Haezar Manado yang mementaskan Babel, naskah yang mencampur-adukkan
antara tema-tema teologis dengan kekuasaan, akting mereka yang kuat cenderung
bergeser menjadi tontonan semata. Orientasi untuk membuat tontonan ini, bertambah
kuat ketika pertunjukan mulai memainkan unsur api. Di antaranya membakar kain
yang memang berbahaya. Pertunjukan yang tidak mengetahui bahwa memang dilarang
menggunakan unsur api di atas panggung.
Tubuh-remaja
yang telah ditinggalkan pada sebagian besar pertunjukan mereka, paling ekstrim
berlangsung dalam pertunjukan SMA Kebomas Gresik. Pertunjukan berkisah dari
seorang putri yang hamil di luar nikah. Ia dihina oleh keluarga kemudian diusir
ke luar rumah. Di jalan, sang putri menghadapi berbagai penderitaan. Anak di
luar pernikahannya hilang. Sepanjang hari ia melolong mencari anaknya. Ia
kemudian berkali-kali menghadapi penipuan hingga mata dan anggota tubuh yang
lainnya hilang. Ia seperti harus hidup tanpa tubuh. Di tengah-tengah
penderitaan yang panjang dan massif ini, tiba-tiba alur cerita berubah, bahwa
semua itu mimpi. Pembalikkan alur yang terlambat, ketika mimpi menempati durasi
pertunjukan yang lebih panjang dari kenyataan yang sebenarnya.
Ilusi
dan Ilustratif
Desain ruang dan pemeranan yang streotip, kian tebal hadir di
panggung pertunjukan, ketika musik juga diperlakukan lebih sebagai musik
ilustratif. Bahkan beberapa pertunjukan, peristiwa yang berlangsung di atas
panggung dibantu dengan unsur suara. Pertunjukan yang dilihat kemudian beralih
menjadi pertunjukan yang didengar.
Ketika
pertunjukan menjadi kian ilustratif, kehilangan hubungan organiknya sendiri
antara dinding-dinding terdekat yang harus mereka perankan, maka teater
ilustratif ini kian jauh untuk bisa menghasilkan ilusi yang bisa dibawa
penonton pulang.
Festival Drama
Pelajar seperti yang berlangsung di Semarang ini, perannya kini bertambah
penting, ketika dunia pendidikan semakin goyah untuk menyiapkan murid-murid
mereka menghadapi perubahan jaman. Pada sisi lain peran rumah yang semakin
berkurang, di bawah perkembangan media komunikasi dan mata rantai konsumsi yang
kian membawa anggota keluarga untuk memenuhi mata rantai konsumsi di luar
rumah. Rumah semakin kehilangan cerita.
Banyaknya
kelompok teater yang mementaskan cerita-cerita rumah tangga dalam festival ini,
dan hampir seluruh cerita merupakan kisah yang muram di sekitar kehidupan
keluarga, bisa dibaca sebagai cermin kehidupan rumah tangga urban yang memang
kian kehilangan cerita. Keluarga-keluarga urban kian tidak mampu berbagi cerita
di dalam rumah mereka sendiri.
Teater dalam
dunia pendidikan, menjadi lebih signifikan kehadirannya, ketika teater
digunakan sebagai tempat pertemuan dari berbagai dinding yang dihadapi pelajar:
dinding sekolah, dinding rumah dan dinding kehidupan mereka bersama dengan
tubuh-remaja yang mereka hadapi sehari-hari.***
Komentar
Posting Komentar