Langsung ke konten utama

pentas CANNIBALOGY: Refleksi Titik Nadir Sebuah Peradaban (Khazanah_Pikiran Rakyat_7_Agustus_2011)

 09 Agustus 2011 




teks BenJon, 
sutradara Taufik Darwis

Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, 22 Juni 201, pukul 19.30 WIb
Teater Gema PGRI IKIP Semarang, 24 Juni 2011, pukul 19.30 WIb
G.K Sunan AMbu STSI Bandung, 21 Juli 2011, pukul 19.30 WIb






oleh F. X. Widaryanto


Hampir setengah abad yang lalu peristiwa pembunuhan massal yang terstruktur pernah terjadi. Pada tahun 90-an, Suharto sebagai RI-1 kala itu mendapat julukan tak sedap sebagai seorang diktator yang kejam. Demi kekuasaan yang didambakannya, ia tidak menghalangi pemusnahan sebagian anak bangsa yang terlibat pada pemberontakan G 30 S yang disandang oleh pengikut Partai Komunis Indonesia atau PKI. Lepas dari peristiwa yang kemudian menjadi rekayasa sejarah yang tak keruan juntrungnya, Benny Yohanes menuliskan naskah yang menarik yang diberi tajuk Cannibalogy. Ia mencoba menjejerkan tokoh Suman[to] dan Suhar[to] dalam sebuah laku yang tak pelak merupakan homo homini lopus 'manusia menjadi serigala bagi sesamanya' yang tergambar dengan sebenarnya namun sekaligus menjadi sindiran yang sangat tajam dengan setting kota dan peristiwa Modjokuto, yaitu lokasi yang disamarkan menjadi base camp dari antropolog Cliffort Geertz, yang terkenal dengan salah satu bukunya yang berjudul Religion of Java.






Naskah yang cukup sulit ini dicoba bedah oleh sutradara muda Taufik Darwis dalam Resital Sarjananya yang diselenggarakan pada hari Jumat 22 Juli 2011 pukul 8:00 malam di Gedung Dewi Asri STSI Bandung. Ia menyajikan tokoh Suman (IqbaL Maulana Syarif) mengawali adegan awal dengan tampilan yang terlihat sangat dehumanistis yang diwujudkan dengan auman serigala dan laku menggerogoti mayat di pojok depan kanan panggung. Kebuasan dan rasa jijik langsung menyeruak seluruh panggung dan menelusup sisi penghayatan penonton yang memadati pertunjukan ini.





Usai adegan ini muncul tokoh mBok Tirah (Bellianti M. Destari) dan Suhar (Andreas Chandra) yang didorong tingkat intelektualitasnya mentok pada irasionalitas, dengan keinginannya untuk bertapa di Bengawan Solo agar segala harapan dan cita-citanya terlaksana. mBok Tirah dimunculkan dengan menggendong sebuah klenting besar yang membuatnya terlihat sangat berbeban berat sehingga ia butuh sebuah tongkat. Tongkat yang dipilih adalah sebuah ranting kering yang memunculkan asosiasi pada kosongnya harapan yang menggiring pada fenomena kering kerontang dan jauh dari aura kesuburan. Maka di sini Suhar digiring untuk mereguk kesuburan tanah di sekitar Bengawan Solo yang kala itu dikuasai oleh Ki Butho (Suyadi).





Saat Suman ditangkap oleh otoritas kekuasaan dan didesak dengan kekuatan rakyat setempat, ia memang mengaku sangat melarat. Saking melaratnya bibit penyakit yang menggerogoti dirinya pun dibiarkan menggerayanginya, sehingga ia bisa belajar pasrah dan nrima ing pandum 'pemberian orang'. 'Orang miskin' memang akrab dengan segala hal yang kotor yang menjadi sisa kaum berpunya. Gambaran ini terasa sangat pahit karena kemiskinan yang ada bertolak belakang dengan kekayaan kaum berpunya yang dewasa ini terlihat di antaranya yang bergelimang di luar kepatutan dengan uang rakyat yang tersebar di berbagai lembaga publik. Ulang-alik antara realita fiksi dan realita sehari-hari nyaris terus berkelindan tiada henti, dalam celotehan yang nyinyir dan mengundang tawa karena kedekatannya dengan permasalahan kita.





Pemilihan bakul atau beboko sebagai penutup kepala rakyat jelata, juga memberikan kekuatan ungkap yang lekat dengan masalah kebutuhan primer (stapple food, nasi) yang masih belum terpenuhi secara bersinambungan. Beboko kosong inilah yang terus dibawa oleh mereka untuk bisa diisi setiap saat bila kesempatan itu ada. Ini terjadi karena para petani telah banyak yang kehilangan tanahnya sehingga mereka hanya mengandalkan tubuhnya dalam kapasitas terbatas sebagai buruh yang sangat tergantung pada belas kasihan sang juragan.

Ada pula pesan yang cukup menarik untuk diungkit kaitannya dengan perkara eksekusi hukuman yang digembar-gemborkan. Eksekusi dari kekuasaan feodal kala itu justru diungkapkan secara paradoksal terhadap kanibalisme yang dilakukan oleh Suman. Dikatakan oleh Ki Ageng Rais (Machmudin) bahwa menghukum itu tidaklah harus menyakiti atau bahkan harus menghabisi seseorang yang terbukti bersalah. Menghukum itu mestinya haruslah 'menyembuhkan'. Inilah semangat humanisme yang ditiupkan oleh BenJon atau sang penulis naskah yang sangat menyentuh realita hukum yang kadang muncul banyak kasus, dengan adanya aparat yang malah melakukan pembiaran pada tindak kekerasan dari individu atau kelompok masyarakat yang 'menghukum' kelompok masyarakat yang lainnya.






Penggambaran Taufik akan kekerasan kolonial juga menarik. Salah satunya adalah penampilan pemerintah kolonial yang digambarkan dengan kesebelasan Oranye yang tak lain adalah kesebelasan Belanda. Sebuah pemerintahan yang serius tersistem bak orang bermain bola, yang penuh dengan tipu muslihat, strategi melamapuai lawan yang kadang dilakukan secara kasar jauh dari semangat sportif yang menjadi idaman semua orang.



Kekuasaan Suhar yang kemudian dimunclkan dalam latar lagu Genjer-Genjer yang kala itu memang dopopulerkan oleh onderbouw partai komunis yang bernama Gerwani, menyingkap represi kekuasaan pada lawan politik yang kemudian ditumpasnya. Ya sejak 11 Maret itulah kekuasaan itu merajalela tak terbendung. Tongkat komando yang diberi lampu nampaknya memang 'dimantrai' oleh sang sutradara untuk memberikan arah dan tujuan seturut dengan selera kekuasaan pada waktu itu.





Lakon ini juga diwarnai dengan srimpi yang dilakukan oleh empat orang noni Belanda lengkap dengan longdress dan topi ala Nazarudin serta satu orang 'inlander' yang yang berkain kebaya namun tidak diiringi dengan gamelan. Tak pelak ini menjadikan sang penutur asli malah merasa asing menari di negerinya sendiri. Lepas dari tautan cerita hal ini bisa menjadi sindiran atas gaya hidup anak muda yang justru merasa asing dengan keseniannya sendiri.







Iringan macapat pun dalam lantunan Maskumambang minus juga menarik. Lawe sebagai penata suara cukup jeli merajut nuansa auditif yang memperkuat sajian visualnya. Mungkin dalam beberapa hal ada beberapa pemotongan gatra dalam pupuh macapat yang terpenggal anteseden dan konsekuennya. Rasa selesai dari sebuah kalimat lagu, bagi telinga Jawa, sering terpenggal secara anomali, sehingga sedikit mengoyak keapikan sebuah nuansa sedih yang dibangunnya.





Demikian juga dengan adegan terakhir yang ditutup dengan empat orang penari putra. Konklusi yang sebetulnya bisa sangat kuat diselesaikan tidak secara optimal. Keempat penari ini bisa berfungsi menjadi empat cardinal-point seperti dalam Bugaku di Jepang atau Srimpi di Jawa. Dalam Bugaku ekplisitasi olahan arah hadap pada empat arah mata angin dilakukan secara lugas.






 Usai para penarinya menari dalam empat arah mata angin tadi, tarian selesai. Maknanya adalah pernyataan ruang yang tiada lain adalah upaya membina intimitas hubungan horisontal dengan alam di sekitarnya. Inilah sebabnya Bugaku juga berfungsi untuk upacara menyambut terang bulan. Konklusi seperti inilah yang mestinya muncul sesuai dengan harapan penulis. Lepas dari masalah ini, secara keseluruhan, garapan pertunjukan Cannibalogy ini sungguh menarik. Selain mengingatkan akan situasi chaos di masa lalu, juga menghibur. Ini adalah berkat keterampilan seorang Taufik Darwis dalam membedah naskah dan menuangkannya di panggung serta dedikasi seluruh pendukung produksi yang memiliki potensi yang mengharapkan di masa yang akan datang.

*F.X. Widaryanto adalah dosen STSI Bandung dan Pusat Kajian Humaniora Universitas Katolik Parahyangan Bandung

Bandung, 1 Agustus 2011

F.X. Widaryanto
fxw@umich.edu








catatan proses:
...Secara tematik lakon CANNIBALOGY ini aktual dan kontekstual dengan peristiwa disekitar kita. Yaitu soal saling memangsa, Homo Homoni Lupus: manusia menjadi serigala bagi manusia lainya. Sikap mudah marah, mudah tersinggung, tampaknya akumulasi sikap, perasaan, dan pengalaman yang kompleks yang selama sekian tahun dialami seseorang. Bisa saja, seseorang pada awalnya bersifat tenang ketika mengalami gangguan, tetapi karena perkembangan emosi tadi, dia menjadi seorang yang sangat reaktif. manusia berkeinginan mempertahankan kebebasan dan menguasai orang lain.

Secara teknis, naskah ini mempunyai sembilan ruang dan peristiwa, yang dibangun oleh beberapa fragmen yang kadang tidak ada hubungan kausalitas sama sekali. Di sinilah tantanganya, apa yang bisa dilakukan sutradara untuk dapat dengan baik merepresentasikannya di peristiwa panggung. Maka sebagai dasar gagasan, tulisan ini sangat membantu untuk memetakan apa yang akan dibuat oleh penggarap dan melihat kemungkinan tumbuhnya gagasan dalam pelaksanaan proses garapan nanti.





SINOPSIS
Setelah berhasil membongkar makam Mbah Sirep dan kemudian memakan bangkainya, Suman ditangkap oleh tentara desa dan warga kemudian dibawa ke pendopo untuk diadili oleh Mas Ageng, pemimpin Mojokuto.

Di tempat lain Suhar membakar pasar kelontongya karena kecewa hidupny tak kunjung membaik, karenanya ia berencana untuk pergi bertapa ke bengawan Solo. Suhar bertemu dengan Ki Butho penunggu bengawan solo, Ki Butho kemudian menjadi penasihat spiritualnya, untuk membaca tanda-tanda takdir baru di kemudian hari.

Di pendopo Mojokuto Suman mendapat hukuman, ia dibaringkan di altar, tapi tidak jadi di bunuh karena Suman tidak merampas hak orang hidup, ia hanya merampas hak orang yang sudah tidak memiliki hak hidup. Mas Ageng kemudian mengutus Suman untuk membela Tanah Mojokuto dari serangan tentara Olanda yang datang dari pantai utara.

Suman bersembunyi di pedalaman Mojokuto, untuk mempertahankan tanah dan selir Mas Ageng, bersama orang-orang kepercayaannya. Karena pendopo Mojokuto telah dikuasai Landless dan kemudian dijadikan pendopo baru dengan gaya eropa. Keberadaan persembunyian Suman diketahui oleh Suhar dan ki Butho, mereka datang menyelinap dan menyamar untuk menculik Sinta Salim dengan maksud akan di serahkan kepada Landless untuk mendapatkan imbalan kekuasaan.

Akhirnya Sinta Salim ditangkap untuk memancing keberadaan Mas Ageng.akan tetapi Suman dapat menyelamatkannya, ia bersama pengikutnya menyamar sebagai pemain sandiwara, dan berhasil membunuh Landless. Suhar murka karena proyek jalan trans Jawa-nya gagal, Suhar akhirnya menyergap Suman di persembunyiannya sekaligus membawa Sunta Salim untuk dijadikan pengantinnya.

Menjelang pernikahan Ki Butho menderita sakit, karena Sungai Bengawan Solo minta tumbal kembali, dan Suman menjadi tubal itu. Suhar tetap ingin mempersunting Sinta Salim, akan tetapi Sinta Salim meminta syarat, yaitu Suhar harus makan tujuh kerat daging Suman yang sudah didibunuhnya, Suhar berhasil melalui Syarat itu. Sinata Salim Meminta persyratan Kedua yaitu tubuhnya ingin dibersihkan terlebih dahulu oleh air sungai bengawan, padahal itu alasan ia untuk bunuh diri.

Suhar jadi terpukul akhirnya Suhar pun di tangkap di sebuah goa oleh pasukan Ageng Rais yang datang dari barat, akhirnya Suhar menerima hkuman balasan dengan menggali sumur dri Mojokuto memanjang ke Barat.




Visi Penyutradaraan
Teks Cannibalogy ini merupakan teks terbuka, yakni teks yang mengarah ke interprestasi yang rumit, yang bermain diwilayah antara keserupaan dan kemiripan peristiwa, untuk dapat memberikan penggandaan makna dan konteks antara yang fiksional dan faktual. Tapi kemudian, penggarap mempunyai visi ideologis dengan menghilangkan beban faktual dari unsur visual pada tokoh-tokoh di naskah ini, selain tokoh Suhar. Tokoh Suhar ini akan lebih banyak menggunakan referen visual yang lebih mempunyai keserupaan yang ada di dunia nyata. Hal ini dilakukan sebagai sebuah prinsip personal penggarap dalam melihat makna teks terbuka ini. Bahwa dimensi psikologis pada hasrat berkuasa Suhar masih aktual sebagai “pemakan” hak hidup dan berkehidupan manusia lain atau “pembunuh” kemanusian di Indonesia.







Meskipun dalam konteks kanibal ini tokoh Suhar adalah tokoh yang diperdaya sebagai kambing hitam dari hasrat destruktif masyarakat, tapi keinginan Suhar yang mengaktualisasikan dirinya di jalan kekuasaan adalah proyeksi dari naluri destruktif manusia ketika dirinya ada pada titik menyerah pada apa yang dipilihnya sebagai jalan untuk bertahan hidup. Sebuah keputusan yang mungkin sangat terjadi di ranah sosial saat ini, di Indonesia bahkan diseluruh dunia. Penajaman ini diharapkan akan merubah atau setidaknya mengganggu perspektif penonton kepada tokoh-tokoh yang dianggap negatif atau tidak normal di kalangan masyarakat, seperti yang direpresentasikan oleh Benny melalui tokoh Suman, yang bertahan hidup dengan cara memakan mayat, yang tidak mempunyai hak untuk hidup







SUSUNAN PRODUKSI dan ARTISTIK

Pimpinan Produksi
Machmudin

Sutradara
Taufik Darwis

Pemain
Aktor Agus Sanusi S,Psi., Ahmad S Djamil, Alis Kariani, Andreas Chandra, Belianti M Lestari, Carrisa JP, Elis ermawati, Faridha Siti Nurjanah, Ganjar Poernama, Gina Amelia, Idil Aqsa Akbary, Indra Nugraha, Lissie Martiani, Machmudin, Medhian Ramadhika, M Ikbal Maulana Syarif, Nanda Trixie, Ria Tsania Dewi, Rizky M Okitriana, Suharmoko, Suyadi, Untung Wardojo, Yayat Hidayat.

Pemusik
Lawe N.H, Dedi Ardian Banjar, Yuni, Icha, Boyan Gonzales

Penari
Linda Novia, Widaz A’I, Hani Bia, Irma, Febi Maharani, Oki

Penata Artistik
Asep Holidin

Penata Cahaya
Aditkhan





Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka