Oleh
Taufik Darwis
Arifin dan Teaternya: suatu organisme radikal
yang berproses
Arifin C. Noer, bersama Rendra dan
Putu Wijaya dikenal sebagai generasi ‘ketiga’ dari para insan teater nasionalis
setelah generasi teater Era Pembangunan Bangsa
dan teater Peralihan ke Realisme: ‘kewargaduniaan’ Usmar Ismail-Asrul
Sani di ATNI, LEKRA dan STB Bandung (awal)-Studi Grup Drama Djokja. Generasi
‘ketiga’ yang menjelang
paruh 1990-an ini dianggap mempunyai pandangan lebih jauh (eksperimental)
terhadap teater daerah tradisional (Bondden, 1999: 911-929).[1]
Pandangan ekperimental tersebut tidak
lain karena penolakannya terhadap nativisme kultural Orde Baru (Taman Mini
Indonesia Indah) dan terhadap ‘realisme’ yang dipercayai tidak akan membentuk
sebuah jenis ‘teater-seni’ baru, tapi malah akan mempertahankan sebuah
ortodoksi universalisme Barat dalam seni teater. Ortodoksi itu dilembagakan dan
dipertahankan oleh lembaga-lembaga pendidikan teater Indonesia (serta komunitas
yang dipengaruhinya) yang berdiri di dalam masa-masa Indonesia (Jakarta) mempunyai
relasi (kekuasaan) yang jelas dengan kekuasaan kolonial dan polemik kebudayaan di
masa-masa transisi kedaulatan nasional.[2]
Arifin mengatakan lembaga-komunitas yang
mempertahankan ortodoksi tersebut, “boleh dikatakan mereka sama sekali asing
dengan ihwal teater tradisional Indonesia sendiri” sehingga menurutnya “tanpa mereka
sadari sendiri sebenarnya mereka sedang menciptakan suatu teater Barat
sementara di luar kampus mereka berlangsung suatu masyarakat yang baru yang
bernama Indonesia yang sedang berproses” (Arifin, 1999: 110).
Indonesia yang sedang berproses itu
menurutnya seharusnya bekerja dalam diri seseorang Indonesia juga, Arifin
mengambil contoh dirinya yang tidak mungkin terus-terusan bersikap bule: “karena
bukan saja kulit saya sawo matang, tapi juga lanskap saya Cirebon berbeda dengan
lanskap Lowa atau Nancy”. Maka di dalam berteaternya, Arifin mengambil
sikap “aktif dalam ikut ‘memproses’ kebudayaan baru dunia, atau seni teater
Indonesia khususnya”, karena Dia yakin bahwa “kesadaran akan posisi dalam suatu
ruang dan waktu adalah sangat penting kalau tidak mau dikatakan perlu”. Karena Dia
“tidak rela terus-menerus tidak menyadari apa yang sedang saya ikut-kerjakan
dan sedang berlangsung” (Arifin, 1999: 108).
Resistensinya
bukanlah resistensi yang ambivalen seperi Asrul Sani yang menolak kebudayaan
lama tapi menjadi warga dunia yang bebas dan menjadikan ‘realisme’ Barat
sebagai milik sendiri (Indonesia) di masa transisi kedaulatan, resistensi Arifin adalah resistensi terhadap keresmian Barat
dan Timur (atau Indonesia) yang
menolak segala ortodoksi tradisional baik dari Barat (alih bahasa, adaptasi,
apropriasi/penyerapan) maupun dari Timur
(yang nativistik atau hanya sekedar bungkusan) yang menurutnya, tanpa resistensi
seperti itu teater Indonesia hanya
bersikap terus menerus menghina diri sendiri. Resistensi dengan menolak segala
yang baku itu ialah resistensi yang sadar akan berbagai kompleksitas, yang terjadi di masyarakatnya, atau katakanlah
“Indonesia yang sedang berproses”. Maka sebagai titik tolaknya Arifin
mengatakan: “Saya yang di Timur ini harus bebas dari suatu
kompleks-rendah-diri!” dan sekali lagi saya katakan “bersikap aktif dalam ikut
‘memproses’ kebudayaan baru dunia umumya, atau seni Teater Indonesia khususnya”.
Ari-Ari atawa Introgasi
2 yang ditulis Arifin pada tahun 1989 adalah lakon drama lanjutan dari Dalam Bayang Tuhan atawa Introgasi 1.
Dua lakon ini sama-sama mengisahkan Sandek dan Direktur alias Malin dengan latar
perburuhan dengan berbagai macam permasalahannya. Sandek mengalami kebisuan
total dan masyarakat dunia juga ikut-ikutan bisu, sontak membuat seluruh
aktivitas seluruh kota di dunia menjadi macet total yang akhirnya membuat
Direktur harus mencarinya karena dianggap menghentikan gerak ekonomi, sejarah
dan kemajuan manusia. Di dalam esainya Sastra
Kita Sastra Borjuis[3],
Arifin terang-terang mengatakan akan menjadikan tokoh Sandek (bersama Waksa)
sebagai ‘masa depan’ penulisan lakonnya yakni figur “manusia yang lebih
perkasa” di dalam “abad penghinaan habis-habisan Manusia” dan menjadikan Abu
dalam lakon Kapai-Kapai sebagai ‘masa silam’-nya. Dalam esai ini juga tersimpan
informasi yang membuat saya mendapatkan latarbelakang penulisan dua lakon tadi
yang sama-sama mengisahkan latar perburuhan itu, di mana Arifin “minggat dari
keraton bernama Taman Ismail Marzuki” karena ingin menjadi “orang biasa” dan
kemudian bekerja di Kawasan Industri Pulo Gadung. Tempat yang menurut pengakuannya
sendiri: “berkesan karena dapat bertemu dengan
kalimat serta Kata-Kata dan bukan huruf-huruf yang banyak saya temui di keraton Taman
Ismail Marzuki”.
![]() |
Pertunjukan Ari-Ari atawa Interogasi 2, sutradara Ikbal Maulaa Syarif, resital Jurusan Teater STSI Bandung, Mei 2013 |
Direktur dan Sandek:
adalah satu subjek yang terbagi
“Karena Sandek adalah Ari-Arimu”, tegas Ibu Malin kepada anaknya, yakni
tokoh Direktur yang dari awal sampai
akhir lakon kelalapan mencari Sandek (dipertemukan di lakon Dalam Bayangan Tuhan) yang dianggap menjadi
penyebab bencana-wabah bisu di mana-mana di apa-apa. Yang menarik dari lakon
ini adalah bagaimana strategi Arifin membela
‘manusia’ tadi melalui figur Sandek yang malah dalam bahasa tokoh Direktur
secara implisit sebagai ‘anti manusia’ karena mogok bicara, mogok bernalar,
atau kita langsung keintinya saja: mogok menjadi manusia! Kalau Arifin dengan
menggunakan Sandek yang ‘anti-manusia’ untuk membela manusia dari penghinaan
habis-habisan, maka bukankah dalam konteks ini Arifin ingin mengatakan bahwa
yang ‘anti-manusia’ ini lebih manusia? Padahal Sandek ini bukan hanya saja
seorang individu tapi banyak! Kita simak penggalan Dialog tokoh Malin alias
Direktur kepada Sandek: “Secara individu
kamu ini hancur. Karena itu kamu menghimpun massa, menegakkan ikrar dan bukan
nalar. Sebaliknya saya selalu berdiri seorang diri. Manusia! […] Saya yakin
saya manusia. Justru kalian adalah gerombolan hewan yang mengandalkan senjata
insting. Paling tinggi tingkatan kamu tingkatan manusia primitif!”
Lewat perspektif psikoanalisa Lacanian, Arifin melalui Direktur
($) yang dari awal gelisah karena dunia
dan manusiannya bisu dan anti kemajuan sampai (O) sampai akhir lakon
mencari-cari Sandek (a) yang bisu adalah pengalaman anxiety yang
ingin mengalami kepuasaan di dalam tatanan simboliknya: kemajuan. Tanpa Sandek
dia tidak akan mengalami kepuasan, maka dari itu Sandek dibutuhkan dan ingin
ditemui supaya mengatakan sesuatu dan menjadi objek a. Tapi Sandek tidak berhasil ditemuinya, di akhir lakon dia hanya
bertemu Ibu yang sebelumnya ia kutuk memakai laser. Dan setelah Ibunya
menjelaskan bahwa Direktur dan Sandek itu adalah satu orang, yakni anaknya
sendiri, Direktur meminta Ibunya mengutuknya, tapi tidak bisa sebab kecanggihan
ilmu teknologi sudah menggantikan dongeng. Tiba-tiba suara telepon berdering,
Sandek menelepon dan memanggil-manggil (berbahasa): Malin...! Malin..!
Direktur dan Sandek adalah divided subject yang muncul karena subjek mengungkapkan statment yang membelah subjek. Subjek yang berbicara tidak bisa melihat lost object, tapi subjek punya modal yaitu jejak yang berupa a. Di sinilah peristiwa fantasi
($<>a). Arifin ternyata tidak berhenti dengan keberpihakannya kepada
Sandek yang anti-manusia tadi, tapi juga melarang Direktur untuk bertemu dengan
Ibunya kembali (jouissance pra-simbolik). Dalam kondisi seperti ini mau tidak mau Direktur harus terus menemui
Sandek yang kata Ibunya sedang belajar
bersuara, belajar membaca, dan sedang mencoba bicara
tapi tidak dengan bahasa yang lama,
Sandek akan berbicara dengan bahasa yang baru. Subjek yang baru, tapi kapan?
Pembaca
dan Penontonlah yang menentukan sendiri, di sinilah Arifin tidak menghendaki
penontonnya menjadi masyarakat yang mekanik seperti apa yang dikritiknya. Malah
kalau bisa dikatakan Arifin membuka peluang pembaca dan penonton tadi
mengidentifikasi hanya satu sisi subjek saja, misalnya kepada Sandek saja, yang
bisa dibilang menjadi tokoh protagonis bagi masyarakat. Dengan strategi
penokohan seperti ini Arifin – baik disengaja ataupun tidak disengaja – seperti
membuka kemungkinan pembentukan subjek politik bagi pembacanya. Teruatama penggarap, tantangan untuk
menggarap lakon ini, yaitu selain teks yang bisa dibilangan teks diskusi yang
berpanjang-panjang, tantangan penggarap adalah bagaimana dia menangkap dan
menghadirkan subjek politik yang sedang akan menggunakan bahasa baru itu. tentu
saja itu perlu diwujudkan dengan perangkat artistiknya, baik dari aktor sampai
urusan pengolahan tata pentas yang lain. Dan alahkan lebih menarik lagi kalau
penonton dari pementasannya sudah didisein sedimikian rupa bersasal dari kalangan
Direktur dan Sandek, pengalaman apa yang akan terjadi di dalam pertunjukan dan
setelah pertunjukan? ***
[1] Lihat esai Michael H. Bodden, Membuat
Drama Asing Berbicara Kepada Peonton Indonesia, dalam buku Sadur:
Sejarah Terjemahan di Indonesia dan
Malaysia, KPG, tahun 2009.
[2] Lihat Taufik Darwis, Mencari
Teater Modern Indonesia Versi Asrul Sani, artikel lepas, 2012
[3] dalam Dua Puluh Sastrawan Bicara, Temu Sastra 1982, Dewan Kesenian
Jakarta.
Komentar
Posting Komentar