Langsung ke konten utama

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (2)


Oleh Taufik Darwis



TEATER YANG LAHIR DARI KE-WARGA-DUNIA-AN ASRUL?
Coba saja pikir, ketika itu kedaulatan Negara baru saja didapatkan setelah sekian lama perjuangan berdarah dan diplomasi dijalankan. Belum sampai bernafas lega, tiba-tiba Negara yang masih sangat muda ini menghadapi sekian banyak masalah politik, ekonomi, dan sosial. Di saat seperti itu tiba-tiba pula Asrul tampil dengan sebuah pernyataan yang dengan lantang menggugah kesadaran dan orientasi kultural. Baru saja sebuah batas perjalanan sejarah bangsa berhasil didirikan dengan darah dan air mata, ia tampil dengan pernyataan kultural yang terasa seperti merelatifkan batas itu – “Kami adalah ahli waris yang sah kebudayaan dunia dan kebudayan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri”.  Mengapa tidak mengatakan “ahli waris kebudayaan nenek moyang?” bukankah ini bikin perkara namanya? (Abdulah, 1997: xiv)


            Kalimat tersebut sengaja saya kutip dari kata pengantar Taufik Abdullah dalam buku Surat-Surat Kepercayaan[i] untuk memberi gambaran bagaimana Asrul dan Angkatan’45 menjadi begitu penting dibicarakan oleh para seniman sebelum dan sesudah generasinya. Abdullah mengatakan bahwa Asrul “bikin perkara” karena mempunyai kesadaran kultural yang percaya untuk berfikir bebas, tapi bukan pada gejala sosio-kultural yang terjadi yakni lahirnya sebuah Negara Indonesia, tapi pada dirinya sendiri.  Apakah Asrul memang “bikin perkara”? 

            Kalau membaca dari uraian biografi singkat di atas, ke-wargadunia-an Asrul dengan kalimatnya “Kami adalah ahli waris yang sah kebudayaan dunia dan kebudayan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri” merupakan konsekuensi dari perjalanan birografisnya yang semenjak kecil sampai pendidikan tinggi banyak bersentuhan dengan kesusastraan dunia.[ii] Keith Foulcher dalam esainya “Angkatan’45 dan Warisannya”[iii] mendefinisikan bahwa sastra Angkatan’45 timbul dari hasil karya sekelompok penulis yang aktif pada masa pendudukan Belanda di Jakarta pada tahun 1945. Ungkapan kesusastraan kelompok penulis ini menunjukan pada adanya asimilasi suatu kecenderungan kesenian dan kesusastraan modernis Eropa di tahun-tahun antara masa peperangan PD I dan II pada kebudayaan Indonesia (1997: 96).

Lalu lebih jauh Foulcher mencoba mencoba mengaitkan sekaligus membedakan  Angkatan’45 dengan gerakan nasionalisme Indonesia aliran Sjahrir (pamannya Chairil) yang mengembangkan sebuah kerangka berpikir dan bertindak yang tidak menemui kesulitan dalam merekonsiliasi antara perjuangan gerakan nasionalis bagi kebebasan dan kemerdekaan Indonesia, dengan rasa hormat pada nilai-nilai dan peradaban Barat, yakni pembangunan pola pikir internasional - Meskipun pada titik berikutnya Foulcher mengatakan bahwa tidak ada titik persinggungan secara langsung antara gerakan Sjahrir dan Angkatan’45 - :

Upaya keras bagi taraf pengertian ‘internasional’ ini menjadi tema utama dalam karya-karya kelompok Chairil Anwar. Ini bukanlah ‘internasionalisme’ yang ditawarkan Sjahrir dan kelompoknya yang berdasarkan pada suatu kerangka dalam memahami pertentangan antara fasisme dan kapitalisme selama masa pendudukan Jepang. Sebaliknya bagi Chairil dan kelompoknya hal ini berangkat dari identifikasi terhadap estetika modernis Eropa. Ini berarti, ketika digunakan oleh Chairil Anwar dan kelompoknya, kerangka ‘internasional’ ini menempati tanggung jawab penuh pada integritas individu seniman/intelektual sebagai ‘pembangunan kebudayaan’.  (1997:93-94)

Nasionalisme Kebudayaan - atau kata Abdullah “warisan nenek moyang”  atau dalam bahasa Asrul “melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan”-  itu dielakan karena mengaburkan tanggung jawab individual. Karena menurut Asrul “yang pokok ditemui adalah manusia”. Jadi apa hubungannya ke-wargadunia-an Asrul dan Angkatan’45 ini  “yang pokoknya ditemui adalah manusia” dengan pencarian teater  (versi Asrul) yang akan dibaca dalam perspektif pascakolonial ini?





PEMIKIRAN TEATER ASRUL
            Sebelum lebih jauh saya membahas mengenai bagaimana Asrul bergulat dengan pemikirannya sendiri mengenai teater, yang nantinya melahirkan beberapa peristiwa penting bagi teater  Indonesia (dalam versinya), izinkan saya untuk mengutip beberapa pemikirannya untuk membawa saya lebih memahami letak dasar pikirannya dalam memposisikan teater. Pun signifikansinya bagi kepercayaan pada ke-wargadunia-an “yang tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia”, dan “tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan”, tapi” memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat”.  Di bawah ini[iv] adalah kutipannya:

Salah satu hal yang paling banyak dipersoalkan di Negara-negara baru berkembang – termasuk kawasan Asia Tenggara – adalah persoalan identitas diri dan pencarian identitas baru. Persoalan ini adalah persoalan manusia dengan keadaan sekitarnya, persoalan kondisi manusia dalam suatu zaman. Dan jika orang yang mempersoalkan ini mengarahkan pandangannya pada sejarah maka akan ia rasakan dengan keras kekosongan yang terdapat dalam sejarah kebudayaan Indonesia yang saya gambarkan tadi. Ia akan menginginkan sejarah kebudayaan sebagai sejarah umat manusia. Akan, kelihatan bahwa pemikiran sejarah dalam rangka ratusan tahun tidaklah menolong, bahkan dapat menyesatkan. (Asrul, 1997:242)
[…]
Memang tidak mudah untuk mengisi kekosongan yang terasakan terdapat dalam gambaran sejarah Kebudayaan Indonesia ini. Tidak adanya kronik-kronik  atau catatan harian yang diperlukan untuk ini sangat mempersulit pekerjaan peneliti atau pengarang. Tapi jika bergerak ke zaman yang leih dekat, misalnya ke abad 19, artinya ke wilayah sejarah modern, maka kemungkinan ini akan lebih ada. (1997: 243)
[…]
Jika kebudayaan dipikirkan sebagai pola kehidupan yang dipelajari bersama dan diikuti bersama oleh anggota masyarakat, maka jelaslah bahwa dalam memikirkan sesuatu rangsangan selalu mempergunakan contoh atau “model”.  Kekosongan ini harus diisi oleh salah satu lembaga yang terdapat dalam sistem kebudayaan tersebut. Dan di Indonesia lembaga itu adalah teater. (1997: 244)

Di dalam kutipan di atas, jelaslah bahwa implikasi dari pendirian ke-wargadunia-an dan pengutamaannya kepada manusia  berpengaruh di dalam pemikirannya tentang teater yang dijadikannya model untuk mengisi “kekosongan dalam sejarah kebudayaan Indonesia”, untuk menjawab “persoalan identitas” sebagai manusia-anggota masyarakat dari Negara yang baru merdeka di bawah bayang-bayang politik internasional. Sebab masa-masa kemunculan pemikirannya masih ada di dalam gejolak “keperkaraan” pandangannya dalam Surat Kepercayaan Gelanggang.

Kalau saya coba untuk mulai memasuki kasus penerjemahan lebih dari 100 judul naskah sastra drama (yang tercatat) misalnya, ini membuktikan konsistensinya sebagai individu yang mempercayai apa yang diperjuangkannya. Meskipun disadari atau tidak mempunyai jejak keterpengaruhan dari semasa interaksinya dengan pergaulan kalangan intelektual Belanda. Pemikiran tentang penerjemahan naskah ini saya dapatkan dan kutip dari dalam salah satu esainya:

Konperensi Teater Internasional yang kira-kira dua bulan lalu diadakan, juga bersamaan dengan itu diadakan Konperensi Penggemar Teater. Tidak dalam ikatan UNESCO, tapi dengan bekerjasama erat dengannya. Inggris mengirim ketua British Drama League dan ahli-ahli sandiwara lain untuk berbicara dalam koperensi penggemar sandiwara ini.
[…]
Maka untuk saat ini ada baiknya jika di Indonesia didirikan sebuah liga seni drama yang berusaha dalam kemajuan-kemajuan seni drama. Salah satu soal yang musykil pada kita sekarang ini ialah tidak adanya atau sangat sedikitnya karangan-karangan sandiwara yang dikarang oleh pengarang-pengarang Indonesia.
[…]
Tapi kekurangan ini dapat kita isi dengan mengadaptasi drama-drama luar negeri. Dan ini adalah kewajiban yang patut di liga ini. Banyak orang mengatakan bahwa kita mempunyai bakat yang besar untuk bermain sandiwara. Tapi permainan sandiwara juga menghendaki teknik dan teknik harus dipelajari. Jika Liga Drama ini hendak didirikan, sedapat mungkin janganlah ia didirikan dengan hubungan pemerintah.[v]

Bisa dibilang, kutipan di atas inilah titik awal keputusannya untuk banyak menerjemahkan naskah-naskah dunia sebagai representasi golongan pelajar dengan teater amatirnya yang gandrung kepada naskah-naskah Barat-dunia yang sudah saya bahas melalui tulisan Jakob Sumardjo dalam sub-bab di atas. Tapi tidak hanya itu, Asrul juga dalam kutipan tersebut sudah memikiran tentang pembentukan lembaga kesenian khususnya di Jakarta yang nantinya menjadi ATNI, DKJ, dan IKJ.  Tentang penerjemahanan dan pembentukan lembaga kesenian terebut, juga diterangkan Ajip Rosidi dalam catatan penyuntingan Surat-Surat Kepercayaan: “Ketika DKJ menyelenggarakan proyek menerjemahkan lakon dan sastra dunia, Asrul banyak mengambilnya. Saya, ketika menjadi salah seorang Ketua DKJ, pernah menghitung, ternyata lakon dan roman yang telah diterjemahkan oleh Asrul lebih dari 100 (seratus) judul” (Ajip, 1997: viii).  

Ania Lomba dalam buku Kolonialisme/Pascakolonialisme menaruh pentingnya naskah-naskah literer yang bisa dikatakan jauh dari, atau bahkan kritis terhadap, ideologi-ideologi kolonial, bisa dibuat menjadi mengabdi kepentingan-kepentingan kolonial melalui sistem-sistem edukasional yang mendevaluasi literature-literatur pribumi, dan melalui praktik-praktik kritis Eropa-sentris yang berkeras bahwa naskah-naskah Barat tertentu merupakan pertanda budaya yang lebih unggul. (Lomba, 2000:112). Apakah Asrul menilai sastra drama yang diterjemahkannya itu unggul? Di salah satu esainya yang lain, kepercayaannya akan individu-manusia yang kuat walaupun dianggap-menganggap golongan minoritas juga menjadi penting dalam pemikirannya:

Juga dalam bidang teater, golongan baru ini menumbuhkan teater yang baru. Jika kita merasa perlu juga untuk mengklasifikasikannya, maka teater ini dapat digolongkan pada teater yang dibangun atas dasar teater Barat. Relatif  teater ini baru, namun ia berkembang dengan cepat sekali dan perkembangannya berlangsung di seluruh pelosok Nusantara. Yang jadi paling penting dari fenomena baru ini ialah bahwa ia tidak lagi bertujuan menjadikan dirinya sumber citra yang harus dijadikan contoh oleh orang banyak. Ia tidak menampilkan Arjuna dan Gatotkaca yang dapat dijadikan bahan bagi orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Ia terutama megemukakan hubungan antar manusia dan kenyataan waktu dan tempat. Ia tidak berpikir normatif; yang ideal dapat diomongkan tapi harus diperhitungkan adalah kenyataan yang sebenar-benarnya. Dewa-dewa yang bertubuh manusia diganti dengan manusia yang sebenarnya dengan segala kemungkinan dan kemustahilannya, dan hak-haknya untuk memperjuangkan bentuk hidup atas dasar kebenaran sendiri. (Asrul, 1997:252)

Asrul dengan tegas mengatakan dalam kutipan esai ini: Teater Barat. Teater Barat yang dimaksudkan Asrul adalah teater yang memanggungkan manusia oleh manusia, yang percaya pada manusia. Juga sastra drama yang percaya pada manusia, bukan  sosok lain di luar manusia. Manusia yang berada dibelahan bumi manapun. Karena yang paling penting adalah pesan, amanat, dan makna drama yang dapat terjadi di mana saja. Asrul lebih jauh menerangkan lebih jelas:

Tidak. Jika saya bicara teater dan pendidikan masyarakat, maka tidaklah saya maksud teater mempengaruhi, teater sebagai propaganda, tapi teater yang dijadikan alat untuk kepentingan pembebasan jiwa manusia, pendekatan rakyat dengan zaman dan realitas zamannya sendiri. tragic interealitet-idee. Bukan teater yang memberikan pelajaran, tapi alat komunikasi yang mengutarakan perasaan dan pikiran. (Asrul, 1997:237)
[…]
Teater ini diberikan predikat modern atau kontemporer, oleh umum ia diberikan kehormatan untuk secara resmi memakai predikat seni dalam arti tinggi; ia mulai dipelajari; kaum cendekiawan menaruh perhatian padanya; kaum muda tertarik olehnya; dalam dirinya terkandung potensi yang besar untuk tumbuh. Tapi pada saat ini ia merupakan teater golongan minoritas. Sekirannya bangsa kita menemui manusia dan menaikannya ke atas panggung, maka dalam teater ini manusia itu bukan lagi tipe tapi individu. Teater ini menjadi alat untuk memahami manusia dengan lebih baik. Teater ini mengakui kekhususan setiap pribadi. Teater ini adalah teater demokrasi baru, dan emansipasi manusia modern. Teater yang memilih dan membebaskan diri dari hukum yang menyemaratakan setiap manusia. Sebagai teater yang muda ia belum mampunyai tradisi. Tidak dapat diingkari bahwa bentuk teater ini orientasinya masih ke Eropa dan Amerika. Dalam usahanya untuk mencari bentuk, maka pengertian modern diukur dengan pengertian modern Eropa. (Asrul, 1997: 265)

Kepercayaannya pada manusia sebagai subjek ini juga berpengaruh pada penerjemahannya di luar naskah sastra drama, yaitu teknik-teknik pemeranan atau akting yang juga mempercayai manusia: Stanilavsky (dan Boleslavsky)[vi] yang menekankan psikologi individu pada masalah-masalah sosial, yang kemudian penerjemahannya diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Seperti diterangkan Ajip:

Karena minat Asrul terpusat pada dunia pentas, sebelum masuk kedunia film – walaupun saatnya mungkin hampir bersamaan. Pada awal tahun 1950-an, tulisan-tulisanya masih suara dari kejauhan, tetapi kemudia menjadi lebih menyatu dengan kegiatan teater dia bersama Usmar Ismail medirikan Akademi Teater Nasional (ATNI) yang sehari-hari dia pimpin. Asrul juga pernah mendapat kesempatan untuk mempelajari teater di Amerika, membawa gagasan teater yang berdasarkan kebenaran psikologis yang dimulai oleh Konstantin Stanislavsky dan besar pengaruhnya terhadap kelompok teater Actrors Studio di New York yang pada waktu itu mencapai masa jayanya. Asrul sendiri kemudia menerjemahkan karya utama Stanislavsky, Pesiapan Seorang Aktor  (Pustaka Jaya, 1979). Metode akting itu dipraktekan Asrul dengan para mahasiswanya dalam pementasan karya-karya terjemahan. Dari lembaga ini kemudian lahir para aktor, aktris, dan sutradara Indonesia andalan seperti Ismed M. Noor, Tatiek Malyati, Steve Liem (Teguh Karya), Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaja, dan lain-lain. (Ajip, 1997: x)
                                                                                   
Selain pemikirannya tentang  penerjemahan sastra drama, teori-metoda akting, dan infrastruktur  bagi  teater. Asrul juga di dalam esai-esainya yang lain mengutamakan fungsi teater bagi pembentukan Bahasa Indonesia. Bagi Asrul teater adalah alat yang baik sekali untuk penyebaran bahasa Indonesia (1997: 270) di masa-masa transisi pascakemerdekaan. Karena menurutnya kelengkapan yang harus dimiliki oleh dialog drama membuat penggunaan bahasa dalam drama jauh lebih kaya dari pada penggunaan bahasa dalam film. Tapi di sisi lain Asrul juga mengkritik drama atau teater yang menggunakan bahasa di luar penggunaan bahasa yang baik, bahasa yang dimaksudnya adalah bahasa keseharian.  Berikut ini adalah kutipan lengkapnya:
                       
Dalam soal bahasa, teater dan film adalah semacam parasit. Ia mempergunakan bahasa yang sudah ada dan menyajikan bahasa dalam bentuk-bentuk yang lumrh dalam suatu zaman. Ia merupakan pedagang yang menjual barangnya secara borongan, yang buruk dan yang baik sekali pukul. Ia akan menyebarkan bahasa: segala macam kebiasaan yang baik dalam bahasa dan juga segala macam salah kaprah. Secara kasarnya dapat diambil kesimpuan bahwa dalam soal bahasa, bahasa teater dan film adalah hasil dari penggunaan bahasa masyarakat. Akan baik bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat akan lebih baik dan terang pula bahasa yang dipergunakan dalam film dan teater. (Asrul, 1997: 273-274)

Di dalam paragraf terakhir ini saya akan coba membatasi sekaligus menarik kesimpulan sementara terhadap pemikiran teater Asrul Sani ini. Di mana saya mengambil tiga poin penting di dalam pemikirannya bagi perkembangan teater Indonesia selanjutnya. Poin itu adalah penerjemahan sastra drama dan teori-metode akting,  infrastruktur untuk teater, serta penggunaan dan  pembentukan Bahasa Indonesia di dalam teater.



PEMBACAAN PASCAKOLONIAL PADA TEATER INDONESIA VERSI ASRUL
Karena teater versi Asrul ini akan saya baca melalui perspektif pascakolonial, menurut saya sangat penting untuk mempermasalahkan dan mencari titik atau relasi kekuasaan dalam membaca perjalanan pemikiran-sikap Asrul yang begitu banyak meng-apropriasi[vii] kebudayaan – khususnya literatur  - Barat ke Indonesia (pra-pasca kedaulatan). Sebab dalam perspektif pascakolonial,

 literatur adalah suatu “zona kontak” yang penting, di mana “transkulturasi” terjadi dalam kompleksitasnya. Literatur ditulis balik oleh penjajah maupun oleh yang dijajah itu dalam prosesnya seiring menyerap, mengambil, dan penulis aspek-aspek dari budaya “lain”,  menciptakan genre, gagasan-gagasan, dan identitas-identitas baru. Akhirnya, literatur juga merupakan sarana penting untuk mengambil, membalikan atau menantang sarana-sarana dominan penggambaran dan ideologi-ideologi kolonial. (Lomba, 2000: 92-93)

Lalu kalau misalnya saya percaya pada Foulcher yang mengatakan bahwa pembentukan karakter Asrul dan Angkatan’45 ini terjadi lewat interaksi dan  dengan kebudayaan Eropa melalui pergaulannya di majalah dan penerbitan Belanda yang meletakan dasar bagi suatu daya penglihatan terhadap kemandirian identitas kultural berdasarkan dasar-dasar yang dianggap sah dan dapat berlaku secara internasional  (Foulcher, 1997:110) dan  mengambil pilihan untuk menjadi pembebas atau sang modernis di antara ‘kolaborasi’ dan ‘resistensi’di masa panasnya anti-kolonial yang juga sungguh-sungguh sadar terhadap motif-motif poltik Belanda. Apakah saya bisa juga menanyakan menjadi pembebas atau sang modernis Asrul dan Angkatan’45 ini, sebenarnya bebas untuk apa?  Untuk siapa?  Kalau saya bisa menjadikan pertanyaan ini dijawab secara imajiner oleh Asrul, dia mungkin menjawab pertanyaan saya seperti ini: untuk dunia! untuk pembangunan manusia, untuk pembangunan “manusia Indonesia” di panggung dunia.   

            Melalui jawaban imajiner tersebut  saya menaruh pentingnya konteks pembacaan sastra dan pascakolonial. Mengingat dalam pembahasan di atas  Foulcher, menyebutkan bahwa karakter Asrul dan Angkatan’45 dipengaruhi, dibentuk, dan dimainkan oleh kalangan intelektual-sastrawan Belanda. Karena dalam konteks sastra dan pascakolonial tekstualitas menjadi penting sebagai bagian dari wacana kolonial maupun sebagai bagian dari perlawanan. Sebab, kolonialisme bukan hanya berwujud penindasan fisik, tapi juga penindasan dan kolonisasi alam pikir. Apalagi Asrul mengalami semua itu secara langsung. Tak dapat dipungkiri bahwa ke-wargadunia-annya adalah hasil penyerapan dari berbagai keterlibatannya dengan zona kontak itu. Khususnya,  kanonisasi kehebatan dan humanisme budaya Eropa, yang mengedepankan manusia tadi.[viii] Manusia yang dalam istilah Asrul adalah “manusia yang sebenarnya dengan segala kemungkinan dan kemustahilannya, dan hak-haknya untuk memperjuangkan bentuk hidup atas dasar kebenaran sendiri”.  Tak heran jika Asrul banyak menerjemahkan (dalam proyek ATNI atau DKJ) karya-karya sastra drama dengan pengarang: W. Shakespeare, Rabindranath Tagore, Emmanuel Robles, Federico Garcia Lorca, Anthon Chekov, Nikolay Gogol, Albert Camus, Jean Paul Sarte, Henric Ibsen, August Strindberg, Moliere, Jean Anouilh, Bertold Brecht, Francoise Sagan, Alexander Ostrovski, Gerorg Bunchner, W. Butler Yeats, William Congrav, Carel Capek, Tank Dorst, Alezandre Dumas, Edward Albe, T.S Elliot, Elmer Rice, Frank Wedekind, Jean Genet, Jean Giraudoux, David Guraudon, Gerhard Hauptman, Friedrich Hebel, Alferd de Mussert, Arthur Miller, Eugene O’Neil, Ferenc Molnar, Harold Pinter, Luigio Pirandello, Jean Racine, Sean O’Cassey, Victor Sardon, Arthur Schnitzler, Eugene Scribe, George Bernad Shaw, Ivan Turgenew, Leo Tolstoy, Tennessee Williams, Thorton Wilder, Emile Zola.[ix]

PENUTUP
            Naskah sastra drama dari karya nama-nama pengarang di atas sampai hari ini kurang-lebih masih tersimpan, dipakai, dan menjadi standar di ranah dan praktik pergaulan teater, khususnya perguruan tinggi seni yang mengharuskan dirinya mempunyai kerangka/kurikulum tertentu untuk menghasilkan capaian-capaian penguasaan teori sekaligus praksis teater yang dilembagakan. Maksud saya dalam menggiring wacana ini ke wacana pendidikan seni atau pun di luar pendidikan seni yang turut membuat standar ini, adalah untuk mencoba menawarkan praktik pembacaan kontekstual (politis dan kultural) di dalam pergaulan tersebut dan untuk juga merangsang meredefinisi-merekonstruksi teks-teks kanon yang diperlukan sebagai ukuran dalam penilaian pencapaian kualitas estetik dan artistik saat ini (khususnya di pendidikan seni).

Konsekuensi dari teks-teks kanon di atas yang diserap Asrul melalui pergaulan intelektualnya sebagai yang berpendidikan juga dipakai untuk pendidikan juga, nah di dalam pendidikan itu mau tidak mau mempunyai ekses ke luar ranah pendidikannya juga. Kalau memang yang menjadi karakter teater pelajar (amatir) adalah “mutlak berpegangan pada naskah drama untuk main” menjadikan teks kanon ini semakin hegemonik melalui peran pendidikan dan kepercayaannya pada teaternya yang menyumbangkan moralitas kemanusia dan bahasa Indonesia yang baik, dalam pengertian membangun moralitas kedalaman nilai-nilai kemanusian, yakni moralitas universalisme Barat (yang padahal partikular Barat). Yang menurutnya bukan hanya sekadar bahasa yang “bisa dilihat dengan mata dan dihayati secara badaniah”, yang “persoalannya hanya berputar sekitar uang, makan dan pakaian – serta hubungan kekelamin”. Sebab Asrul percaya pada pameo “bahasa menunjukan bangsa.”[x]  

Kita perlu berani memeriksa dan mengungkap formasi macam apa yang menjadikan teks-teks tertentu dianggap sebagai kanon dan terus berlaku sampai saat ini. Hal ini tentu saja suatu melalui pembacaan sejarah (genealogis), kalau dalam istilah Foulcher terhadap kondisi  litertur Indonesia[xi]: “apa yang menyebabkan kita menjadi begini?”. “Kebeginian” yang macam apa yang terus bergerak di dalam tubuh wacana dan praktik teater hari ini?. Sebab apa yang diinginkan Asrul di dalam teaternya, yakni manusia di luar sastra drama dunia dan teori-metode akting,  infrastruktur, serta penggunaan dan pembentukan Bahasa Indonesia di dalam teater, juga sudah  bergerak dan memiliki konteks politis-kulturnya masing-masing. Mengingat bahwa teater  versi Asrul Sani ini lahir di kota Jakarta, yang banyak dipercayai pusat gejolak dari relasi kekuasaan Belanda-Indonesia. Dan itu semua bukan lantaran hanya sikap teaternya, tapi juga kerena kompleksitas dari berbagai peristiwa dalam lingkungan budaya saat pikiran-pikiran teater Asrul muncul.  Sebab yang sedang terjadi atau pun – untuk yang masih percaya kondisi teater kita hari ini baik-baik saja - nantinya teater yang mengalami “kebeginian” ini bukan tidak mungkin kehilangan apresiasi publiknya (atau sedang?) dan menjawab kehilangan itu dengan pragmatisme manajemen seni (pasar), serta memohon-mohon (dengan cara apapun) ke media massa agar ulasan pertunjukannya dimuat. Ketika kita sibuk dengan hal-hal pragmatis tersebut, kita semakin kehilangan daya dan tanggung jawab dalam membaca medan sosial dan kultural kita sendiri, di mana di medan itu terdapat publik, yakni penonton, semacam dwi-tunggal dalam praktik teater kita.  

            Juga sangat tidak adil bila saya menyalahkan Asrul karena  pembacaan saya dalam “kebeginian” dan semacam ramalan konsekuensional di atas. Sebab Asrul dengan segala pemikirannya mempunyai konteks sendiri. Misalnya, apropriasi yang dilakukannya dari penerjemahan literatur dan pemikirannya tentang fungsi teater sekaligus bagaimana membuat infrastruktur baginya. Semua ini karena beban kultural yang dipikulnya selama masa-masa pergolakan meraih kedaulatan menjadikannya mengambil posisi secara politis berada “di antara” atau dalam istilah Homi Bhabha mengalami ambivalensi. Ambivalensi ini merupakan sikap yang diambilnya dalam   bernegosiasi dengan: “motif-mortif poltik Belanda” dan penolakannya terhadap “ke-indonesia-an” yang nativistik. Dalam sikap Asrul, ambivalensi ini berati menjadi “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” untuk mengisi “kekosongan sejarah kebudayaan Indonesia” dan  memperoleh otoritas  pendidikannya yang mungkin dalam kenyataannya tidak disediakan oleh Indonesia sebelum memperoleh kedaulatan misalnya. Bukan tidak mungkin, pemikirannya tentang infrastruktur bagi teater titik awal alasannya ada pada masalah ini.

            Maka sebagai penutup, saya kira pandangan Chinua Achebe (pengarang Nigeria) yang ingin melihat kata universal dihapus sama sekali dari diskusi-diskusi tentang sastra Afrika dan menjadi sinonim kesempitan berpikir Eropa yang hanya berguna bagi diri mereka sendiri[xii] dan Ngugi wa Thiong’o (pengarang Kenya)  yang menyatakan keheranannya pada gagasan bahwa “Renaissance” atau “Pencerahan”  Eropa masih bisa diajarkan di beberapa tempat tanpa mengacu pada sejarah kolonial (Lomba, 2000: 84). Selain itu  bisa dijadikan rangsangan awal untuk mengganggu kepercayaan satu orang-generasi yang sudah terlembagakan dan sudah bekerja secara hegemonik terhadap generasi selanjutnya. Tentu saja, untuk tidak terjebak nativisme kultural dan esensialismenya di mana pada perkembangannya merupakan hasil dari streotipikasi Barat (turisme seni). Dengan menutup tulisan ini melalui pandangan dua sastrawan Benua Afrika tersebut, saya malah  mengganggap pencarian saya sebetulnya baru dimulai. Karena pembacaan terhadap teater yang dibawa Asrul Sani dari Eropa dan Amerika itu juga sebenarnya sudah dilakukan melalui pergaulan teater pada tahun 80-90’an, hanya saja mungkin pembacaan itu tidak eksplisit dibaca melalui perspektif pascakolonial dan hilang disekitaran wacana “kemajuan” Teater Indonesia di tengah medan globalisasi media yang datang lebih dekat pada manusia. Maka dari itu, anggapan sawal saya bahwa Asrul mempunyai pengaruh yang penting bagi teater modern Indonesia dibanding hanya sebagai penerjemah, tidak konyol-konyol amat.


Bandung-Yogyakarta, 2012.
*dimuat di
  • Jurnal Panggung Volume 23 No. 2, Juni 2013




[i] Surat-Surat Kepercayaan adalah buku kumpulan tulisan Asrul Sani yang disunting Ajip Rosidi dan diterbitkan Pustaka Jaya, tahun 1997. Di dalam buku ini juga terdapat Surat Kepercayaan Gelanggang yang ditulis Asrul sebagai sikap kultural atau pandangan dunia para seniman Angkatan’45.  
[ii] Biografi singkat di atas tentu saja tidak signifikan untuk membaca bagaimana interaksi Asrul dan Angkatan’45 di dalam relasi kehidupan politik dan kebudayaan (literatur) Belanda-Indonesia. Keith Foulcher dalam esainya yang akan dibahas ini mengutip dari esai H.B Jassin “Humanisme Universil” (tahun 1967, yang kemudian dihilangkan dalam edisi revisi tahun 1985). Kelompok Chairil Anwar pertama kali memperoleh saluran resmi dalam berekspresi melalui penerbitan majalah kebudayaan Gema Suasana bulan Januari 1948. Dewan redaksinya terdiri dari Asrul Sani, Chairil Anwar, Mochtar Apin, Rivai Apin, dan Bahharudin. Majalah kebudayaan ini diterbitkan oleh percetakan Belanda Opbouw (Pembangoenan). Dan juga pada saat yang sama beinteraksi secara akrab dengan pusat aktivitas lain dalam majalah kebudayan berbahasa Belanda yang terbit dua mingguan Orientatie yang terbit pada November 1947. Dua penerbitan majalah yang sama-sama diinisiasi oleh Belanda. Kalau dalam majalah Opbouw mereka memiliki tangung jawab penuh pada pengelolaan uang dan keredaksian, tapi di majalah Orientatie mereka ada dalam relasi (pada awalnya) kepentingan politik Belanda, dalam mendorong pertukaran budaya dan saling pengertian dalam sebuah iklim yang terkarakterisasi dengan perasaan saling bermusuhan dan penuh kecurigaan. Dan semuanya ada di bawah pengarahan pribadi penulis Hindia Belanda Rob Niewenhuys.  Sampai pada akhirnya, setelah penyerahan kedaulatan, Niewenhuys berusaha untuk memberikan karakter ‘sastera’ sepenuhnya pada majalah ini., dalam upaya menjauhkannya dari tujuan propaganda pemerintah Belanda. Dan menjadikannya sebagai tempat pertemuan bagi individu-individu yang berasal dari rasa apa pun dalam melihat ‘Indonesia sebai tanah air kebudayaan mereka. Di majalah inilah kelompok Chairil Anwar dijembatani untuk bersentuhan dengan Eropa modern. Dalam pengertian penyediaan buku-buku, maupun tempat untuk diskusi. Mereka juga mengiring penulis-penulis Indonesia melalui penerjemahan sejumlah karya sastera Indonesia yang dimuat dalam Orientatie. Dan memainkan peranan dalam hal pembentukan Angkatan’45 sebagai juru bicara revolusi Indonesia yang mempunyai karakter antipati pada motif-motif politik Belanda dan kebudayaan Belanda , sebagaimana tingkat kecurigaan mereka pada gejala nasionalisme kebudayaan. Dari iteraksi inilah (menurut saya) awal kelahiran pikiran-sikap kredo Surat Kepercayaan Gelanggang itu  lahir dan bergulir menjadi polemik kesusastraan Indonesia.
[iii]Untuk mendapatkan pengetahuan lebih konprehensif bisa di baca lebih dalam dalam esai Keith Foulcher ini yang juga terdapat di dalam buku Asrul Sani 70 Tahun. Hal: 85-113
[iv] Fungsi Teater, Budaya Jaya No. 68, 1973. Di ambil dari SKK
[v] Medium Yang Disia-siaakan, Diterbitkan di maalah Siasat, 30 Agustus 1953 . Diambil dari SKK. (Asrul, 1997: 216)
[vi]Lihat, Teater Saya Teater Kini, Arifin C. Noer,  dalam buku Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, dan Problema. Tommy. F Awuy (penyuting), DKJ, tahun 1999. Hal. 106-128. Arifin C.Noer sempat membahas sekaligus mengkritik tentang teknik pemeranan ini di dalam esainya.  Arifin mengetengahkan konsep inner-activity yang di dalam teori-metode akting Stanilavsky menjadi dasar teorinya. “Di mana seorang akor harus mempelajari kebudayan yang melatarbelakangi perannya secara lengkap, di samping ia juga harus menangkap secara tepat penafiran secara fisiologis, sosiologis, dan psikologis, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan kebutuhan permainannya.  Sungguh suatu kesulitan yang sangat besar bagi seorang aktor Indonesia yang kebetulan dari ‘kelas bawah’ (kelas yang jauh dari pergaulan dan sentuhan cara Belanda) untuk bisa menangkap lalu menghayati kebiasaan sehari-hari dari tokoh asing yang akan dimainkannya.”
[vii] Apropiasi adalah menjadikan sesuatu yang asing milik sendiri., “melalui proses peyerapan dan pembentukan ulang. Agar dapat menanggung beban pengalaman kultural seseorang” (Bill Ashcroft, Gareth Griffths, Helen Tiffin,  Menelanjangi Kuasa Bahasa, Qalam, Hal. 42)
[viii] Untuk memahami lebih jauh tentang hubungan pascakolonialisme dan humanisme, lihat: Leela Gandhi, Postcolonial Theory A Critical Introduction, 1998, Hal. 31-53.  Saya akan mengutip sedikit di sini. Leela menyebutkan, “dalam memahami hubungan yang menjengkelkan antara poskolonialisme dengan humanisme, sangat perlu untuk mengenali bahwa kajian poskolonial melahirkan dua pendekatan yang nyata secara kronologis, atas sejarahdan akibat-akibat humanisme. Pertama, berkaitan dengan humanisme sebagai progam budaya dan pendidikan yang berawal dari kebangkitan Itali sekitar pertengahan abad ke-16 dan berkembang dengan cepat menjadi wilayah kajian yang sekarang kita kenal sebagai ilmu kemanusian. Ke dua, pendekatan postrukturalis membawa makna yang dan kronologi yang lebih tepat dengan gagasan humanisme. Kajian ini mengidentifikasi humanisme dengan teori subjektivitas pengetahuan yang secara filosofis dikembangkan oleh Bacon, Descartes, dan Locke, dan dari sisi ilmu pengetahuan disarikan oleh Galileo dan Newton. Revolusi filosofis dan pengetahuan ini disampaikan untuk menemukan pemenuhannya yag sesuai di abad ke-18 di mana ia diterima sebagai Pencerahan atau Aufklarung.  
[ix] Saya sengaja menyebutkan nama-nama pengarang yang karyanya diterjemahkan Asrul di dalam tulisan saya, karena menurut saya penting untuk menunjukan informasi/ data yang sudah sulit dicari. Untuk inforasi lain tentang  berapa jumlah karya sastra perpengaran yang diterjemahkan Asrul bisa dilihat di buku Asrul Sani 70 Tahun, Hal. 306-308.
[x] Lihat SKK, Bahasa Indonesia dalam Film dan Teater, Hal.276.
[xi] Lihat, Keith Foulcher , In Search of the Postcolonial in Indonesian Literature, di dalam Clearing A Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sstra Indonesia Modern.
[xii] Lihat, Chinua Achebe, Clonolialist Criticism, Morning Yet on reation Day. Heinemann: London dll, 1977, 1-18

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka