: Dari apropriasi hingga ambivalensi,
suatu penelusuran pascakolonial
oleh Taufik Darwis
oleh Taufik Darwis
Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45. Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak mempermasalahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemukan apa yang menjadi dasar dari praktik penerjemahan itu, dan secara biografis, mencoba menemukan apa saja pengaruhnya (hasil pemikiran) bagi perkembangan teater Indonesia sampai saat ini.
Pelaku
teater mana yang tidak kenal Asrul Sani?
Banyak! Pertanyaan dan jawaban ini jarang atau malah mungkin tidak akan sama
sekali terdengar di ranah teater saat ini, sepeninggalan masa-masa
apa yang disebut “teater sutradara” dan minimnya forum-forum teater yang
menggalakan pengayaan pemikiran.[i]
Padahal menurut saya “teater versi Asrul” ini masih sangat berpengaruh dalam berbagai
praktik di dalam pergaulan teater, khususnya di perguruan tinggi seni, atau di
dalam kelompok-kelompok teater dengan ideologi estetik dan kultural tertentu
yang dipengaruhinya. Anggapan saya ini mungkin dirasa konyol atau terlalu
menyederhanakan, tapi di sisi lain tulisan ini juga dibuat untuk berusaha
menjawab anggapan saya sendiri. Dan karena anggapan saya sendiri juga, di
tulisan ini saya tidak akan membahas sejarah teater Indonesia versi
lain, misalnya versi yang digalakkan oleh IDRF (Indonesia Dramatic Reading
Festival) yang menggunakan buku Antologi Naskah Drama Indonesia 1-4 yang
diterbitkan Yayasan Lontar di mana di dalamnya terdapat semacam hipotesa besar
Sapardi Joko Damono, bahwa Teater Indonesia: “Sebermula Adalah Realisme”.
Kenapa? Karena buku ini terlambat hadir dan tidak terlalu terlembagakan di
dalam praktik pergaulan teater, apalagi di perguruan tinggi seni.
Maka
sebaliknya, Asrul Sani disadari atau tidak, pengaruh pandangan kultural dan
ideologi estetik-nya tentang bagaimana seharusnya teater Indonesia
secara langsung atau tidak, berpengaruh
sampai saat ini (meskipun sudah
bercampur baur secara majemuk). Khususnya tentang naskah drama
terjemahan, metode akting teater realis (Stanislavsky-Boleslavsky), dan
pembentukan lembaga kesenian (teater dan film) yang masih begitu terasa tertanam di ranah pergaulan
teater karena karya-karya terjemahan dari naskah drama sampai metoda pelatihan
akting masih tetap dipelajari dan diproduksi meskipun namanya yang mungkin hanya
dikenal sebagai penerjemah. Maka sebelum beranggapan lebih jauh dan lebih
konyol, untuk meretas sekaligus menjawab
saya akan mencoba menguraikan siapa Asrul Sani ini secara singkat.[ii]
BIOGRAFI SINGKAT ASRUL SANI
Asrul Sani, lahir di Rao, di bagian
utara Sumatra Barat pada tanggal 10 Juni 1927. Ayahnya raja adat setempat
bergelar Sutan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Sakti Rao Mapat yang
membawahi empat orangg raja-upeti. Dia adalah anak kedua dari dua bersaudara.
Asrul hidup berpindah-pindah dari Rao ke Lubuk Sikaping dan Bukit Tinggi untuk
bersekolah sampai belajar di HIS (SD dengan pengantar bahasa Belanda), meskipun
tidak disetujui ayahnya. Ketika orang tuanya juga pindah ke Bukit Tinggi, Asrul
mulai membeli buku-buku dari uang yang didapat dari ibunya, dan akhirnya dia
menjadi gemar membaca. Selain itu dia juga aktif sebagai pembaca di
perpustakaan yang terdapat di Bukit Tinggi, khususnya buku-buku terbitan Balai
Pustaka. Pengayaan membacanya juga ditambah lagi dari koleksi buku pamannnya
yang tidak terdapat di perpustakaan, yaitu buku tentang pergerakan nasional.
Pada tahun 1939 ayaknya wafat, lalu di tahun itu juga setamat HIS ia masuk ke
KWS (Koningin Wilhelmina School) Sekolah
Teknik Jakarta. Setelah merasa dirinya tidak berbakat di sekolah teknik dan
masuknya balatentar Jepang ke Indonesia, tahun 1941 dia kembali ke Rao. Pada
waktu itulah secara tidak sengaja Asrul bertemu dengan setumpuk buku yang
tersimpan di kamar, diantara terdapat sejilid sejarah kesusastraan Yunani dalam
bahasa Belanda. Di titik inilah timbul dorongannya untuk menulis.
Umur
16 tahun, dia berangkat ke Jakarta untuk sekolah lagi, tapi bukan di sekolah
teknik. Asrul masuk Taman Dewasa, Taman Siswa dan bertemu Pak Said yang juga
menyukai puisi. Di Taman Siswa juga ia makin berjumpa dan bergelut dengan
kesusastraan dunia. Di masa revolusi ia juga terlibat dengan perjuangan dalam
memperoleh kedaulatan dan bergabung dengan Pasukan 001 yang bertugas di
belakang garis musuh dan berpindah ke kota bogor dan meminpin surat kabar Suara
Bogor. Tahun 1950 dia kemudian keluar dari kesatuannya, karena mengaggap
perjuangan sudah selesai dengan bertepatannya pengakuan kedaulatan oleh
Belanda. Di Taman Siswa, Asrul duduk sebangku dengan Pramoedya Ananta Toer dan
di luar sekolah dia berkenalan dengan Chairil Anwar, Rivai Apin, Cornel
Simanjuntak, dan seniman yang lain. Bersama Chairil dan lain-lain, dia duduk
sebagai redaktur majalah Gema Suasana dan
redaktur lampiran kebudayaan “Gelanggang” pada warta sepekan Siasat yang dipimpin Rosihan Anwar dan
Soejatmoko, dan pernah juga tercantum sebagai anggota redaksi majalah Pujangga Baru, Majalah Indonesia BMKN
(Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional), dan
majalah Zenith yang dipimpin oleh H.B
Yassin.
Meskipun
Asrul terlibat dibeberapa surat kabar, tapi di Gelanggang-lah dia benar terlibat langsung, dan mengudurkan diri
dari berbagai keterlibatannya itu sejak tahun 1956. Di Gelanggang bersama Chairil dan Apin, dia menerbitkan berbagai
kumpulan sajak yang kemudian disebut sebagai pelopor Angkatan’45 dalam
perpuisian Indonesia dan mereka merumuskan konsep keseniannya yang kemudian
terkenal sebagai Surat Kepercayaan
Gelanggang. Tapi mereka akhirnya berpisah arah, Chairil meninggal tahun
1949, Basuki, Apin, dan Henk kemudian menjadi anggota aktif di Lekra yang
berpaham kiri, Asrul dan Usmar Ismail mendirikan Lesbumi (lembaga Seniman
Budayawan Muslimin Indonesia) yang berinduk pada partai Nahdatul Ulama. Sedang
Sitor Situmorang yang pernah membela Angkatan’45, kemudian mendirikan LKN
(Lembaga Kebudayaan Nasional) yang berinduk pada PNI (Partai Nasional
Indonesia).
Setelah
itu Asrul melanjutkan sekolahnya ke Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan Bogor dan
selesai tahun 1955. Tapi minatnya pada kesenian mengalahkan minatnya pada
bidang studinya. Tahun 1952 ia diundang oleh Sticusa (Yayasan Kerjasama
Kebudayaan Belanda) untuk belajar tentang teater di Akademi Seni Drama
Ansterdam, dan belajar tentang bloking pentas dan teori-metode akting
Stanilavsky.
Tahun 1954, dia berperan dalam pembentukan MSDR (Masyarakat Seniman Djakarta
Raya). Di tahun yang sama juga ia berangkat ke Amerika Serikat karena diundang
oleh Universitas Harvard untuk menghadiri seminar kebudayaan dan tinggal
bersama dengan grup “Playwright Theatre”. Sepulang dari Amerika, pada tahun
1955, bersama Usmar Ismail dan D. Djajakusuma, Asrul mendirian ATNI (Akademi
Teater Nasional Indonesia). Tahun 1956 Asrul berangkat lagi ke Amerika untuk
mempelajari dramaturgi dam sinematografi di University of Siuthern California
dan sepulang di sana dia mendirikan Persari (Persatuan Artis Republik
Indonesia). Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Asrul banyak diserang
oleh orang-orang kiri. Tahun 1968 seniman Jakarta diundang oleh Gubernur Ali
Sadikin untuk membuat wadah kegiatan kesenian, Asrul terpilih sebagai seorang
formatur dan duduk sebagai Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pertama (1968-1970)
sekaligus menjadi aggota Akademi Jakarta
(AJ), dan menggantikan Umar Kayam dalam mempimpin IKJ (Institut Kesenian
Jakarta) dan pembentukan TIM (Taman Ismalil Marzuki). Di masa inilah Asrul
banyak menerjemahkan sastra atau lakon drama dunia untuk kepentingan berbagai
macam program.
SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG DAN AWAL PENCARIAN TEATER ASRUL
Seperti
yang telah disebutkan di bagian pendahuluan, di dalam ranah pergaulan teater (yang saya alami) jarang
sekali nama Asrul Sani mencuat ke permukaan wacana dan menjadi pembacaan
penting bagi gerak sejarah teater
Indonesia, selain itu literatur-literatur yang sempat menjadikannya
penting hanya menjadi semacam koleksi yang berdebu di perputakaan pribadi atau
lembaga pendidikan seni. Misalnya, salah satu buku yang menurut saya penting untuk membuka wacana “mencari teater
Asrul” adalah buku - lebih tepatnya adalah sekumpulan catatan yang terdiri dari
makalah-makalah, pembicaraan lisan, dan artikel yang dihasilkan dari pertemuan
Forum Teater Naskah Jerman - yang diterbitkan Goethe-Institut Jakarta
tahun 1989 dengan judul Beberapa
Pemikiran Tentang Pementasan Naskah Barat Oleh Teater Indonesia.
Juga
seperti penempatan di dalam buku ini, saya menganggap tulisan awal dari Jakob
Sumarjo dapat menjadi titik awal pencarian teater Asrul, khususnya latar
belakang pemikiran yang menjadikannya banyak menerjemahkan sastra drama dunia
(Eropa). Jakob Sumarjdo dalam tulisannya – karena forum ini membicarakan
pementasan naskah Barat oleh Teater Indonesia – menguraikan bagaimana
perkembangan terjemahan sastra drama asing dan teater Barat di Indonesia tidak terlepas dari kehadiran Belanda, di
mulai dari tahun 1619 (menguasai Jayakarta sampai 1970/1980’an (pasca revolusi).[iii]
Ketika dalam masa perkembangan itu terjadi titik persinggungan antara kalangan
siswa-siswa dokter sekolah dokter Jawa yang bersekolah di sekolah menak dan
sekolah calon pegawai pemerintah kolonial (Koemedi Stemboel), bangsawan (Opera
Derma), kaum terpelajar Cina yang mengkritik kemunduran teater Indonesia sejak
Koemedi Stamboel dengan banyak menerjemahkan sastra drama yang beredar di
lingkungan teater Belanda juga kaum terpelajar yang ada dilingkungan penulis
Boemiputra, dan teater profesional (Miss Roboet’s Orion dan Dardanella) yang
konsisten memakai naskah asli karena mempunyai penulis tetap dalam
pementasannya serta didukung oleh penonton yang berasal dari golongan menengah
bawah. Konsistensi ini berlangsung sampai permulaai tahun 1950’an hingga kemudian berubah,
setelah pemulihan kedaulatan, hilangnya rombongan teater professional akibat
proses sensor keras semasa pemerintah pendudukan Jepang dan bergesernya orientasi
bintang panggung ke bidang perfilman dan makin besarnya minat kaum terpelajar
terhadap kegiatan teater.
Dengan
semakin lenyapnya teater profesional dan merebaknya teater amatir yang berasal
dari kaum terpelajar, juga semakin bergesernya fungsi naskah (sastra drama)
dalam pementasan teater. Bila rombongan profesional yang lebih banyak
mengandalkan kepada spontanitas dan improvisasi seni bermain pada aktornya,
sehingga kedudukan sastra drama tidak begitu pokok, teater amatir mutlak
berpegangan pada naskah drama untuk main (1989: 13). Hingga munculah dua
lembaga pendidikan teater: 1948 di Yogya didirikan Cine Drama Institut
(kemudian menjadi ASDRAFI). Dan di Jakarta, pada tahun 1955 didirikan Akademi
Teater Nasinal Indonesia (ATNI) dengan salah satu sang pendirinya, Asrul Sani.
Jakob Sumardjo menyebutnya sebagai titik awal “zaman emas” pementasan
naskah-naskah asing dan yang menjadi gerbang besarnya adalah kredo
“humanisme-universal”. Yakni sebuah kepercayaan bahwa persoalan kemanusian
terjadi di kebudayaan belahan bumi manapun lalu menjadikan “yang universal”
tersebut sebagai warisan dan mereka (Asrul dan Angkatan’45) menyatakan diri dengan sebuah surat: Surat Kepercayaan Gelanggang[iv], untuk
menjadikan mereka sebagai ahli waris yang sah. Di bawah ini saya akan kutip
seluruhnya daru surat itu dengan harapan bisa menemukan celah baru bagi saya
dalam mencari teater versi Asrul:
SURAT
KEPERCAYAAN GELANGGANG
Kami adalah ahli waris yang
sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami
sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami
adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan kami tidak
semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau
tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang
diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberi
kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil
kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan
suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan
oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang
dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala
usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran
nilai.
Revolusi bagi kami ialah
penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan.
Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum
selesai.
Dalam penemuan kami, kami
mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami
mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap
keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui
adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Jakarta, 18 Februari 1950
[i]Untuk pembahasan
lebih lanjut mengenai kondisi teater modern Indonesia yang membentuk sebuah
generasi “teater sutradara”, lihat esai Benny Yohanes, Menyudahi Indonesia: Mencari Teater Dari Bunuh Diri Ideologis, dalam
buku Ideologi Teater Modern Kita. Pustaka
Gondo Suli, Yogyakatra, tahun 2000. Hal: 12-18.
[ii] Uraian biografi
singkat ini disarikan dari tulisan Ajip Rosidi dalam buku Asrul Sani 70 Tahun, yang diterbitkan Pustaka Jaya. Hal xi-xxi.
[iii] Dalam tulisan ini
saya tidak akan membahas dan menceritakan lagi apa yang telah dituliskan Jakob
mengenai peristiwa-peristiwa penting dalam masa perkembangan tersebut. Saya
akan lebih mencoba untuk langsung menohok pada bagian perkembangan sastra
terjemahan tahun 1950’an di mana Asrul dan Angkatan’45-nya mempunyai andil
besar dalam meyokong untuk kelanjutan pementasan naskah barat oleh Indonesia.
Misalnya dalam praktik dari sikap pandangan teater Asrul dan semasa proyek
penerjemahan naskah oleh DKJ pada tahun 1970’an, tercarat dalam buku Asrul Sani 70 Tahun, Asrul telah
menerjemahkan 100 judul naskah drama Asing (meskipun tidak semua pernah
dipentaskan).
[iv] Asrul, Jakarta, 18
Februari 1950, dalam buku Surat-Surat
Kepercayaan, Pustaka Jaya, 1997. Hal 3-4 (untuk selanjutnya buku Surat-Surat Kepercayaan ini disingkat
menjadi: SKK)
Komentar
Posting Komentar