Oleh:
Taufik Darwis
Bila pada mekanisme kurasi Festival
Teater Jakarta (FTJ) ke-40 ini ditetapkan tema “Membaca Tradisi” oleh DKJ yang
dirumuskan oleh Afrizal Malna
sebagai pusat eksplorasi
pembacaan bagaimana teater membaca mata-rantai pertemuan sub-kultur di sebuah kota, maka dua malam (1-2/12/2012)
di Teater Kecil TIM (Taman Ismail Marzuki) “Rumah Bengkok” Pandu Teater dan
“Parlemen WC” Kantong Teater mencoba meresepsi
tema tersebut kedalam konteks ‘kekuasan’
yang mungkin dianggap penting dalam proses pembacaan mereka. Setidaknya, mereka
menganggap kekuasaan telah menerjemahkan dirinya di dalam struktur-struktur
kecil namun lebih kompleks melalui
distribusi kepentingan di antara mobilisasi
identitas di sebuah kota.
Tradisi kekuasaan yang lahir dan menggantikan tradisi kekuasaan moniltik di orde baru yang telah
runtuh setelah dipercayainya demokrasi
sebagai solusi dalam kehidupan bernegara, ke dalam dan ke luar. Meskipun sampai saat ini apa yang
dihasilkan hanya memperkokoh keluarga-keluarga
kolomerat yang semakin menguasai di setiap lini praktik budaya, media
maupun politik. Imbasnya adalah dominasi menjadi hegemoni, praktik kekuasaan
juga menyusup ke sendi-sendi wong cilik,
gender, dll, bergerak lebih dari sekedar proses bagaimana
kekuasaan Belanda dulu diambil alih oleh elit-elit semacam priyayi dan birokrat
modern.
Teater yang
kesulitan membaca “rumahnya”
Menonton pertunjukan teater, seharusnya
bisa membaca lebih banyak hal dari sekedar menonton tv. Dengan menonton teater
kita bisa membaca ada peristiwa yang saling menembus secara serentak, apa yang
sedang bergerak dan berbicara melalui pertunjukan dan juga apa yang sedang bergerak dan berbicara di luar
pertunjukan, yang sebagian orang menggangap peristiwa itu harus disembunyikan
dalam-dalam di tubuh pertunjukan bila ingin berhasil mementaskan sebuah
pertunjukan yang memiliki identitas yang
jelas dari sebuah upaya representasi sebuah kondisi, meskipun apa yang
direpresentasikannya sudah bergerak melampaui tiruannya. Dan hasilnya adalah
sebuah pertunjukan dengan pembacaan yang ingin terlalu cepat selesai dan jelas,
meskipun apa yang dibaca dan ingin
dibicarakannya begitu beragam, misterius, sadis, berhasrat dan bengkok.
Apakah mungkin tokoh-tokoh seperti
Putra-Putri, Samawa, Istri menggunakan bahasa yang sama dalam menyatakan siapa
dirinya dirinya? Kalau mungkin, apakah
mereka setiap hari berhadapan dengan realitas yang sama? Jadi apa yang
menyebabkan digunakannya bahasa sebaku itu? Apa disebabkan berita tv yang
diproyeksikan infokus? Atau, apakah
kota masih membutuhkan identitas kebangsaan dari sebuah bahasa? Apakah catur
dapat menjadi personifikasi dari sebuah tindak mutilasi? Apakah mutilasi
memerlukan strategi? Apakah semua kasus mutilasi di negeri ini (2008-2009)
berakhir dengan tragis atau berawal dari perebutan kekuasaan dan keserakahan? Lalu,
apakah yang direbutkan sampai akhirnya terjadi kematian di “Rumah Bengkok” ini
berkali-kali? Apakah meja makan yang selalu kosong yang ditemani kursi kantoran
dan meja -kursi berbentuk kubus di mana papan catur menjadi bahasa lain dari
tindak strategi Putra dan Putri dalam merebut kekuasaan sang ayah dan di antara
mereka sendiri? apakah karena harta dan kuasa juga di keluarga ini terjadi
hubungan seksual antar mereka sendiri? jadi, sebenarnya siapakah mereka yang berdada
di panggung itu?
Inikah wajah yang
sebenarnya dari teater kota, teater yang belum tuntas dan kesulitan dalam
“membaca aku, membaca laku, membaca tradisi” kekuasaan yang terdistribusi dan
bergerak di dalam “rumahnya” (kotanya) sendiri? atau malah kemembeluman inilah
yang dicari?
Mari
mengembalikan wajah kampung ke kampung
“Kantong
Teater” menjadikan WC sebagai pusat pengetahuan
pertunjukan sekaligus menjadi personifikasi ruang publik dan ruang privat yang sudah
tidak dipisahkan lagi secara tegas, dan memang disitulah interaksi antar tokoh dan
konflik di dalam pertunjukan terjadi dan bergulir. WC diletakan di tengah
panggung yang berusaha memindahkan pinggir kali dan segalam macam latar
belakang konflik hak atas tanah yang membuat kesan memisahkan antara apa yang
terjadi di kampung dan apa yang terjadi diluar kampung itu. Dengan meletakan WC
sebagai pusat pengetahuan pertunjukan, Kantong Teater menjadikan pinggir kali
tidak hanya sebagai jalur sirkulasi, tapi lebih sebagai arena adu niat, adu
modal, dan adu gagasan juga. Dalam konteks pertunjukan “Parlemen WC” ini adalah
adu untuk menjadi Ketua RT, di titik itulah pertunjukan ini juga bergerak
menciptakan bahasa dari seng berkarat, lem aibon, ember bekas cat, air, lumpur,
drum, gerobak, bendera warna-warni dan bendera Indonesia. Bahasa di luar
dramanya terlalu berisik untuk gedung proscenium Teater Kecil, karena terlalu banyak memindahkan
bunyi-bunyi yang memang lahir dari ruang sosial di mana teater ini lahir.
Bukan untuk menembus
batas, tapi malah menjadikan dirinya terbatas, ini adalah konsenkwensi logis
ketika kelompok teater sendiri tidak membaca mekanisme dari FTJ sendiri. Karena
bukankah kampung mereka yang berada di kota Jakarta tersebut juga terus bernegosiasi
dalam melumernya desentralisasi. Bukankah ruang sosial ‘asal’ mereka lebih
membutuhkan wajah dirinya sendiri, begitupun sebaliknya? Apakah menjadi publik
teater lebih penting untuk menjadi publik bagi dirinya sendiri? bukankah si Parmin, pemuda-pemuda apatis,
Karjo, Ijah, Gimin, Surip, Aceng di luar kompleks TIM sana juga sedang mencari
wajah mereka sendiri? dan dengan dua
malam membaca kekuasaan ini, teater ternyata masih begitu merasa penting untuk
ikut berbicara mengenai banyak hal tentang tradisi kekuasaan hari ini, seperti
yang juga sudah disinggung diawal tulisan bahwa kekuasaan adalah bayang-bayang
kita. Maka sebab itu dia juga berada di dalam rumah kita, apalagi di pinggir
kali kita, di jamban umum kumuh kita, di hajat kita, di peristiwa kesenian
kita. Kita sama-sama belum tuntas membaca.***
,
Komentar
Posting Komentar