Langsung ke konten utama

MENGAPA SENIMAN MISKIN? (1)


disarikan dari Why are Artists Poor: The Exceptional Economy of the Arts.
Amsterdam University Press, Amsterdam, 2002. karya Hans Abbing.  
oleh Taufik Darwis    




        
Pada bagian pengantarnya, Abbing langsung mengemukaan pelbagai pertanyaan mendasar “Mengapa pendapatan rata-rata seniman rendah? Mengapa begitu banyak orang masih menjadi seniman meskipun prospek pendapatannya rendah? Dan mengapa seni sepertinya sangat bergantung pada hibah seperti subsidi dan donasi? Apakah tiga fenomena ini punya kaitan? [...] Apakah seniman yang memperoleh pendapatan rendah mengorbankan diri mereka untuk seni, atau mereka sedang dikorbankan oleh sistem yang berpura-pura mendukung mereka?” Pertanyaan tersebut ditujukannya kepada pemahaman umum bahwa pendapatan rendah dan atau pun tinggi seniman tidak tergantung pada kepedulian publik terhadap seni, sehingga seniman mau tidak mau melibatkan lembaga donor untuk membiayai karya seninya. 

Penelitiannya menarik perhatian saya karena Abbing melakukan penelitian terhadap teman-teman yang juga berprofesi sebagai seniman. Penelitiannya bisa menyentuh hal-hal yang sepertinya berlaku secara universal, meskipun berasal dari hal-hal yang dekat dan terus dia pertanyakan. Lewat penelitian psikologi dan sosiologi, serta latar belakangnya sebagai ekonom, Abbing mencoba mencari jawaban terhadap pertanyaannya sendiri ketika disekitarnya membingungkan. Ada seniman yang bisa menghasilkan banyak uang karena berhasil menjual karya (rupa)nya secara tertarur, menerima hibah dan subsidi, dan memiliki pekerjaan lain. Tapi di sisi lain, sebagian besar rekan-rekannya, bagaimanapun, miskin. Tidak ada penjualan karya, memiliki pekerjaan lain yang buruk, namun tetap saja rekan-rekannya melanjutkan mencipta karya. Abbing menganggap ada sejenis ‘anomali’ yang berlaku di dalam ‘hukum’ ekonomi seni. Maka dari itu, Abbing menegaskan bahwa hal itu disebabkan karena pendefinisian seni itu sendiri yang dikonstruksi secara sosial:
 

"Bagaimana orang mendefinisikan seni? Apakah beberapa orang memiliki suara yang lebih besar dalam mendefinisikan seni daripada yang lain? Dan bagaimana perbedaan-perbedaan ini menerjemahkan ke ekonomi seni?"



  Seniman itu sendiri satu-satunya orang yang dapat memberikan bukti verifikasi keunikan mereka, keaslian mereka. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari, kaum borjuis mungkin telah menunjukkan penghinaannya kepada seniman bohemian, mereka juga mengembangkan perasaan cemburu bagi para seniman lain yang sukses. Seniman sukses dipandang sebagai satu-satunya produsen keaslian. Seniman itu sejati dan jenius. Ini adalah salah satu perjalanan seni yang telah menjadi sangat penting pada abad kedua puluh. 



Selain membahas bagaimana pendefinisian terhadap seni dibentuk secara sosial sebagai ‘yang suci’ sejak awalnya, Abbing juga membahas bagaimana dengan pendefinisian itu pula, seni akhirnya sering bertolak belakang dengan kalkulasi dan pertukaran uang. Meskipun seni mendapatkan sebagian besar pendapatan mereka di pasar, seni tetap mempertahankan status sucinya ketika orang mengasosiasikan seni dengan nilai-nilai efek yang jauh lebih besar seperti status kehormatan daripada lingkup pasar. Status ini memerlukan penolakan ekonomi.  Penolakan ini akan terus mempengaruhi perekonomian seni untuk waktu yang lama di masa depan.

Sesuai dengan penolakan ekonomi tersebut, beberapa orang mengklaim bahwa tidak ada hubungan antara kualitas dan harga. Dengan kata lain, tidak ada hubungan antara nilai estetika dan nilai pasar. Lain lebih jauh lagi, ada yang mengklaim bahwa ada hubungan negatif antara kualitas dan harga. Sebuah harga pasar yang tinggi terhadap orang-orang tertentu, tentu juga berarti kualitas rendah bagi orang lain. Abbing melihat ada kecenderungan disektitaran teman-temannya sesama seniman yang kerap mengeluh tentang kurangnya kesusesan finansial, dan cenderung menyalahkan orang lain ketika membuat seni yang jelek dan tidak menjual karena harus menjadi sukses. Tetapi jika salah satu dari temannya mau mulai menjual beberapa lukisan, beberapa orang bersikeras bahwa karya tersebut harus ditingkatkan. Abbing juga melihat ada kecenderungan para ahli, kritikus, juga menentukan nilai estetika, yang  akhirnya menjadi nilai sosial. 'Kekuatan kata-kata' mereka sebanding dengan 'kekuatan uang'  konsumen. Dan akhirnya menentukan nilai pasar. Kedua kekuatan tidak selalu sesuai. Karena berbagai asal-usul mereka, penyimpangan sistematis antara pasar dan nilai estetika bisa sangat sekali muncul. Ketika ada konflik antara estetika dan nilai pasar, pemerintah sering berpihak kepada para ahli. Misalnya, dengan membeli dan men subsidi  seni rupa avant-garde yang belum diminati, mereka meningkatkan nilai pasar dari jenis seni ini dan dengan demikian menarik dua nilai lebih dekat bersama-sama. Namun, dengan demikian, mereka juga mendistorsi persaingan dan mungkin menghambat inovasi. 

...........


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka