Laporan Taufik Darwis dari obrolan
dengan Diding Boneng dan Afrizal Malna di sela-sela penyelenggaraan 40 tahun
FTJ
Diding
Boneng, aktivis teater Jakarta yang masih aktif sejak tahun 70-an (Teater Rama) sampai sekarang (di Teater
Popcorn) mengatakan bahwa Festival Teater Jakarta dibuat untuk menyeleksi
pertunjukan teater yang layak disubsidi oleh Taman Ismail Marzuki (TIM) agar
yang pentas di TIM tidak sembarang kelompok. Maka dari konsep itu lahirlah
istilah ‘’kelompok senior’’ sebagai pemenang dari festival tersebut. Boneng
juga mengatakan bahwa sebelum terjadi perombakan tata ruang TIM, FTJ
menyediakan Gedung dengan format arena karena memang tersedia. 80% pertunjukannya
dipentaskan di gedung arena, karena menurutnya itulah panggung kita sebaga orang Timur yang dekat
dengan penontonnya.
Maka ketika TIM menghilangkan
gedung arena di dalam kompleknya sebenarnya disitulah letak pemiskinan, bahkan
pembodohan. Apalagi setelah perombakan itu
FTJ menjadikan Teater Kecil sebagai tempat tetap penyelenggaraan. Dengan tiket
(dalam periode tertetu) masuk 50 ribu- 1 juta,
publik teater tidak bisa
mengapresiasi kelompok-kelompok teater yang akan pentas di TIM. Itulah yang terjadi apabila yang mengurus
kesenian tidak paham kesenian, alias birokrat.Kebijakan itu juga berlaku di
pengelolaan FTJ, meskipun tiketnya relatif lebih murah, sebesar 30 ribu rupiah
setiap satu pertunjukan. Tapi untuk BONENG
dan publik teater yang lahir dan sering nongkrong di TIM merasa kebijakan itu
terlalu memberatkan, karena kelompok teater tidak bisa saling menonton dan
saling membaca padahal tujuan FTJ dibentuk adalah sebagai media untuk saling
belajar. Boneng menyatakan bahwa TIM seperti etalase bagi publik seninya
sendiri.
Uraian di atas adalah salah satu versi pembacaan dari saksi hidup dan
sekaligus bagian sejarah FTJ bahkan TIM sendiri. Melalui obrolan dengan Boneng, saya kemudian
mendapatkan latar belakang untuk membaca pemeran 40 tahun FTJ yang di tempatkan
di Lobi Teater Kecil yang dikuratori Afrizal Malna. Pameran tersebut adalah pameran dari berbagai
bentuk dokumentasi 40 tahun FTJ dalam format instalasi yang dibuat seperti
layaknya lorong waktu, dengan dinding putih karya Wahono Sapto Adi Saputro
serta tulisan Afrizal sebagai pintu masuk dan desain besarnya. Di dinding
itulah saya mendapatkan pengetahuan penting lainya, atau lebih tepatnya, alasan
penting kenapa FTJ tetap hadir selama 40 tahun, meskipun secara tematik tulisan
Afrizal menyatakan dirinya sebagai catatan kuratorial bagi tema FTJ kali ini juga. Dalam tulisan itu Afrzal
menegaskan bahwa teater sesunggunya
lahir di kota dan dengan sangat tegas pula membedakan kota dan desa. Asumsi
Afzrial itu mengantarkan ingatan saya pada tulisan Umar Kayam dengan judul:
“Nilai-Nilai Tradisi, dan Teater Kontemporer Kita” di buku “Teater Indonesia:
Konsep, Sejarah dan Problema” yang diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta pada
tahun 1999.
Pertemuan antara asumsi Afrizal dengan ingatan esai Umar Kayam itu membuat saya merasa perlu
untuk mengadakan percakapan dengannya.
Saya pun dapat menemuinya sebelum pementasan “Parlemen WC” Kantong Teater ,
Sabtu (1/12/12) malam. Judul tulisan di atas adalah salah satu hasil asumsi
Afrizal dan hipotesa dari percakapan kami. Berikut ini dituliskan alur dari percakapan
kami untuk mengantarkan pembaca pada lahirnya kesimpulan tersebut:
TD: aku membaca tulisan abang di instalasi
Wahono sebagai desain besar dari tema FTJ kali ini, betul nggak Bang?
AM: ya, bisa
begitu.
TD: aku pernah baca esai Umar Kayam di buku yang
diterbitkan DKJ juga, judulnya “Nilai-Nilai Tradisi, dan Teater Kontemporer
Kita”. Dalam esainya Umar Kayam mengatakan bahwa di atas kota dan desa ada
masyarakat urban, masyarakat yang cair dan tidak tegar lagi meletakan garis
pemisah antara kota dan desa. Nah, kalau
di dalam Jakarta ada masyarakat urban di
mana ada juga banyak peralihan dari mobilitas vertikal dari desa ke kota, atau
bahkan hilir mudik, bagaimana abang bisa sebegitu tegas membedakan kota dan
desa dalam konteks Jakarta saat ini?
AM: urban itu
suatu wilayah budaya, yang basis reproduksinya kota. pertemuan dari berbagian
unsur orang-orang baru yang datang dari berbagai subkultur, lapisan, budaya
bertemu di kota. Oleh krena itu kota kumpulan dari perbedaan-perbedaan. Aku
pahami adalah kota sebagai wilayah
teroteri yang baru. Aku mengandaikan kota itu terbentuk karena munculnya satu
pemukiman baru. Pemukiman baru iu selalu melahirkan fakta baru, pembagian kerja
baru. Itu yang membuat kota dan desa
berbeda. Kalau urban itu dipahami sebagai wilayah budaya, urban dan desa nggak
ada batasnya, karena desa juga mereproduksi budaya urban. Tapi kan perbedannya adalah,
desa dibentuk oleh ikatan primordial, komunal. Sementara kota tercipta dari
berbagai unsur yang berbeda-beda. Karena itu kota dan desa sangat tegas
berbeda, walaupun budaya urban merembes ke desa, tapikan desa nggak punya basis
reproduksi seperti kota. Kota malah cenderung menghisap desa dalam hal ini,
kota hidup dari desa. Misalnya kita membandingkan harga satu liter beras dengan
satu liter aqua, nggak mungkinkan kota mereproduksi beras? Tapikan bagaimana
cara industry menghargai air, udara,
lewat hp jadi sangat mahal dan berbeda sekali dengan desa yang serba gratis.
Mereka dibatasi betul oleh Negara dengan kenaikan beras, atau kenaikan
kebutuhan pokok: gula beras, garem.
Itukan terkontrol betul. Mungkin itu yang membuat cara melihatku berbeda
dengan Umar Kayam. Maka itu menurutku teater lahir dari kota, bukan dari desa.
Walaupun di desa ada teater, itu lebih imbasan budaya urban yang ada di desa.
Ya tentu dalam hal ini, teater dalam pengertian modern, bukan dalam pengertian
teater tradisi.
TD: berarti ini mengenai sejarah, ada atau tidak
adanya sejarah?
AM: ya kalau
dari sejarah, ya di desa juga ada teater.
TD: kalau mengatakan teater lahir di kota, aku
teringat diskusi kemarin setelah pementasan Pandu Teater. Aku melihat
teman-teman sebagai teater yang ada di kota kehilangan cara mengidentifikasi kotanya
sendiri atau dirinya sendiri. Seperti ketika aku bertanya, siapa sebenarnya
mereka yang ada di atas pangggung itu. apakah seperti itu teater yang lahir di
kota?
AM: teater di
jakara itu menjadi seperti terbelakang dibandingkan dengan teater-teater di
luar Jakarta, di bandingkan Bandung dan
Jogja misalnya dan ini menurutku kenyataan. Mengapa menjadi begitu? karena Teater di Jakarta mempunyai dua rumah.
Rumah pertama adalah masa lalu mereka yang dibentuk generasi 70an. Generasi yang seakan-akan hidup sebagai warga
teater, yang membuat pertunjukan sebagai warga teater. Dalam arti tradisi
teater 70an, sebelum reformasi. Rumah kedua adalah munculnya budaya urban yang
sangat kuat. Sub-kultur urban kan bersaing secara maksimal dalam fashion,
arsitektur, tattoo. Nah, kalau teater Jakarta punya kemampuan mengadopsi itu
semua mereka bisa bertarung dengan berbagai sub-kultur urban itu. Tapi
persoalannya mereka tidak punya daya saing itu, jadi yang merka bisa berikan
adalah teater member ruang sub-kultur urban untuk ikut pentas di pertunjukan
teater. Tapi gak terjadi itu adopsi. Adopsi nggak terjadi karena mereka
dibingungkan dengan munculnya istilah teater realis. Seakan-akan teater realis
seperti jadi standar baru untuk menguji kemampuan mereka berteater. “Lu baru
bisa berteater, kalau sudah bisa bikin teater realis”. Dulu nggak ada tekanan seperti itu, sehingga
teater bebas dan punya kecerdasan yang tak terduga untuk mengadopsi perubahan.
Nah, sekarang mereka seperti gagap dalam mengadopsi perubahan, pertama karena
mereka tidak punya akses kedalam
perubahan itu. akses itukan seperti bahasa inggis, peralatan seperti computer,
multimedia, pergaulan (café), karena kan itu membutuhkan biaya tinggi. Itu yang
membuat mereka seperti gak punya kemampuan beradaptasi disamping ada persoalan
infrastruktur. Kalau kawan-kawan tahu 70-80an itu masih punya tempat latihan,
seperti gelanggang. Sekarang gelanggang itu dipenuhi oleh orang-orang yang
latihan olah raga dan tari-tari sanggar dan itu nyewa. Teman-teman teater nggak
punya uang untuk nyewa. Terus, untuk pentas juga harus nyewa, mahal-mahal. Dan
mereka nggak punya uang untuk itu. Jadi mereka ada hambatan supra-struktur dan
infrastruktur.
TD: kalau bisa aku simpulkan bahwa solusi dari
ketertinggalan ini adalah perlu adanya akses baik di ranah infrasuktur dan
suprastruktur, nah bang, apakah solusi ini memang sesungguhnya solusi? Dan
kalau memang solusi, efek apa saja yang dihasilkannya?
AM: iya dong,
karena kalau akses itu dimiliki sejak dulu harusnya teater di Jakarta itu kaya.
Karena mereka mempunyai perbandingan yang jauh lebih kuat dari kota-kota lain.
Mereka bisa lihat perkembangan film, arsitektur, fashion, dan hampir semuanya
ada di Jakarta. Tapi justru sebaliknya, mereka dikalahkan oleh perkembagan
tadi. Itu yang membuat teater di Jakarta menjadi terbelakang.
AM: bukan tidak
komunikasi, tapi tidak ada mekanisme. Satu-satunya mekanisme yang ada adalah
FTJ. Tapikan FTJ gak diakses oleh lembaga-lembaga lain di luar DKJ. Kalau bisa
diakses, seharus ada satu festival lagi setelah FTJ. Kalau FTJ kan dari
komunitas menjadi teater, teater bersaing di tingkat wilayah. Kalau dalam
bayanganku, seharusnya di tingkat wilayah adalah persaingan kualitas. Nah kalau
tingkat dibabak final persaingan bukan lagi dimaslah kualitas tapi ide. Tapi pada kenyataannya di tingkat
babak final seperti sekarang ini masalah kualitas masih pertanyaan besar,
apalagi ide. Seharusnya ada satu festival lagi di Jakarta, yang lebih intens mencari capaian-capaian ide, estetika
dan di sini antara teater di luar Jakarta atau teater yang
dianggap senior tadi dengan teater pemenang FTJ harus bertemu. Jadi, nggak bisa
misalnya Teater Koma diangap teater besar dan besar terus, seolah-olah nggak
bisa disadingkan dengan teater yang baru muncul
dalam satu festival. Tapi kalau mereka disadingkan itu akan kelihatan
bagaimana sejarah itu bergerak, sejarah ini kan sudah berkali-kali putus. Kamu
bayangin awal tahun 70’an teater-teater penting kaya Bengkel Teater Rendra,
Teater Koma, Teater Ketjil, Teater Mandiri berjalan terus sampai mereka
berhenti dan mati. Sedangkan generasi yang muncul setelah mereka itu, usianya
pendek-pendek. Putus dan orang gak peduli kenapa mereka putus dan berhenti. Dan
lembaga FTJ juga nggak punya urusan kenapa mereka putus. Sementara yang
generasi awal yang tua-tua ini tetap berjalan sampai sekarang, seakan-akan gak
pernah ada kelompok baru yang dilahirkan dari FTJ. Itu putus
berkali-kali, dari generasi sebelum Teater SAE, terus Teater SAE, dan setelah
Teater SAE. Dan kita seperi nggak punya pertayaan serius, ada apa. Apakah
kegagalan melakukan regenerasi? Siapa yang bertanggung jawab?
TD: ini petanyaan terakhir meskipun masih
mungkin ada pertanyaan lain, dengan mendengar penjelasan abang yang seperinya
tau banget, pameran di dalam dan ditunjuknya
abang sebagai kurator, saya melihat abang mempunyai hubungan lebih dari sekedar
pengamat dengan yang diamati. Pertanyaannya, kok bisa? Hahaha
AM: FTJ inikan
mulai tahun 73. tahun 75 aku kelas 2 SMA.
Tahun 76 ketika aku kelas 3 SMA, grup teater SMA ku ikut FTJ, Teater
Semalima. Jadi sejak SMA aku ikut. Aku menghadapi orang-orang teater waktu itu
serem-serem. Jadi aku cenderung takut melihat mereka, sekarang mereka sudah
tua-tua. Bisa dikatakan, aku menulis teater, kritik teater, belajar banyak
hal tentang teater dari FTJ. Jadi aku
secara emosional cukup terlibat dengan FTJ. Ketika FTJ menjadi seperti sekarang
ini, aku merasa ini ya..kenapa bisa begitu..seharusnya nggak begitu…
TD: memang yang seharusnya itu gimana bang?
AM: kita lihat
saja ini TIM. TIM adalah pusat untuk wacana-wacana kesenian atau ekperimentasi
kesenian. Wilayah yang paling dekat dari TIM kan Timur dan Pusat, harusnya
grup-grup di wilayah itukan lebih siap menghadapi perubahan-perubahan. Tapi
dalam kenyataannya mereka sulit. Apalagi mereka dengan “Membaca Tradisi” ini,
yang mereka lihat adalah “tradisi”nya bukan “membacanya”. “Tradisi apa yang lu
baca? Gimana lu bacanya tradisi itu?”…jadi mereka wah..dengan membaca tradisi berarti
harus ada tradisi, tradisi paling deket adalah Betawi. Dan Betawi yang mereka
tampilkan tidak Betawi hasil pembacaan tapi hasil stereotip..pengangguran,
miskin. Jadi pembacaanya dimana? Mereka sendiri jadi nggak kritis terhadap yang
stereotip itu.
TD: jadi
workshop tentang tema itu tidak banyak ditangkap dan berpengaruh?
AM: tidak semua
mereka bisa menerima tema ini, akhirnya tidak semua peserta ikut workshop.
Karena FTJ ini baru beberapa kali ini menyodorkan tema, supaya temen-temen di
teter bekerja berdasarkan tema. Aku tidak tahu kenapa DKJ mengajukan tema di
festival. Biasanyakan tema-tema ini lebih tema kurasi, tema kuratorial. Kalau
sifatnya tema ini adalah tema kuratorial, seharusnya ada pendampingan hingga
tema ini terbaca dengan cukup baik. Tapi kan tema ini ditempatkan di
tengah-tengah perlombaan, bukan festival dalam arti ada kurasi. Karena
grup-grup ini dipilih tidak lewat kurasi tetapi kompetisi. Kalau melalui sistem
kurasi, kurator akan memilih grup-grup yang dianggap mempunyai kemampuan untuk
mengangkat tema itu. Tapi kalau dari perlombaan, susah. Karena banyak juri khususnya
di tingkat wilayah yang nggak ngerti apa yang dimaksud dengan “Membaca Tradisi”.
Percakapan kami langsung terhenti ketika mendengar bunyi gong dari
lobi Teater Kecil. Tanda pertunjukan berikutnya akan segera dimulai.
Percakapan setengah jam kami,
pun akhirnya terhenti di sekitaran “tema”
yang juga menyimpan kompleksitas masalah dalam mekanisme FTJ. Tapi
melalui percakapan dengn Afrizal Malna menjelang pertunukan dan Diding Boneng
yang saya temui siang hari di warung
temporer FTJ menghasilkan semacam hipotesa kecil dalam membaca ranah dn praktik
teater di Jakarta dalam membangun tradisi teaternya. Tapi kemudian saya merasa percakapan di atas
belum cukup untuk membuat kesimpulan
bagaimana FTJ merepresentasikan Jakarta, pun sebaliknya. Ketika merasa
percakapan dengan dua orang saksi hidup FTJ di atas masih kurang, saya kemudian
merasa perlu untuk melakukan atau setidaknya membuka percakapan-percakapan lain,
seperti dengan kelompok-kelompok baru dan dengan para juri FTJ ini. Maka dari
itu, diskusi 40 tahun FTJ dan Evaluasi juri dan peserta tidak bisa tidak
dilewatkan. (taufikdarwis)
Komentar
Posting Komentar