foto-foto Taufik Darwis |
Oleh Taufik Darwis
Komunitas
Celah Celah Langit (CCL) melalui penyutradaraan Iman Soleh mementaskan “Tanah: Ode Kampung Kami”. Malam itu tanggal 28 Desember 2012 di markas CCL sendiri (Ledeng, Bandung). Sebelum pertunjukan, seperti yang sudah
menjadi kebiasaan penyelenggaraan pertunjukan di CCL, Iman Soleh sebagai
pemimpin komunitas sekaligus sutradara menyapa penonton yang sudah berkumpul di
panggung terbuka yang terletak di tengah-tengah bangunan kost-kostan yang cukup luas. Penonton di CCL adalah
penonton yang beragam, mulai dari masyarakat Ledeng (dari anak kecil sampai
orang tua), mahasiswa, sampai kalangan penjabatat dan seniman. Setelah menyapa
dangan hangat, Iman Soleh kemudian menceritakan tentang proses terciptanya pertunjukan,
dari mulai gagasan, observasi-riset, penulisan naskah sampai proses produksi transformasi
naskah ke bentuk pertunjukan. Gagasan tentang “Tanah” ini adalah gagasan tematik
yang hampir sama dengan pertunjukan CCL sebelumnya, “Air”, yang bisa dibilang
mempunyai kepentingan dalam merespon kondisi lingkungan yang dianggap sedang
krisis. Naskah “Tanah” sendiri menurut Iman Soleh, ditulis bersama oleh semua
yang terlibat di dalam pertunjukan khususnya aktor (26 orang) setelah melakukan
berbagai riset dibeberapa kasus tetang tanah, misalnya di Lembang (dataran
tinggi Bandung) di mana banyak terjadi pembangunan restoran, hotel atau villa.
\
Pertunjukan pun dimulai
setelah Iman Soleh mengucapkan kalimat, “Tanah adalah awalnya,
dalam tanah ada kita, kitalah tanah itu, menyakiti tanah menyakiti diri
sendiri, membahagiakan tanah membahagiakan diri sendiri, jangan jual tanahmu,
menjual tanah menjual diri sendiri, menjual tanah menjual ibumu”. Rangkaian kalimat ini adalah salah
satu pengetahuan atau kebijakan dari epistemologi lokal, tematik lokal, sebuah “ode kampung” yang ditemukan
komunitas CCL untuk dijadikan pandangan dunia sementara, setidaknya dipertunjukan ini. Yang kemudian dirasa sangat
penting untuk dikomunikasikan kepada penonton. Dengan cara apa? Ya melalui kesenian! Melalui teater!
Pertunjukan
dibuka dengan sangat cair
oleh para
pemusik yang ditempatkan di sisi panggung kiri di sebuah saung bertingkat dua. Alat musik yang banyak digunakan adalah alat musik
yang dipukul atau ditepuk dengan karakter timbre dengan suspensi yang pendek,
hingga kadang terdengar sangat ritmis dan riuh. Sangat bisa dibayangkan melalui alat musik ini
bagaimana suasana yang akan banyak terjadi di atas panggung. Tidak
ada ketegangan di awal pertunjukan. Beberapa aktor melintas, kebanyakan adalah aktor laki-laki, anak-anak hingga
dewasa, hanya ada dua aktor perempuan di dalam gerombolan laki-laki itu. Semua
berpakaian sama, menggunakan
pakaian hitam-hitam dan memakai ikat kepala. Juga bertingkah laku sama.
Mereka
membagi diri mereka kebeberapa titik panggung. Ada yang menunjuk-nunjuk penonton
sambil memperkenalkan
diri mereka (nama asli) dan menyebut nama-nama yang mungkin hadir atau tidak hadir dibarisan
penonton atau menunjuk-nunjuk
sesuatu yang jauh. Sebuah upaya mengenalkan dan menghadirkan Yang Lain di balik
dua unsur pelaku pertujukan dan penonton.
Hal itu menyebabkan
aktor di dalam pertunjukan “Tanah” ini tidak
mengalami keberperanan yang tegas seperti dalam pementasan drama-teater
yang menuntut kemenjadian aktor menjadi tokoh (manusia) yang diperankannya. Sebab
di dalam pertnjukan ini, aktor masih
menggunakan nama asli mereka di dalam narasi pertunjukan. Seperti proses
pembentukan atau pertukaran peran di dalam dunia anak-anak. Seperti Si Budi
yang sering dijumpai bermain di halaman rumah lalu berperan jadi dokter, tetap
saja dia dipanggil oleh temannya sebagai Budi, identitas dokter hanya
direpresentasikan oleh tubuh Budi tapi tetap Budi dan pemahaman bersama bahwa
Budi adalah dokter.
“Kelenang keleneng
samping koneng, keledat keledut samping butut...Tok
tok tok..saha
di luar? Nini lurah jeung anakna.
Menta naon? Menta sapi! Karek oge sirung hiji. Hoyah hoyah hoyah (sia jadi sapi
siah! Jadi-jadi” [kelenang keleneng samping
kuning, keledat keledut samping jelek, tok tok tok siapa di luar? Nenek lurah
dengan anaknya. Minta apa? Mita sapi! Baru juga sirung satu. Hoyah hoyah hoyah
(kamu jadi sapi siah! Jadi-jadi)] Aktor-aktor bernyanyi lagu foklor Sunda ini dengan
tubuh-tubuhnya yang saling melintas, berjingkrak-jingkrak, menghadirkan dunia
anak-anak. Dunia bermain. Mereka
tidak hanya menjadi sapi, juga menjadi gajah, monyet, padi, pohon, burung dan
celakanya, manusia. “…tokotok tok saha di
luar? Nini lurah jeung anakna. Menta naon? Menta jalma! Karek oge sirung hiji
(jadi jalma? Jalma! Jadi jadi jadi) cilaka..cilaka!”” [tok tok tok siapa di
luar? Nenek lurah dengan anaknya. Minta apa? Minta manusia! Baru juga sirung
satu. (jadi manusia? Manusia! Jadi jadi jadi) celaka! Celaka!)]. Semangat
bermain ini menjadi pintu ‘bubuka’ bagi narasi selanjutnya.
Seperti
dituliskan di buku acaranya,
pertunjukan terdiri dari beberapa adegan: Perkenalan, Bubuka Dunia Kita,
Indahnya Kampung Kami, Tanah Kami, Ladang Ibu, Rebutan, Mereka Datang, 100
Alasan, Perang Itu, Sawah di Kepala, Para Bintang dan ditututup lagi oleh
Kelenang Keleneng.
Adegan
demi adegan dibuat bergulir dengan mobilitas blocking yang cepat. Karena teater
ini ingin menyangsikan keutuhan, aktor diharuskan siap
merubah tubuh mereka. Menjadi
hewan. Menjadi batu. Menjadi manusia, jahat, baik, lembek, kuat, etc. Untuk
bisa seperti itu
mereka tetap terus menjaga vitalitas bermainnya. Tidak ada keberlarutan dalam
emosi. Sebab semuanya harus peka pada anonimitas tubuh dan benda, yakni semua materi yang bisa
berubah konsep
dan maknanya
di panggung sesuai dengan masalah tanah yang diungkapkan melalui adegan. Meskipun
dalam pemilihan bendanya tetap memakai benda yang memiliki hubungan konstitutif
dengan tanah, seperti bambu dan padi. Seperti bambu panjang yang berubah
kualitas fungsi/konsep
dan maknanya
dari bambu untuk menggotong ibu sebagai bambu gila, menjadi bambu sebagai
gedung pencakar langit. Benda-benda tersebut mengalami perubahan fungsi dan makna, tapi
semuanya sama ada di dalam upaya menjelaskan, sebab “tanah adalah awalnya”.
Semangat
bermain yang tetap dijaga ini adalah
sebuah model pencarian
dramaturgis ala CCL
yang dipakai
sebagai kemungkinan artikulasi artistik dan merogoh sublimasi
estetik di dalam
pertunjukan-pertunjukannya.
Idiom-idiom
bahasa dari kebudayaan Sunda, Betawi, Batak pun dipakai untuk menguatkan laku
tubuh yang ludik.
Tapi meskipun begitu, aktor-aktor
tersebut tetap menggunakan kalimat-kalimat puitik dan frasa kalimat berbahasa
Indonesia yang diucapkan sebagai dialog dan diungkapkan melalui motif
teaterikalisasi, untuk menghadirkan semangat menjelaskan, menggedor, menghebat,
dan menyerang sembari tetap memainkan impresi-impresi dari perubahan kualitas
makna tubuh dan benda.
Kebermainan telah menjadi “struktur” di dalam pertunjukan “Tanah” ini, dan
upaya-upaya seperti di atas adalah upaya pemintalnya.
Kebermainan itu bergerak
melalui tubuh yang tidak ingin utuh (sebagai manusia) dan bahasa dari dialog yang
keluar dan juga dibuat oleh aktor-aktor sendiri, dari yang sangat keseharian
(berbahasa Sunda, misalnya: “maneh mah Anjing! Kaditu! Eh tapi tingali aya monyet!”) sampai yang tidak sangat keseharian, seperti
puisi berbahasa Indonesia (atau memang puisi), misalnya: “inilah sajak sepanjang musim, selembar cuaca seindah gunung, jadi batu
jadi pohon, jadi alam..diam tapi bicara. Bisikan yang tak terlupakan, terkenang
sunyi. Musim berganti, suara telah berubah”). Bila membaca kebermainan ini
di dalam konteks pertunjukan teaer yang mementingkan pesan dan makna, seringkali kebermaian ini menyebabkan
adegan-adegan mengalami kedodoran dramatikal dan tubuh aktor sebagai narator
akan lebih banyak menjadi tubuh yang sangat keseharian, “sangat mereka”. Bisa
dibilang pertunjukan “Tanah” ini berlangsung di antara tema yang ingin
dibahasakan dan tubuh yang ingin mengalami kenikmatan. Kadang terjadi tarik
ulur yang ketat. Juga kadang terjadi kedodoran yang disebutkan tadi.
Apa karena kedodoran
dramatikal itu karena kebermainan tadi yang
menyebabkan aktor mengalami kenikmatan dan larut dalam tubuhnya? Atu disebabkan oleh “tanah” sendiri yang
memang dipercaya menjadi suatu tema yang penting untuk dijelaskan dan digali
masalahnya dengan penonton,
hingga menjadi sumber makna dan
cerita yang
juga
dimiliki oleh pemain, penonton dan semua orang ( memiliki-tidak memiliki) yang
berada di dalam peristiwa pertunjukan? atau tema besar
tentang “tanah” ini mencangkokan dirinya
karena sangat mempunyai motif
untuk membahasakan dan menjelaskan dirinya, meskipun itu ditempuh melalui
teater yang ludik, yang lebih mengutamakan kenikmatan dari pada
mengkomunikasikan? Bukankah akan lebih
gampang kalau Iman Soleh lebih banyak menggunakan bentuk material dari “tanah”
itu sendiri untuk mengkomunikasikan hasil dari riset-riset aktor-aktornya? Atau memakai narasi realistik dengan manusia-mansia yang atuh di mana
peristiwanya juga terkesan realistik. Tapi nyatanya, tidak
ada pemakaian material tanah yang dominan dan tidak ada yang manusia yang utuh dalam
pertunjukan ini. Material tanah hanya digunakan untuk perubahan
identitas aktor dalam salah satu adegan dengan latar persawahan dan itupun sangat fungsional,
material tanah hanya dipakai menjadi
tumpuan agar beberapa
helai daun padi bisa berdiri dan menghadirkan imaji persawahan.
Maka
tidak heran, sutradara
Iman Soleh menggunakan menggunakan plot
yang berhubungan secara kausal antara peristiwa satu dan peristiwa lainya,
meskipun disengaja untuk tidak tegas.
Sebab
yang mengalami kausalitas plot yang linear itu, hanya dialami satu tokoh sentral
yang menegaskan berubahnya peristiwa ke peristiwa lain agar tetap menjadi
kausal. Yakni tokoh Ibu. Yakni
awal yang melahirkan, tanah yang berarti Ibu, sebab “tanah adalah awalnya” dan
“menjual
tanah menjual ibumu”. Selebihnya dramaturgi pertunjukan ini dibangun oleh penyampaian para
aktor yang mengalami anonimitas tokoh dan gerak pengelompokan, sekaligus berkali-kali menjadi dan tidak menjadi
lagi, bernama dan tidak bernama lagi. Tapi mereka
tetap dijaga oleh Sang Ibu . Ibu adalah “pengasuh” dari tubuh-tubuh dan
benda-benda yang bernama tapi bisa jadi apa saja itu. Dari berbagai narasi
tentang masalah atas tanah dari setiap adegan ke adegan.
Karena
meskipun memang “tanah
pada awalnya”,
pertujukan ini tidak menampilkan kembali hanya sekedar kasus-kasus hak atas
tanah. Permasalahan tanah
adalah permasalahan yang terjadi di mana saja (yang dibaca dari pertunjukan)
juga adalah permasalahan yang banyak tidak tertangani di masyarakat, bahkan di
sebuah lingkungan domestik sebuah rumah.
Tapi kemudian memang tidak ada fokus masalah yang bisa diapresiasi
penonton kalau
permasalan atas “tanah” ini ingin dikomunikasikan. Karena penonton harus
banyak mengatur dan menyama-nyamakan
kembali memori tentang
tanah yang diketahuinya atau dialaminya dengan
permasalahan tanah yang ditampilkan oleh
mobilitas dan gerak para aktor anonim yang bergerak merepsentasikan
masalah-masalah yang terjadi yang lebih menjelaskan banyak hal daripada membawa
pertunjukan kesebuah fokus
kasus.
Memang, maka mungkin memang dirasa tepat, pertunjukan “Tanah” ini menjadi pertunjukan
teater untuk pemberdayaan, seperti kali pertama pementasan ini mendapat bantuan
dana dari program Teater Untuk Pemberdayaan di tahun lalu. Karena sambil berusaha menjelaskan ode
kampungnya, pertunjukan ini masih berharap dan berpesan kepada penonton untuk menandai tema-tema kecil di setiap adegan yang bergulir dan
menghadirkan beragam cerita tentang tanah lain yang mungkin berada di luar laku
pertunjukan untuk dapat memuliakan tanah sebagai tempat kelahiran manusia. Lalu
mencatat dan menjelaskannya kembali.
Jadi banyak terjadi
pengulangan pesan terhadap yang berusaha diberikan pesan, padahal si yang sudah
diberikan pesan pun sudah banyak tahu tentang pesan yang ingin “dituliskan” di
pertunjuka teater “Tanah” ini. Maka tak heran, di panggung banyak terjadi semacam
“pelepasan” atau “pemberontakan” dari tubuh aktor sendiri, meskipun pertunjukan
dibangun melalui kebermainan yang sudah menjadi bahasa tadi. Yang malah
mengalami kenikmatan ketika penonton sadar bahwa yang ditontonnya itu sedang
bermain-main di luar kebermainan yang telah menjadi struktur dramaturgi ala
CCL. Pelepasan itu adalah pelepasan dari diri mereka yang anonim ke dalam diri
yang sangat mereka. Titik menemukan dirinya kembali. Dirinya yang memang
bernama dirinya, tapi bukan nama dirinya yang dipakai di dalam proses penulisan
naskah yang mereka buat sendiri. dirinya yang sebelum menjadi gajah, monyet,
padi, pohon, burung dan celakanya, manusia! Dia berkali-kali menyakiti Ibunya.***
Komentar
Posting Komentar