Langsung ke konten utama

Coretan-Catatan Tentang Kota, Festival dan Ekonomi

23 Desember 2013 pukul 22:29


Creative people, creative cities adalah istilah yang dikenalkan oleh Richard Florida. Sebuah cara yang menarik untuk melihat perkembangan kota zaman sekarang atau secara pelan-pelan mengukur atau membuat identifikasi kota budaya itu ciri-cirinya apa, ukurannya apa. 

Festival dan citra kota sering dipakai di indonesia sebagai branding. Cara kita memperkenalkan kota dan negara sering memakai logika branding. Kegiatan macam begitu sudah dan sering dipakai dipakai oleh menteri pariwisata untuk menjual negara, menjual kota. Yang harus kita teleti dan telisik adalah masyarakatnya. Masyarakat  dan kehidupan sosial macam apa yang sedang di lahirkan lewat kota-kota budaya? Misalnya Bali, apakah kita perlu membentuk kota seperti Bali sebanyak-banyaknya di Indonesia? 

Kita harus memikirkan budaya-budaya yang ordirnary life, yang tidak seragam. Lalu apa itu creative people? Kreatifenya macam apa si? Kalau udah tau kan kita bisa cari alternatif lain. Karena kebudayaan zaman sekarang bukan soal kebudayaan yang diceritakan mewariskan ini itu, tapi berbatasan secara politis. Masalah lain adalah masih banyak tempat yang tidak menjadi imajinasi geografis kita. Kenapa jadi masalah? karena mengikuti kota kreatif yang sudah ada. Kreatifnya itu apa si? Karena kalau tidak membuat redefinisi 'apa itu kreatif' kita tidak bisa  kritis dengan semacam atau berbagai macam kebijakan.

Apa perbedaannya antara festival EO dan ... latah segmentatif...yang membaptis seluruh kota? Apa yang bisa membuat samasama seneng sebagai pengalamam bersama, pengalaman kultural bersama? KIta lihat aja kasus razia pengamen?  Masa angklung dirazia? memang kalau gak ada tempat lagi gimana? Bagaimana memberi tempat untuk orang ngamen tapi serius dan tidak mengkalaim atau memaksa seni tertentu Harusnyakan kita meningkatkan demand  dari-ke-atau pendidikan seni lewat partisipasi lokal dan regional yang akhirnya membuat formasi sosial! Pokonya kita harus samasama seneng kalau bikin festival! jangan wahnya dulu, yang penting syaratnya penyelenggara juga harus nikmatin. Dan jangan kreatif karena hanya ada anggaran, kalau kreatif karena hanya ada anggaran kita harus siap dengan KPK. Kita juga perlu membedakan macam-macam kota kreatif, kan ada kota yang mempunyai sejarah kota yang kuat, Lalu model kota keatif itu apa saja yang patut dicontoh? Kota Kebudayaan macam apa si? Jangan sampai karena atas nama 'kota kreatif' kita menyingkirkan hak-kesempatan banyak orang.'

Pasti berkali-kali kita dengar peran UNESCO/PBB yang biasanya membuat kebijakan-kebijakan dibidang kebudayaan bagi setiap negara, bahkan sampai pembagian bidangbidang ekonomi kreatif.  Hingga kerap banyak  egara yang buta pembidangannya sendiri. UNESCO biasanya membuat pembidangan itu secara global, tapi kita harus membuat pembidangan ekonomi kreatif sesuai kultur Asia Tenggara. Misalnya, bidang seni pertunjukan yang nomer satu di UNESCO itu adalah  ballet dan opera. Untung dan ruginya kita ketika UNESCO mendefinisikan dan membuat kategori culture heritage itu apa ya?. Jangan-jangan, semangat kita-kebanggan kita terhadap kebudaya kita  ditentukan oleh itu. Misalnya batik, masa kita bangga karena itu diakui dunia? Haha.. itukan bisa mengubah hubungan kekuasaan dalam berbagai bidang di indonesia. Kita jadi begitu malas merumuskan kebudayaan sendiri karena semua sudah didefinisikan UNESCO. Jangan-jangan nanti kegiatan akademik, penelitian, penciptaan juga cuma mengikuti item-item yang ditentukan UNESCO!!

 

Tourisme  yang pantas diperjualbelikan adalah yang hospitaility: menjadi turis adalah pengalam diterima sebagai tamu oleh tuan rumah yang baik, pengalaman akan homeditempat lain. Kerasan. Yakni pengalaman hospitality yang tidak pernah dialami dalam pengalaman apapun. Suatu seni-kebudayaan bisa menjadi hospitality  sejauh semua seni-kebudayaan  itu dijalankan oleh masyarakatnya, jadi tidak dibuat-buat (superfisial) dan biasanya tidak sengaja menjadi kehidupan sehari-hari. Misalnya: beli makanan yang di jual itu seperti makan dirumah orang..yang dijual adalah bagian dari masyarakatnya. Menerima tamu menjadi bagian kehidupan seharihari. Yang perlu garis bawahi: untuk menghindarkan euforia ekonomi turistik yang membongkar/mengeksploitasi banyak hal atas nama turis.

 Agar tourisme bukan pertemuan budaya yang dibuatbuat sedemikian rupa, tapi yang dijalanin sendiri (orhanik :P).

Jadi sekarang ekonomi kreatif itu bisa membuat kita berbudaya, sejahtra, tercerahkan, atau jangan-jangan cuma berekonomi ria dan secara kultural dipertanyakan?






Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka