Langsung ke konten utama

AUTODRAMATURGI ARI-ARI

Oleh Taufik Darwis




“Seperti siapa pun tahu saya adalah saya. Bukan saja saya tidak berkulit putih tetapi saya adalah wakil abad ini, sehingga waktu juga yang akan ikut mewarnai setiap pementasan saya”.
 (Arifin C. Noer: Teater Saya Adalah Teater Kini)

Arifin dan Teaternya: suatu organisme radikal yang berproses
            Arifin C. Noer, bersama Rendra dan Putu Wijaya dikenal sebagai generasi ‘ketiga’ dari para insan teater nasionalis setelah generasi teater Era Pembangunan Bangsa  dan teater Peralihan ke Realisme: ‘kewargaduniaan’ Usmar Ismail-Asrul Sani di ATNI, LEKRA dan STB Bandung (awal)-Studi Grup Drama Djokja. Generasi ‘ketiga’ ini Dianggap  mempunyai pandangan lebih jauh (eksperimental) terhadap teater daerah tradisional (Bondden, 1999: 911-929).[1] Pandangan ekperimental tersebut  tidak lain karena penolakannya terhadap nativisme kultural Orde Baru (Taman Mini Indonesia Indah) dan terhadap ‘realisme’ yang dipercayai tidak akan membentuk sebuah jenis ‘teater-seni’ baru, tapi malah akan mempertahankan sebuah ortodoksi universalisme Barat dalam seni teater. Ortodoksi itu dilembagakan dan dipertahankan oleh lembaga-lembaga pendidikan teater Indonesia (serta komunitas yang dipengaruhinya) yang berdiri di dalam masa-masa Indonesia (Jakarta) mempunyai relasi (kekuasaan) yang jelas dengan  kekuasaan kolonial dan polemik kebudayaan di masa-masa transisi kedaulatan nasional.[2]  Di mana dalam sejarah pembentukan awalnya ingin menjadikan teater (Barat)  menjadi model dan mengisi kekosongan kebudayaan dalam sejarah Indonesia (kewargaduniaan Angkatan-45). Arifin mengatakan lembaga-komunitas yang mempertahankan ortodoksi tersebut, “boleh dikatakan mereka sama sekali asing dengan ihwal teater tradisional Indonesia sendiri” sehingga menurutnya “tanpa mereka sadari sendiri sebenarnya mereka sedang menciptakan suatu teater Barat sementara di luar kampus mereka berlangsung suatu masyarakat yang baru yang bernama Indonesia yang sedang berproses” (Arifin, 1999: 110).
            Indonesia yang sedang berproses itu menurutnya seharusnya bekerja dalam diri seseorang Indonesia juga, Arifin mengambil contoh dirinya yang tidak mungkin terus-terusan bersikap bule:  “karena bukan saja kulit saya sawo matang, tapi juga lanskap saya Cirebon berbeda dengan lanskap Lowa atau Nancy”. Maka di dalam berteaternya, Arifin mengambil sikap “aktif dalam ikut ‘memproses’ kebudayaan baru dunia, atau seni teater Indonesia khususnya”, karena Dia yakin bahwa “kesadaran akan posisi dalam suatu ruang dan waktu adalah sangat penting kalau tidak mau dikatakan perlu”. Karena Dia “tidak rela terus-menerus tidak menyadari apa yang sedang saya ikut-kerjakan dan sedang berlangsung” (Arifin, 1999: 108).  Pada titik ini saya berani menyebut Arifin sebagai orang-seniman-teater yang menyadari ada pengaruh jejak-jejak kolonialisme (pascakololnial) yang berefek terus di dalam  perjalanan teater Indonesia dan mengambil sikap untuk menjadikan teaternya sebagai ‘Teater Indonesia’ bukan “teater Barat maupun teater Jawa atau Bali atau teater Cirebon”.  
Resistensinya bukanlah resistensi yang ambivalen seperi Asrul Sani yang menolak kebudayaan lama tapi menjadi warga dunia yang bebas dan menjadikan ‘realisme’ Barat sebagai milik sendiri (Indonesia), resistensi Arifin adalah resistensi yang menolak segala ortodoksi tradisional baik dari Barat (alih bahasa, adaptasi, apropriasi/penyerapan)  maupun dari Timur (yang nativistik atau hanya sekedar bungkusan) yang menurutnya, tanpa resistensi seperti itu teater Indonesia  hanya bersikap terus menerus menghina diri sendiri. Resistensi dengan menolak segala yang baku itu ialah resistensi yang sadar akan berbagai kompleksitas,  yang terjadi di masyarakatnya, atau katakanlah “Indonesia yang sedang berproses”. Maka sebagai titik tolaknya Arifin mengatakan: “Saya yang di Timur ini harus bebas dari suatu kompleks-rendah-diri!” dan sekali lagi saya katakan “bersikap aktif dalam ikut ‘memproses’ kebudayaan baru dunia umumya, atau seni Teater Indonesia khususnya”. Arifin menyebut sikap dirinya sendiri adalah sikap yang radikal, karena tanpa sikap radikal, “Barat sedang (akan terus) membersihkan dirinya dan mencuci tangannya dan “Timur siap akan mengulangi kekeliruan yang sama apabila tidak mempunyai keberanian untuk bersikap kritis secara lebih radikal ke segala penjuru”[3]  (bukankan ramalannya ini terjadi dan terus berlangsung hingga saat ini?).  Karena segala sikap mau tidak mau akan berhadapan dengan konsekuensinya, begitu juga dengan sikap radikal Arifin. Dengan menjadikan diri dan teaternya sebagai organisme yang berproses di dalam masyarakat (Indonesia) yang juga sedang berproses, Arifin dan Teaternya harus membaca segala kompleksitas, kekacauan yang terjadi. Dan ini juga dibenarkan oleh Arifin sendiri, yang menyebutkan bahwa “Dari segala seginya teater Indonesia adalah wujud Indonesia sendiri”.[4] 

Anti-Humanisme Arifin C.Noer
Ari-Ari atawa Introgasi 2 yang ditulis Arifin pada tahun 1989 adalah lakon drama lanjutan dari Dalam Bayang Tuhan atawa Introgasi 1. Dua lakon ini sama-sama mengisahkan  Sandek dan Direktur alias Malin dengan latar perburuhan dengan berbagai macam permasalahannya. Sandek mengalami kebisuan total dan masyarakat dunia juga ikut-ikutan bisu, sontak membuat seluruh aktivitas seluruh kota di dunia menjadi macet total yang akhirnya membuat Direktur harus mencarinya karena dianggap menghentikan gerak ekonomi, sejarah dan kemajuan manusia. Di dalam esainya Sastra Kita Sastra Borjuis[5], Arifin terang-terang mengatakan akan menjadikan tokoh Sandek (bersama Waksa) sebagai ‘masa depan’ penulisan lakonnya yakni figur “manusia yang lebih perkasa” di dalam “abad penghinaan habis-habisan Manusia” dan menjadikan Abu dalam lakon Kapai-Kapai sebagai ‘masa silam’-nya. Dalam esai ini juga tersimpan informasi yang membuat saya mendapatkan latarbelakang penulisan dua lakon tadi yang sama-sama mengisahkan latar perburuhan itu, di mana Arifin “minggat dari keraton bernama Taman Ismail Marzuki” karena ingin menjadi “orang biasa” dan kemudian bekerja di Kawasan Industri Pulo Gadung. Tempat yang menurut pengakuannya sendiri:  “berkesan karena dapat bertemu dengan  kalimat serta Kata-Kata dan bukan huruf-huruf  yang banyak saya temui di keraton Taman Ismail Marzuki”.
“Karena Sandek adalah Ari-Arimu”, tegas Ibu Malin kepada anaknya, yakni tokoh  Direktur yang dari awal sampai akhir lakon kelalapan mencari Sandek (dipertemukan di lakon Dalam  Bayangan Tuhan) yang dianggap menjadi penyebab bencana-wabah bisu di mana-mana di apa-apa. Yang menarik dari lakon ini adalah bagaimana cara Arifin membela ‘manusia’ tadi melalui figur Sandek yang malah dalam bahasa tokoh Direktur secara implisit sebagai ‘anti manusia’ karena mogok bicara, mogok bernalar, atau kita langsung keintinya saja: mogok menjadi manusia! Kalau Arifin dengan menggunakan Sandek yang ‘anti-manusia’ untuk membela manusia dari penghinaan habis-habisan, maka bukankah dalam konteks ini Arifin ingin mengatakan bahwa yang ‘anti-manusia’ ini lebih manusia? Padahal Sandek ini bukan hanya saja seorang individu tapi banyak! Kita simak penggalan Dialog tokoh Malin alias Direktur kepada Sandek: “Secara individu kamu ini hancur. Karena itu kamu menghimpun massa, menegakkan ikrar dan bukan nalar. Sebaliknya saya selalu berdiri seorang diri. Manusia! […] Saya yakin saya manusia. Justru kalian adalah gerombolan hewan yang mengandalkan senjata insting. Paling tinggi tingkatan kamu tingkatan manusia primitif!” 
Arifin adalah seorang anti-humanis. Dia anti manusia yang secara tipologis seperti tokoh Direktur: ‘utuh-penuh’, bernalar, rasional, feodal, borjuis, elitis, individual, yang malah dipuja-puja sejak Abad ‘Renaissance’ menghebat di abad ‘Pencerahan’, lalu  melahirkan berbagai ilmu-teknologi (apapun itu) dan kolonialisme. Kalau kata tokoh Sutradara: “Abad ini abad Aku!”. ‘Aku’ (Direktur) yang semakin jauh dari dirinya sendiri (Sandek), yang merasa penuh padahal tidak utuh. Sandek adalah orang yang ‘anti-manusia’ dihadapan Direktur. Sandek adalah “virus yang akan membusukkan hidup itu. Dia anti dinamika. Dia anti kemajuan, Itu artinya Dia anti hidup!”, kata Direktur. Tapi Arifin menjadikannya sebagai manusia yang paling nyata dan tidak terjamah oleh ‘sang rasio’ (Direktur). Sandek adalah ‘yang nyata’, meskipun bahasanya (yang bisu) tidak dimengerti dan tidak dimaui oleh Direktur yang menuntutnya untuk bicara dan menggunakan otaknya. Dia bukan Direktur ataupun saudara ‘kembar’ Direktur. Dia adalah Ari-Arinya Direktur. Ari-Arinya manusia yang telah dihina berabad-abad oleh manusianya sendiri. Maka dari itu semua orang akan ikut Sandek, karena Dia adalah hasrat yang hidup, atau lebih tepatnya Sandek (sebagai Ari-Ari) ada disemua orang bahkan di Direktur sendiri. Maka kalau Dia muncul di dalam diri seorang manusia dari ‘Abad Aku’ tadi, Dia malah dianggap trauma dan pantas untuk ‘dimiskinkan’ serta‘ditindas’. Bukankah demikian, wahai manusia? 
                                                                                             
Meretas autodramaturgi Ari-Ari
Di dalam bagian ini saya akan memulai mencoba menjelaskan apa yang dimaksud autodramaturgi Ari-Ari yang menjadi judul tulisan saya ini. Autodramaturgi Ari-Ari berarti adalah dramaturgi yang ‘dikatakan’ atau yang ada (tersembunyi-tampak) di dalam drama itu sendiri, dalam konteks ini berarti di dalam lakon Ari-Ari. Jadi sebenarnya untuk mementaskan lakon-lakon Arifin, khususnya lakon Arifin ini kita tidak perlu banyak mencari dramaturgi-dramaturgi di luar proses teater  Arifin sendiri (memang belum ada kajian yang mendalam), yang bahkan malah tidak akan se-radikal dramaturgi teater Arifin. Mengapa saya berani mengatakan demikian? karena Arifin dan teaternya adalah suatu organisme radikal yang berproses. ‘Mereka’ tidak menginginkan pemolaan-pembakuan tertentu pada dirinya. Maka bukan tidak mungkin, ini juga berpengaruh pada cara bagaimana Arifin menulis lakonnya, yang kerap kali  baru selesai menjelang pentasnya. Begitu pula dengan lakon Ari-Ari ini. (saya dapatkan informasi ini dari format/bentuk penulisan Ari-Ari dan sutradara yang sedang menggarap lakon ini). Hal ini juga yang menjadikan Goenawan Mohamad (di dalam esai  Sebuah Pembelaan Untuk Teater Mutakhir Indonesia) tidak bisa yakin terhadap adanya kemungkinan grup teater/sutradara yang bisa mementaskan lakon-lakon Arifin (GM mengatakan dalam konteks lakon Tengul). 
            Autodramaturgi Ari-Ari selain dapat membuat penggarap selain Arifin sendiri(meskipun diragukan GM) terbantu untuk mementaskannya, juga bisa membaca bagaimana seorang Arifin itu, yang tidak hanya dibaca melalui Sandek, tapi juga melalui tokoh-tokoh yang lain, yang mungkin  ‘dianggap remeh temeh’ dan menjadi ‘korban’ pengeditan naskah oleh sutradara. Misalnya pandangan-pandangan kritisnya terhadap ‘realisme’ yang telah  disinggung di paragraf awal tulisan ini yang juga membawa ‘ideologi humanisme’ yang sangat ditentangnya. Seperti apa yang diungkapkan oleh tokoh Stage Manager: “Yang menyebut-nyebut soal anak, ayah dan bukti-bukti medis. Jelas Dialog itu tidak relevan untuk sandiwara sosial seperti ini. Tema-tema psikologi dan keluarga kelas menengah ala Strinberg atau Ibsen hanya cocok bagi masyarakat Eropa ketika zaman kolonialisme.”. Kritik tersebut semakin tegas ketika tokoh Tembem membalas dialog Stage Manager: “Sebelum latihan dulu saya ‘kan sudah usul kenapa supaya kita pentaskan saja sandiwara-sandiwara macam itu atau Arthur Miller atau Tennesse Williams punya supaya klop dengan masyarakat kita yang sekarang sudah mulai suka blak-blakan soal ranjang dan keranjang”. Lalu di bagian lain Sandek (pemeran Sadek) mengatakannya lebih tajam: “Akting dengan pendekatan psikologi dan sosiologi itu kuno, sisa abad ke XX”.
Jadi kritik Arifin terhadap ‘realisme’ yang juga menjadi bagian konflik kecil di dalam naskahnya saya kira sudah bisa membatu penggarap dalam membaca, mencari atau menggunakan pendekatan akting dalam memperlakukan lakon Ari-Ari ini. Mengenai pendekatan akting, Arifin di dalam esainya ‘Iman’ dari Logat, Lagu-Ucapan dan Dialek dalam Seni Peran juga sempat mengatakan sendiri bagaimana sikapnya pada  perkembangan seni akting yang terlalu dipengaruhi oleh Sastra-Bahasa Indonesia dan lebih memilih ‘mengimani’ bahwa “seni begitu indah begtu kaya, begitu dinamik, begitu hidup, bagaikan hidup itu sendiri yang mengundang begitu banyak kemungkinan, seni sejati tidak menghendaki pemolaan-pemolaan tertentu yang memiskinan aktornya”.  Jadi, menurutnya untuk menjadi seorang aktor yang kaya (berlaku juga buat aktornya di Teater Ketjil) jangan menjadi bagian masyarakat mekanik, yang cuma punya dan pakai satu logat berbahasa Indonesia  seperti penyiar berita di tv atau radio. Bagaimana caranya? Arifin mengatakan: “Sengaja saya memilih persoalan sekitar dialek, gaya serta lagu ucapan atau logat karena saya kira persoalan ini masih atau malah akan selalu ‘bebas’  dari  pembakuan”. Jelasnya pembakuan seperti apa? Dari mana?
            Seperti yang disebutkan di paragraf awal tulisan ini,  di dalam gerak sejarah teater Indonesia ada suatu generasi dimana terjadi peralihan ke realisme yang begitu kuat melembaga dan menyebar keberbagai daerah melalui individu yang mengenyam pendidikan resmi teater (yang juga menjadi bagian migrasi ulang-alik desa-kota), workshop/diklat-pementasan (dari yang militan sampai ke yang proyek) dan lain-lain. Penyebaran itu dimulai  setelah terbentukya ATNI yang dibentuk oleh Asrul Sani dan Usmar Ismail dengan ideologi ‘kewargaduniaan’nya sebagai Angkatan’45 yang membuat Surat Kepercayaan Gelanggang, sebuah surat pendek yang ‘bikin perkara’ di pasca kedaulatan nasional. Generasi ini juga  dinamakan Jakob Sumarjo  sebagai generasi yang membuka gerbang ‘zaman emas’ pementasan lakon-lakon asing, di mana terjadi berbagai proyek penerjemahan sastra drama dan teori akting,  infrastruktur untuk teater (pembentukan lembaga seni), serta penggunaan dan  pembentukan Bahasa Indonesia di dalam teater. Tapi Arifin sebagai seseorang yang menyadari bahwa Indonesia sedang berproses yang mengharuskan dirinya juga berproses, di dalam esainya Teater Saya Teater Kini  Arifin mengkritik teori akting Stalislavsky sebagai hasil penyerapan Asrul Sani tadi. Teori-metode akting ini mempunyai konsep dasar dengan nama inner-activity yang di mana untuk ‘menguasainya’ aktor diharuskan memiliki  berbagai pengetahuan fisiologis, sosiologis dan psikologis serta latar belakang kebudayaan peran yang akan dimainkannya secara lengkap. Konsep ini dinilai Arifin tidak cocok atau dalam istilah radikalnya sendiri: kuno. Karena setiap aktor Indonesia akan “mengalami  kesulitan yang sangat besar yang  kebetulan dari ‘kelas bawah’  untuk bisa menangkap lalu menghayati kebiasaan sehari-hari dari tokoh asing yang akan dimainkannya”.
               Jadi, bila di dalam pertunjukan lakon realis karakter tokoh/peran itu cenderung bulat, bernama dan diinginkan utuh oleh struktur kisahnya dari awal sampai akhir dan mengharapkan penonton membuat identifikasi (sebagai subjek pasif) sedemikian rupa hingga menerima dan menangkap model manusia (karakter tadi) untuk dirinya. Maka bila ditinjau dari contoh beberapa penggalan teks di atas, tokoh/peran di dalam lakon Ari-Ari Arifin ini tidak menghendaki identifikasi yang total, artinya menyisakan lubang di dalam kisah yang bisa diisi melaui subjektifikasi  (aktif) penontonnya. Sebuah lubang yang diberikan teks (meskipun bisa diluar maksud pengarangnya) untuk menunda dan tidak percaya begitu saja pada apa yang diketahui oleh dirinya dari apa yang ditontonnya. Hal ini terjadi karena teater dan menontonnya sama-sama ‘menampakan diri’ (mengajak-Diajak).  Misalnya, di dalam teks-Dialog Sutradara: “Terus terang saya tidak tahu apakah saya mesti berterus-terang atau bersandiwara sekarang? Soalnya, keadaan yang sesungguhnya lebih gawat daripada apa yang akan kita saksikan”.
Di dalam dialog tokoh Sutradara yang di tempatkan Arifin di awal-awal kisah, kalau aktorya sudah bisa juga menangkap apa yang dimaksudkan Arifin dan tidak terhegemoni dengan pemolaan-pemolaan tertentu dari formalisme lakon-lakon realis yang sering dimainkannya misalnya, sebenarnya sudah bisa menyediakan lubang-lubang subjektifikasi bagi penontonnya, karena si tokoh Sutradara ini muncul dan mengatakan bahwa keadaan di luar pertunjukan ini, yang berarti juga keadaan  penontonnya lebih gawat dari pada yang disaksikan. Tentu saja untuk meraih informasi dan subjektifitas dirinya penonton perlu mengikuti dari awal sampai akhir pertunjukan (meskipun ‘awal’ dan ‘akhir’ kadang tidak tegas). Tidak jarang, di dalam ranah pergaulan teater banyak yang mengait-ngaitkan Arifin dengan Teater Epik-nya Brecht. Bahwa Arifin banyak menggunakan metode teater Brecht, memang bisa mungkin begitu (misalnya karena Arifin membaca literatur tentang Brecht). Tapi menurut saya pengaitan dan pemahaman itu logikanya reduksionistik mengingat  sejarah-lanskap biografinya yang beragam dan sikap Arifin yang ada dalam jalur untuk menjadi seseorang yang berproses terus menerus seperti juga ‘Indonesia-nya’. Dan itulah yang membuatnya lebih kompleks, atau hibrid. Sedangkan Brecht hanya menjadikan apa yang di Timur (Opera Peking Cina) untuk konteks masyarakat Jerman pada zamannya.
             Dari pembahasan kurang panjang ini, saya mendapatkan kesimpulan (setidaknya untuk saya sendiri) bahwa  antara biografi Arifin dan teaternya bukan hanya tidak bisa pisahkan, tapi saling menembus. Sebab kata Arifin sendiri: “…saya adalah saya. Bukan saja saya tidak berkulit putih tetapi saya adalah wakil abad ini, sehingga waktu juga yang akan ikut mewarnai setiap pementasan saya”. ‘Yang rill dan yang ide’ dari hidupnya (pemikiran, pengalaman dirinya dan yang terjadi di masyarakat, etc)  dan yang artistik dari teaternya tidak bisa dipisahkan, dua-duanya saling menembus, kadang berjarak, kadang lebur. Kadang sangat tampak dan menjadi pernyataan, tapi kadang juga sangat halus. Kadang dua-duanya saling mengungkapkan. Jadi lakon-lakonnya adalah manifestasi dari perjalanan pencarian dramaturgi yang khas untuk teater serta penontonnya, sebagai bagian dari masyarakat yang juga terus berproses, meski dalam keadaan gawat sekalipun. Gawat dalam konteks lakon Ari-Ari ini, adalah keadaan gawat karena “masyarakat sekarang bisu.  Dunia bisu! Dunia sedang kehilangan bahasa, penonton bisu! Seniman bisu!”.  Sebuah sikap (posisi dan orientasi) dari ‘kerja budaya’ yang saya kira menghilang akhir-akhir ini (atau sudah sejak lama?). Dan ini menurut saya yang menjadi paling penting untuk yang akan mementaskan naskah ini setelah Arifin sendiri, di mana penggarap (individu maupun kelompok) juga sepatutnya menyadari bahwa masyarakat dan dirinya sedang berproses! ‘Tradisi’nya berproses! Harus berproses (bukan hanya untuk menjawab keraguan GM loh ya!)  Bahkan mungkin harus lebih radikal! Sebab bisa saja tingkat kegawatan saat ini makin gawat! Bukan saja karena kita semua bisu dan kehilangan bahasa! Bukan! Bukan hanya itu! Tapi karena kita masih juga percaya bahwa kita sudah  banyak ‘bicara’! ***




[1] Lihat esai Michael H. Bodden, Membuat Drama Asing Berbicara Kepada Peonton Indonesia, dalam buku Sadur:
Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, KPG, tahun 2009. 
[2] Lihat Taufik Darwis, Mencari Teater Modern Indonesia Versi Asrul Sani, artikel lepas, 2012
[3] Karena bayak kutipan daru esai Arifin C. Noer, Teater Saya Adalah Teater Kini,  lihat lebih dekat dalam buku Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema. Dewan Kesenian Jakarta. Thn 1999.
[4] Lihat Arifin C. Noer, ‘Iman’ dari Logat, Lagu-Ucapan dan Dialek Dalam Seni Peran, dalam buku Ideologi Teater Modern Kita, Pustaka Gondho Suli, tahun 2000. Hal 3.
[5]  dalam Dua Puluh Sastrawan Bicara, Temu Sastra 1982, Dewan Kesenian Jakarta. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka