“Seperti siapa pun tahu saya adalah saya. Bukan saja saya tidak berkulit putih tetapi saya adalah wakil abad ini, sehingga waktu juga yang akan ikut mewarnai setiap pementasan saya”.
(Arifin
C. Noer: Teater Saya Adalah Teater Kini)
Arifin dan Teaternya: suatu organisme radikal
yang berproses
Arifin C. Noer, bersama Rendra dan
Putu Wijaya dikenal sebagai generasi ‘ketiga’ dari para insan teater nasionalis
setelah generasi teater Era Pembangunan Bangsa
dan teater Peralihan ke Realisme: ‘kewargaduniaan’ Usmar Ismail-Asrul
Sani di ATNI, LEKRA dan STB Bandung (awal)-Studi Grup Drama Djokja. Generasi
‘ketiga’ ini Dianggap mempunyai
pandangan lebih jauh (eksperimental) terhadap teater daerah tradisional (Bondden,
1999: 911-929).[1]
Pandangan ekperimental tersebut tidak
lain karena penolakannya terhadap nativisme kultural Orde Baru (Taman Mini
Indonesia Indah) dan terhadap ‘realisme’ yang dipercayai tidak akan membentuk
sebuah jenis ‘teater-seni’ baru, tapi malah akan mempertahankan sebuah
ortodoksi universalisme Barat dalam seni teater. Ortodoksi itu dilembagakan dan
dipertahankan oleh lembaga-lembaga pendidikan teater Indonesia (serta komunitas
yang dipengaruhinya) yang berdiri di dalam masa-masa Indonesia (Jakarta) mempunyai
relasi (kekuasaan) yang jelas dengan kekuasaan kolonial dan polemik kebudayaan di
masa-masa transisi kedaulatan nasional.[2]
Di mana dalam sejarah pembentukan
awalnya ingin menjadikan teater (Barat) menjadi
model dan mengisi kekosongan kebudayaan dalam sejarah Indonesia (kewargaduniaan
Angkatan-45). Arifin mengatakan lembaga-komunitas yang mempertahankan ortodoksi
tersebut, “boleh dikatakan mereka sama sekali asing dengan ihwal teater
tradisional Indonesia sendiri” sehingga menurutnya “tanpa mereka sadari sendiri
sebenarnya mereka sedang menciptakan suatu teater Barat sementara di luar
kampus mereka berlangsung suatu masyarakat yang baru yang bernama Indonesia
yang sedang berproses” (Arifin, 1999: 110).
Indonesia yang sedang berproses itu
menurutnya seharusnya bekerja dalam diri seseorang Indonesia juga, Arifin
mengambil contoh dirinya yang tidak mungkin terus-terusan bersikap bule: “karena
bukan saja kulit saya sawo matang, tapi juga lanskap saya Cirebon berbeda
dengan lanskap Lowa atau Nancy”. Maka di dalam berteaternya, Arifin
mengambil sikap “aktif dalam ikut ‘memproses’ kebudayaan baru dunia, atau seni
teater Indonesia khususnya”, karena Dia yakin bahwa “kesadaran akan posisi
dalam suatu ruang dan waktu adalah sangat penting kalau tidak mau dikatakan
perlu”. Karena Dia “tidak rela terus-menerus tidak menyadari apa yang sedang
saya ikut-kerjakan dan sedang berlangsung” (Arifin, 1999: 108). Pada titik ini saya berani menyebut Arifin
sebagai orang-seniman-teater yang menyadari ada pengaruh jejak-jejak
kolonialisme (pascakololnial) yang berefek terus di dalam perjalanan teater Indonesia dan mengambil
sikap untuk menjadikan teaternya sebagai ‘Teater Indonesia’ bukan “teater Barat
maupun teater Jawa atau Bali atau teater Cirebon”.
Resistensinya
bukanlah resistensi yang ambivalen seperi Asrul Sani yang menolak kebudayaan
lama tapi menjadi warga dunia yang bebas dan menjadikan ‘realisme’ Barat
sebagai milik sendiri (Indonesia), resistensi Arifin adalah resistensi yang
menolak segala ortodoksi tradisional baik dari Barat (alih bahasa, adaptasi,
apropriasi/penyerapan) maupun dari Timur
(yang nativistik atau hanya sekedar bungkusan) yang menurutnya, tanpa
resistensi seperti itu teater Indonesia
hanya bersikap terus menerus menghina diri sendiri. Resistensi dengan
menolak segala yang baku itu ialah resistensi yang sadar akan berbagai
kompleksitas, yang terjadi di
masyarakatnya, atau katakanlah “Indonesia yang sedang berproses”. Maka sebagai
titik tolaknya Arifin mengatakan: “Saya yang di Timur ini harus bebas dari
suatu kompleks-rendah-diri!” dan sekali lagi saya katakan “bersikap aktif dalam
ikut ‘memproses’ kebudayaan baru dunia umumya, atau seni Teater Indonesia
khususnya”. Arifin menyebut sikap dirinya sendiri adalah sikap yang radikal,
karena tanpa sikap radikal, “Barat sedang (akan terus) membersihkan dirinya dan
mencuci tangannya dan “Timur siap akan mengulangi kekeliruan yang sama apabila
tidak mempunyai keberanian untuk bersikap kritis secara lebih radikal ke segala
penjuru”[3]
(bukankan ramalannya ini terjadi dan terus
berlangsung hingga saat ini?). Karena
segala sikap mau tidak mau akan berhadapan dengan konsekuensinya, begitu juga
dengan sikap radikal Arifin. Dengan menjadikan diri dan teaternya sebagai
organisme yang berproses di dalam masyarakat (Indonesia) yang juga sedang
berproses, Arifin dan Teaternya harus membaca segala kompleksitas, kekacauan
yang terjadi. Dan ini juga dibenarkan oleh Arifin sendiri, yang menyebutkan
bahwa “Dari segala seginya teater Indonesia adalah wujud Indonesia sendiri”.[4]
Anti-Humanisme Arifin C.Noer
Ari-Ari atawa Introgasi
2 yang ditulis Arifin pada tahun 1989 adalah lakon drama lanjutan dari Dalam Bayang Tuhan atawa Introgasi 1.
Dua lakon ini sama-sama mengisahkan Sandek dan Direktur alias Malin dengan latar
perburuhan dengan berbagai macam permasalahannya. Sandek mengalami kebisuan
total dan masyarakat dunia juga ikut-ikutan bisu, sontak membuat seluruh
aktivitas seluruh kota di dunia menjadi macet total yang akhirnya membuat
Direktur harus mencarinya karena dianggap menghentikan gerak ekonomi, sejarah
dan kemajuan manusia. Di dalam esainya Sastra
Kita Sastra Borjuis[5],
Arifin terang-terang mengatakan akan menjadikan tokoh Sandek (bersama Waksa)
sebagai ‘masa depan’ penulisan lakonnya yakni figur “manusia yang lebih
perkasa” di dalam “abad penghinaan habis-habisan Manusia” dan menjadikan Abu
dalam lakon Kapai-Kapai sebagai ‘masa silam’-nya. Dalam esai ini juga tersimpan
informasi yang membuat saya mendapatkan latarbelakang penulisan dua lakon tadi
yang sama-sama mengisahkan latar perburuhan itu, di mana Arifin “minggat dari
keraton bernama Taman Ismail Marzuki” karena ingin menjadi “orang biasa” dan
kemudian bekerja di Kawasan Industri Pulo Gadung. Tempat yang menurut pengakuannya
sendiri: “berkesan karena dapat bertemu dengan
kalimat serta Kata-Kata dan bukan huruf-huruf yang banyak saya temui di keraton Taman
Ismail Marzuki”.
“Karena Sandek adalah Ari-Arimu”, tegas Ibu Malin kepada anaknya, yakni
tokoh Direktur yang dari awal sampai
akhir lakon kelalapan mencari Sandek (dipertemukan di lakon Dalam Bayangan Tuhan) yang dianggap menjadi
penyebab bencana-wabah bisu di mana-mana di apa-apa. Yang menarik dari lakon
ini adalah bagaimana cara Arifin membela ‘manusia’ tadi melalui figur Sandek
yang malah dalam bahasa tokoh Direktur secara implisit sebagai ‘anti manusia’
karena mogok bicara, mogok bernalar, atau kita langsung keintinya saja: mogok
menjadi manusia! Kalau Arifin dengan menggunakan Sandek yang ‘anti-manusia’
untuk membela manusia dari penghinaan habis-habisan, maka bukankah dalam
konteks ini Arifin ingin mengatakan bahwa yang ‘anti-manusia’ ini lebih
manusia? Padahal Sandek ini bukan hanya saja seorang individu tapi banyak! Kita
simak penggalan Dialog tokoh Malin alias Direktur kepada Sandek: “Secara individu kamu ini hancur. Karena itu
kamu menghimpun massa, menegakkan ikrar dan bukan nalar. Sebaliknya saya selalu
berdiri seorang diri. Manusia! […] Saya yakin saya manusia. Justru kalian
adalah gerombolan hewan yang mengandalkan senjata insting. Paling tinggi
tingkatan kamu tingkatan manusia primitif!”
Arifin
adalah seorang anti-humanis. Dia anti manusia yang secara tipologis seperti tokoh
Direktur: ‘utuh-penuh’, bernalar, rasional, feodal, borjuis, elitis,
individual, yang malah dipuja-puja sejak Abad ‘Renaissance’ menghebat di abad
‘Pencerahan’, lalu melahirkan berbagai
ilmu-teknologi (apapun itu) dan kolonialisme. Kalau kata tokoh Sutradara: “Abad ini abad Aku!”. ‘Aku’ (Direktur)
yang semakin jauh dari dirinya sendiri (Sandek), yang merasa penuh padahal
tidak utuh. Sandek adalah orang yang ‘anti-manusia’ dihadapan Direktur. Sandek
adalah “virus yang akan membusukkan hidup
itu. Dia anti dinamika. Dia anti kemajuan, Itu artinya Dia anti hidup!”,
kata Direktur. Tapi Arifin menjadikannya sebagai manusia yang paling nyata dan
tidak terjamah oleh ‘sang rasio’ (Direktur). Sandek adalah ‘yang nyata’,
meskipun bahasanya (yang bisu) tidak dimengerti dan tidak dimaui oleh Direktur
yang menuntutnya untuk bicara dan menggunakan otaknya. Dia bukan Direktur
ataupun saudara ‘kembar’ Direktur. Dia adalah Ari-Arinya Direktur. Ari-Arinya
manusia yang telah dihina berabad-abad oleh manusianya sendiri. Maka dari itu
semua orang akan ikut Sandek, karena Dia adalah hasrat yang hidup, atau lebih
tepatnya Sandek (sebagai Ari-Ari) ada
disemua orang bahkan di Direktur sendiri. Maka kalau Dia muncul di dalam diri
seorang manusia dari ‘Abad Aku’ tadi, Dia malah dianggap trauma dan pantas
untuk ‘dimiskinkan’ serta‘ditindas’. Bukankah demikian, wahai manusia?
Meretas autodramaturgi Ari-Ari
Di
dalam bagian ini saya akan memulai mencoba menjelaskan apa yang dimaksud
autodramaturgi Ari-Ari yang menjadi
judul tulisan saya ini. Autodramaturgi Ari-Ari
berarti adalah dramaturgi yang ‘dikatakan’ atau yang ada (tersembunyi-tampak)
di dalam drama itu sendiri, dalam konteks ini berarti di dalam lakon Ari-Ari. Jadi sebenarnya untuk
mementaskan lakon-lakon Arifin, khususnya lakon Arifin ini kita tidak perlu
banyak mencari dramaturgi-dramaturgi di luar proses teater Arifin sendiri (memang belum ada kajian yang
mendalam), yang bahkan malah tidak akan se-radikal dramaturgi teater Arifin. Mengapa
saya berani mengatakan demikian? karena Arifin dan teaternya adalah suatu
organisme radikal yang berproses. ‘Mereka’ tidak menginginkan
pemolaan-pembakuan tertentu pada dirinya. Maka bukan tidak mungkin, ini juga
berpengaruh pada cara bagaimana Arifin menulis lakonnya, yang kerap kali baru selesai menjelang pentasnya. Begitu pula
dengan lakon Ari-Ari ini. (saya
dapatkan informasi ini dari format/bentuk penulisan Ari-Ari dan sutradara yang sedang menggarap lakon ini). Hal ini
juga yang menjadikan Goenawan Mohamad (di dalam esai Sebuah
Pembelaan Untuk Teater Mutakhir Indonesia) tidak bisa yakin terhadap adanya
kemungkinan grup teater/sutradara yang bisa mementaskan lakon-lakon Arifin (GM
mengatakan dalam konteks lakon Tengul).
Autodramaturgi Ari-Ari selain dapat membuat penggarap selain Arifin sendiri(meskipun
diragukan GM) terbantu untuk mementaskannya, juga bisa membaca bagaimana
seorang Arifin itu, yang tidak hanya dibaca melalui Sandek, tapi juga melalui
tokoh-tokoh yang lain, yang mungkin ‘dianggap
remeh temeh’ dan menjadi ‘korban’ pengeditan naskah oleh sutradara. Misalnya
pandangan-pandangan kritisnya terhadap ‘realisme’ yang telah disinggung di paragraf awal tulisan ini yang
juga membawa ‘ideologi humanisme’ yang sangat ditentangnya. Seperti apa yang
diungkapkan oleh tokoh Stage Manager: “Yang
menyebut-nyebut soal anak, ayah dan bukti-bukti medis. Jelas Dialog itu tidak
relevan untuk sandiwara sosial seperti ini. Tema-tema psikologi dan keluarga
kelas menengah ala Strinberg atau Ibsen hanya cocok bagi masyarakat Eropa
ketika zaman kolonialisme.”. Kritik tersebut semakin tegas ketika tokoh
Tembem membalas dialog Stage Manager: “Sebelum
latihan dulu saya ‘kan sudah usul kenapa supaya kita pentaskan saja
sandiwara-sandiwara macam itu atau Arthur Miller atau Tennesse Williams punya
supaya klop dengan masyarakat kita yang sekarang sudah mulai suka blak-blakan
soal ranjang dan keranjang”. Lalu di bagian lain Sandek (pemeran Sadek)
mengatakannya lebih tajam: “Akting dengan
pendekatan psikologi dan sosiologi itu kuno, sisa abad ke XX”.
Jadi
kritik Arifin terhadap ‘realisme’ yang juga menjadi bagian konflik kecil di
dalam naskahnya saya kira sudah bisa membatu penggarap dalam membaca, mencari
atau menggunakan pendekatan akting dalam memperlakukan lakon Ari-Ari ini. Mengenai pendekatan akting,
Arifin di dalam esainya ‘Iman’ dari
Logat, Lagu-Ucapan dan Dialek dalam Seni Peran juga sempat mengatakan
sendiri bagaimana sikapnya pada
perkembangan seni akting yang terlalu dipengaruhi oleh Sastra-Bahasa
Indonesia dan lebih memilih ‘mengimani’ bahwa “seni begitu indah begtu kaya,
begitu dinamik, begitu hidup, bagaikan hidup itu sendiri yang mengundang begitu
banyak kemungkinan, seni sejati tidak menghendaki pemolaan-pemolaan tertentu
yang memiskinan aktornya”. Jadi,
menurutnya untuk menjadi seorang aktor yang kaya (berlaku juga buat aktornya di
Teater Ketjil) jangan menjadi bagian masyarakat mekanik, yang cuma punya dan
pakai satu logat berbahasa Indonesia
seperti penyiar berita di tv atau radio. Bagaimana caranya? Arifin
mengatakan: “Sengaja saya memilih
persoalan sekitar dialek, gaya serta lagu ucapan atau logat karena saya kira
persoalan ini masih atau malah akan selalu ‘bebas’ dari pembakuan”. Jelasnya pembakuan seperti
apa? Dari mana?
Seperti yang disebutkan di paragraf
awal tulisan ini, di dalam gerak sejarah
teater Indonesia ada suatu generasi dimana terjadi peralihan ke realisme yang begitu
kuat melembaga dan menyebar keberbagai daerah melalui individu yang mengenyam
pendidikan resmi teater (yang juga menjadi bagian migrasi ulang-alik
desa-kota), workshop/diklat-pementasan (dari yang militan sampai ke yang
proyek) dan lain-lain. Penyebaran itu dimulai setelah terbentukya ATNI yang dibentuk oleh
Asrul Sani dan Usmar Ismail dengan ideologi ‘kewargaduniaan’nya sebagai
Angkatan’45 yang membuat Surat Kepercayaan Gelanggang, sebuah surat pendek yang
‘bikin perkara’ di pasca kedaulatan nasional. Generasi ini juga dinamakan Jakob Sumarjo sebagai generasi yang membuka gerbang ‘zaman
emas’ pementasan lakon-lakon asing, di mana terjadi berbagai proyek
penerjemahan sastra drama dan teori akting,
infrastruktur untuk teater (pembentukan lembaga seni), serta penggunaan
dan pembentukan Bahasa Indonesia di
dalam teater. Tapi Arifin sebagai seseorang yang menyadari bahwa Indonesia
sedang berproses yang mengharuskan dirinya juga berproses, di dalam esainya Teater Saya Teater Kini Arifin
mengkritik teori akting Stalislavsky sebagai hasil penyerapan Asrul Sani tadi.
Teori-metode akting ini mempunyai konsep dasar dengan nama inner-activity
yang di mana untuk ‘menguasainya’ aktor diharuskan memiliki berbagai pengetahuan fisiologis, sosiologis
dan psikologis serta latar belakang kebudayaan peran yang akan dimainkannya
secara lengkap. Konsep ini dinilai Arifin tidak cocok atau dalam istilah
radikalnya sendiri: kuno. Karena setiap aktor Indonesia akan “mengalami kesulitan yang sangat besar yang kebetulan dari ‘kelas bawah’ untuk bisa menangkap lalu menghayati
kebiasaan sehari-hari dari tokoh asing yang akan dimainkannya”.
Jadi,
bila di dalam
pertunjukan lakon realis karakter tokoh/peran itu cenderung bulat, bernama dan
diinginkan utuh oleh struktur kisahnya dari awal sampai akhir dan mengharapkan
penonton membuat identifikasi (sebagai subjek pasif) sedemikian rupa hingga
menerima dan menangkap model manusia (karakter tadi) untuk dirinya. Maka bila
ditinjau dari contoh beberapa penggalan teks di atas, tokoh/peran di dalam
lakon Ari-Ari Arifin ini tidak
menghendaki identifikasi yang total, artinya menyisakan lubang di dalam kisah
yang bisa diisi melaui subjektifikasi
(aktif) penontonnya. Sebuah lubang yang diberikan teks (meskipun bisa
diluar maksud pengarangnya) untuk menunda dan tidak percaya begitu saja pada
apa yang diketahui oleh dirinya dari apa yang ditontonnya. Hal ini terjadi
karena teater dan menontonnya sama-sama ‘menampakan diri’ (mengajak-Diajak). Misalnya, di dalam teks-Dialog Sutradara: “Terus terang saya tidak tahu apakah saya
mesti berterus-terang atau bersandiwara sekarang? Soalnya, keadaan yang
sesungguhnya lebih gawat daripada apa yang akan kita saksikan”.
Di
dalam dialog tokoh Sutradara yang di tempatkan Arifin di awal-awal kisah, kalau
aktorya sudah bisa juga menangkap apa yang dimaksudkan Arifin dan tidak
terhegemoni dengan pemolaan-pemolaan tertentu dari formalisme lakon-lakon
realis yang sering dimainkannya misalnya, sebenarnya sudah bisa menyediakan
lubang-lubang subjektifikasi bagi penontonnya, karena si tokoh Sutradara ini
muncul dan mengatakan bahwa keadaan di luar pertunjukan ini, yang berarti juga
keadaan penontonnya lebih gawat dari
pada yang disaksikan. Tentu saja untuk meraih informasi dan subjektifitas
dirinya penonton perlu mengikuti dari awal sampai akhir pertunjukan (meskipun
‘awal’ dan ‘akhir’ kadang tidak tegas). Tidak jarang, di dalam ranah pergaulan
teater banyak yang mengait-ngaitkan Arifin dengan Teater Epik-nya Brecht. Bahwa
Arifin banyak menggunakan metode teater Brecht, memang bisa mungkin begitu
(misalnya karena Arifin membaca literatur tentang Brecht). Tapi menurut saya
pengaitan dan pemahaman itu logikanya reduksionistik mengingat sejarah-lanskap biografinya yang beragam dan
sikap Arifin yang ada dalam jalur untuk menjadi seseorang yang berproses terus
menerus seperti juga ‘Indonesia-nya’. Dan itulah yang membuatnya lebih kompleks,
atau hibrid. Sedangkan Brecht hanya menjadikan apa yang di Timur (Opera Peking
Cina) untuk konteks masyarakat Jerman pada zamannya.
Dari pembahasan kurang panjang ini, saya mendapatkan
kesimpulan (setidaknya untuk saya sendiri) bahwa antara
biografi Arifin dan teaternya bukan hanya tidak bisa pisahkan, tapi saling
menembus. Sebab kata Arifin sendiri: “…saya
adalah saya. Bukan saja saya tidak berkulit putih tetapi saya adalah wakil abad
ini, sehingga waktu juga yang akan ikut mewarnai setiap pementasan saya”. ‘Yang
rill dan yang ide’ dari hidupnya (pemikiran, pengalaman dirinya dan yang
terjadi di masyarakat, etc) dan yang artistik dari teaternya tidak bisa
dipisahkan, dua-duanya saling menembus, kadang berjarak, kadang lebur. Kadang
sangat tampak dan menjadi pernyataan, tapi kadang juga sangat halus. Kadang
dua-duanya saling mengungkapkan. Jadi lakon-lakonnya adalah manifestasi dari perjalanan
pencarian dramaturgi yang khas untuk teater serta penontonnya, sebagai bagian
dari masyarakat yang juga terus berproses, meski dalam keadaan gawat sekalipun.
Gawat dalam konteks lakon Ari-Ari
ini, adalah keadaan gawat karena “masyarakat
sekarang bisu. Dunia bisu! Dunia sedang
kehilangan bahasa, penonton bisu! Seniman bisu!”. Sebuah sikap (posisi dan orientasi) dari ‘kerja
budaya’ yang saya kira menghilang akhir-akhir ini (atau sudah sejak lama?). Dan
ini menurut saya yang menjadi paling penting untuk yang akan mementaskan naskah
ini setelah Arifin sendiri, di mana penggarap (individu maupun kelompok) juga sepatutnya menyadari bahwa masyarakat dan dirinya sedang
berproses! ‘Tradisi’nya berproses! Harus berproses (bukan hanya untuk menjawab keraguan GM loh
ya!) Bahkan mungkin harus lebih radikal!
Sebab bisa saja tingkat kegawatan saat ini makin gawat! Bukan saja karena kita
semua bisu dan kehilangan bahasa! Bukan! Bukan hanya itu! Tapi karena kita masih
juga percaya bahwa kita sudah banyak
‘bicara’! ***
[1] Lihat esai Michael H. Bodden, Membuat
Drama Asing Berbicara Kepada Peonton Indonesia, dalam buku Sadur:
Sejarah Terjemahan di Indonesia dan
Malaysia, KPG, tahun 2009.
[2] Lihat Taufik Darwis, Mencari
Teater Modern Indonesia Versi Asrul Sani, artikel lepas, 2012
[3] Karena bayak kutipan daru esai Arifin C. Noer, Teater Saya Adalah Teater Kini, lihat lebih dekat dalam buku Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema.
Dewan Kesenian Jakarta. Thn 1999.
[4] Lihat Arifin C. Noer, ‘Iman’
dari Logat, Lagu-Ucapan dan Dialek Dalam Seni Peran, dalam buku Ideologi Teater Modern Kita, Pustaka
Gondho Suli, tahun 2000. Hal 3.
[5] dalam Dua Puluh Sastrawan Bicara, Temu Sastra 1982, Dewan Kesenian
Jakarta.
Komentar
Posting Komentar