Langsung ke konten utama

BATAS-BATAS YANG TANPA BATAS

oleh Taufik Darwis

Untuk menjelajah terus yang tanpa batas dan tak terdefinisikan, kita harus tahu batas-batasnya, definisi-definisinya, setidaknya dari pengalaman kita sendiri. Batas-batas itu kadang memang terlampau murah hati dan terlampau antagonis di hadapan kita. Karena kalau tidak, kita hanya menjadi kembali seorang anak kecil yang sedang senang riang-bergembira di antara keseolah-olahan tanpa batas, kenapa? Yaitu, karena yang dihadapakan kita itu menganggap kita hanya seorang anak kecil. Ketika anak kecil yang sedang senang riang-gembira itu dimarahi, dia akan nangis atau balik marah dengan bahasa yang biasanya tidak dimengerti oleh yang memarahi. Tak jarang, yang memarahi kadang kelimpungan menghadapi bahasa anak yang sedang nangis dan marah itu. Itulah yang dimaksud batas, sakit. Sebagai hasil analisis, saya harap tulisan ini bisa menjadi sebagai alat scanning sederhana untuk mendeteksi batas-batas itu dan untuk bisa menembusnya, bukan sebagai resep atau obat. Dan tentu, saya tidak mengharapkan semua  setuju dengan tulisan ini.

Tulisan ini saya buat setelah merasakan kegelisahan, tertarik, menemui, berdiskusi dengan Teater Cassanova yang sedang intens melakukan eksplorasi artistik teater dengan Warga Binaan Lapas Banceuy dan Warga Rumah Palma RSJ JABAR yang didasarkan pada sebuah visi: teater sebagai terapi sosial. Saya berkesempatan melihat pementasan teater HUMAN/VIRUS yang dipentaskan di Aula LAPAS Banceuy, Bandung (8/01/14). Keterlibatan kegelisahan saya pada Teater Cassanova adalah kegelisahan ihwal kemartabatan artistik dan ekonomi teater yang sering berusaha dilupakan, ditutup-tutupi, digagah-gagahi daripada dihadapi. Terlebih hal ini sudah dihadapkan pada keyakinan sebuah kelompok teater, kita lebih baik tidak merasa sudah cukup dengan mengatakan kegelisahan ini sebagai urusan klasik. Maka dari itu kita perlu bisa melihat seni tidak terlalu naif pada konteks ini, demi membela kepentigan-kepentingan seni itu sendiri.

Perrtunjukan Teater HUMAN/VIRUS
(Foto-Foto: Taufik Darwis) 

Sebagai sebuah kelompok teater independen dan bersifat non profit, pada tanggal 14 Februari 2003, Teater Cassanova adalah salah satu kelompok yang bisa konsisten menjaga konstinuitas berteaternya. Saat ini Teater Cassanova memasuki fase sepuluh tahun keberadaannya dalam dunia kesenian. Lebih dari 100 karya yang lahir dari laboratorium penciptaan kelompok ini telah di pertunjukan di tengah masyarakat. “Penjelajahan Seni Tanpa Batas dari terlembut sampai terkasar, dari radikal bahkan brutal jika itu diperlukan untuk pewujudan karya seni yang maksimal” adalah kalimat dan bahasa yang lahir dari sikap kreatifitas kelompok ini. Teater Cassanova meyakini bahwa setiap tempat adalah panggung dan juga memainkan pertunjukan di sana, mulai dari yang konvensional sampai yang temporer sekalipun, seperti jalan raya, kebun, ladang, toko buku, garasi, dll. Cassanova berpikir bahwa Teater bukanlah semangat hanya untuk menjadi imagy ideal atau dengan membayangkannya saja maka dunia bisa berubah, akan tetapi dibutuhkan tubuh dan idea melalui proses pergulatan dan dialektika secara bertahap. Oleh karena itu proses kreatif di teater perlu tumbuh dari persentuhan emosional juga ide kreatif yang multi-bahasa, multi-dimensi, dan multi-kultural komunal. Teater Cassanova adalah pekerja dan bekerja untuk profesi. Cassanova adalah Teater Pekerja yang bekerja dalam kontinuitas.

Dari profil singkat tersebut (versi lengkap profilnya bisa dilihat di: http://teatercassanova.blogspot.com/), saya mendapatkan gambaran bagaimana Teater Cassanova mempunyai keyakinan dari kepentingan jalan seninya. Kita harus melihat kepentingan ini, sebab kalau tidak seni dapat dengan mudah dikooptasi kepentingan-kepentingan lain. Termasuk melihat dalam ‘penjelajahan’ dari visi teater sebagai terapi sosialnya di intitusi pemerintah seperti RSJ JABAR dan khususnya di LAPAS Banceuy. Maka dari itu, sebelum jauh saya berkesimpulan atau membuat pertanyaan baru sebagai ajakan untuk melakukan diskusi lebih lanjut, saya melakukan wawancara dengan Wail Irsyad (Ketua Teater Cassanova) dan Acep Taopikurohiman (Kepala Pembinaan LAPAS Banceuy).

Pertukaran di dalam ekonomi yang babak-belur
Karena saya akan coba menggunakan analisi ekonomi, saya perlu mengetahui apa yang di dapat demander (peminta/pengguna) yaitu LAPAS Banceuy dari visi teater sebagai terapi sosial Teater Cassanova. Menurut Acep, karena yang namanya LAPAS itu adalah Lembaga Permasyarakatan, bukan seperti dulu yang dimaksud penjara, orang dibikin jera. Jadi LAPAS ini bekerja dan mencari caranya agar bagaimana narapidana atau yang dimaksud warga binaan bisa berintegrasi dengan masyarakat.  Efek dominan yang dirasakan dari terapi sosial Teater Cassanova adalah tidak ada batasan bagi warga binaan berkreasi di dalam LAPAS. Misalnya, orang-orang yang sudah bermain teater sekarang sudah membuat komunitas tersendiri, dan yang umumnya bicarakan itu bukan narkoba tapi seni. Acep mengakui bahwa efeknya sangat luar biasa bagi warga binaan. Jadi memang kalau misalnya kita melihat apakah ada intervesi dari pemerintah dalam bentuk kebijakan untuk mengatur jalannya bidang seni tertentu secara ekonomi, kasus di sini tampaknya perlu dilihat bahwa yang mengatur itu adalah pihak ‘peminta/pengguna’ sendiri. Tapi apakah warga binaan bisa termasuk? Saya hanya coba melihat terlebih dahulu kasus ini sebagai kasus instansi, jadi kalau memang mau melihat warga binaan sebagai pengguna kita harus membacanya dalam konteks bagian dari sistem instansi tersebut. Siapa yang begitu dominan di dalam sistem tersebut? apakah pengurus LAPAS atau warga binaan? Sepertinya tidak cukup bagi saya barang 3-4 kali keluar masuk LAPAS Banceuy.



Dari pengakuan Acep tersebut, kita bisa melihat bahwa memang proses teater sebagai terapi sosial Teater Cassanova selama di LAPAS Banceuy mempunyai efek di mata ‘peminta/pengguna’. Namun, siapa yang lebih diuntungkan secara ekonomi? Ketika ditanyai mengenai pandangan Teater Cassanova di dalam aktivitas artistik dan ekonomi terutama karena melibatkan dua intansi pemerintah, Wail menjelaskan bahwa awalnya Teater Cassanova hanya punya visi untuk keluar dari cara berkarya dan pentas-pentasnya. Teater Cassanova  ingin mengujicoba dan membuktikan sejauh mana ilmu teater berfungsi bagi publik tertentu, bukan sebagai penonton tapi sebagai pelaku artistik. Wail menyebutnya sebagai pembinaan, bukan sebagai ‘proyek’. Namun, ketika nanti ada efek pada wilayah ekonomi, itu adalah yang seharusnya. Teater Cassanova tidak akan menolaknya sebab itu malah bisa sangat membantu untuk pemenuhan kebutuhan personal anggotaannya. Jadi setiap anggota Teater Cassanova tidak lagi harus merelakan kenikmatan proses di dalam LAPAS karena harus mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan personal, baik untuk pemenuhan kebutuhan ongkos kehidupan keluarganya atau dirinya sendiri. Apalagi jika visi ini menjadi program dan diatur dalam kebijakan instansi tersebut. Seturut pengakuannya, efek ekonomi dinilai belum terasa, bahkan belum ada, selain salah satu anggotanya (Basyir Anugrah) sebagai alumni LAPAS dilibatkan di divisi pembinaan minat dan bakat warga binaan.

Keterangan Wail dibenaran oleh Acep. Sesuai penjelasannya, meskipun pembinaan ini dilaksanakan karena bisa sesuai aturan dan kebijakan pembinaan mengenai pengembangan bakat minat di dalam LAPAS, memang belum ada penghargaan secara ekonomi, dengan alasan karena pada awalnya Teater Cassanova lebih bersifat sosial, bersifat kemanusian, maka pihak LAPAS hanya baru bisa membantu akses, ruang, SDM, dan pendanaan swadaya dari beberapa pihak untuk urusan produksi saja. Acep mengakui bahwa pihak LAPAS Banceuy juga sampai babak-belur untuk memenuhi urusan produksi tersebut. Jadi, untuk memberikan penghargaan atau seperti yang dimaksud Wail sebagai efek ekonomi, pihak LAPAS belum mampu. Namun menurutnya, pihak LAPAS Banceuy sedang bersemangat merencanakan program tahun 2014 – kalau memungkinkan – untuk mengadakan semacam cabang sekolah ataupun kuliah Jurusan Teater di dalam LAPAS, dengan membuat MOU dengan pihak STSI, dan DIKNAS. Karena menurutnya di LAPAS lain bisa, jadi semua biaya bisa ditanggung oleh DIKNAS. Perencanaan tersebut menurutnya adalah hasil pentunjuk KALAPAS juga, banyak CSR-CSR yang masuk ke LAPAS, perusahan-perusahan swasta, bank, yang ingin dan siap mengeluarkan dananya untuk kegiatan LAPAS Banceuy. Dan pertemuan LAPAS yang sudah beberapa kali dengan pihak STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Bandung dengan Kalapas, menurutnya perlu dimanfaatkan, dieratkan dan diteruskan. Jadi dengan perencanan dan kemungkinan-kemungkinan tersebut, pihak LAPAS menurut Acep akan terus membuka seluas-luasnya bagi siapapun yang ingin membantu, tapi karena Teater Cassnova yang lebih dulu, LAPAS juga akan perjuangkannya lebih dulu juga.

Melalui penjelasan Acep tersebut, saya kemudian mendapatkan jawaban atas pertanyaan dan harapan Wail ketika saya menyampaikan asumsi bahwa ada hal yang bisa membuat  Teater Cassanova bertahan, meskipun efek atau dalam istilah saya adalah keuntungan ekonomi belum dirasakan. Bahkan beberapa anggotanya mengharuskan diri meninggalkan proses di dalam Banceuy beberapa waktu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wail membenarkan, dengan mengatakan bahwa yang membuat mereka bertahan adalah kepuasan dari kerja kesenian yang tidak bisa dibayar secara sejajar dengan jumlah tertentu. Tapi meskipun begitu Teater Cassanova cepat-atau lambat akan memperjuangkannya, tapi apakah pihak LAPAS akan memperjuangkannya juga? Itulah yang menjadi harapan Teater Cassanova. Karena dengan sama-sama memperjuangkan, Teater Cassanova akan lebih diringankan. Dan sekali lagi menurutnya, ini bukan urusan uang, ini urusan memperjuangkan seni, dan bukan pula Teater Cassanova. Perjuangan itu minimal sampai seni bisa hidup di LAPAS Banceuy. Tapi karena LAPAS mempunyai sistem, milik negara, bukan milik perseorangan, Wail menyadari perjuangan ini bakal lama dan tidak mudah. Tapi sejauh ini menurutnya respon spontan mereka cukup bagus seperti mendanai, mempermudah akses, membebaskan tema, tidak mengharuskan ini-itu dll, meskipun Wail sendiri tidak cukup tahu apakah respon bagus itu karena memang Teater Cassanova memang dibutuhkan atau karena belum mempunyai kesepakatan resmi dengan LAPAS Banceuy.



STSI..STSI..STSI..STSI,  di manakah engkau ketika banyak orang menyebut namamu?
STSI, nama itu beberapa kali disebutkan bahkan disanjung di sela-sela uraian sambutan kepala-kepala instansi yang bekerja sama dengan Teater Cassanova setelah pertunjukan teater HUMAN/VIRUS berlangsung di Aula LAPAS Banceuy. Hal itu begitu menjagalkan menurut saya, sebab meskipun beberapa di antara yang datang pada acara pementasan beberapa berasal dari STSI, tapi semuanya itu tidak mengatasnamakan STSI (mungkin tidak juga bagi yang merasa begitu), apalagi nama Teater Cassanova munkin hanya disebut beberapakali saja. Saya kurang paham kenapa  Teater Cassanova tidak  untuk memberikan sambutan di peristiwa yang menurut saya penting itu. Penting, karena Teater Cassanova bisa menyampaikan pandangannya selama ini sebagai yang memposisikan teater di dalam LAPAS ataupun RSJ baik secara artistik maupun sosial. Tapi memang nama STSI  yang malah sering disebut-sebut.

Saya jadi teringat ketika  mendengarkan keterangan Wail, bahwa LAPAS bisa sampai pada tidak mendikte kerja mereka dengan warga binaan dan menyerahkan bentuk serta wilayah eksplorasi apapun karena Teater Casssnova sebagian besar adalah lulusan pendidikan seni. Tapi apakah sebagai lulusan atau almuni sebuah pendidikan seni itu hanya sekedar modal simbolik atau bagian dari fakta budaya bahwa pendidikan seni telah memperkuat strategi dan langkah-langkahnya agar bisa memenuhi kebutuhan populasi masyarakat yang lebih umum atau lebih khusus juga? Wail mengakui bahwa memang ada perbedaan antara orang yang belum pernah pendidikan seni dan sudah pendidikan seni dalam menangani penanganan teknis. Tapi menurutnya mental negara/masyarakat mempunyai kesimpulan bahwa orang yang di sekolahkan di bidang tertentu adalah orang yang akan menjadi pakarnya, dan itu tidak cukup. Pengalaman Teater Cassanova yang sebagian besar pernah mengenyam pendidikan seni itu tidak cukup menjadikan mereka luwas dan lugas ketika awal berhadapan dengan wargabinaan LAPAS: “Kami sering terggangu dengan imaji kita masing-masing tentang narapidana dan orang-orang yang ada di RSJ, Tapi setelah beberapa kali melakukakannya pola itu akan tampak, mereka itu tertekan semua, bagaimana kolaborasi dengan keadaan tertekan? Ya kami memulai dengan persahabatan, ngobrol, sehingga tau batas-batas konsentrasi mereka di lapas ketika latihan dan aturan di LAPAS.”

Argumentasi dan pengakuan Wail di atas menurut saya sudah bisa dipastikan, bahwa memang belum ada langkah dan strategi penting yang diambil sejauh ini oleh pendidikan seni dalam memenuhi populasi masyarakat yang lebih umum atau lebih khusus seperti di LAPAS atau di RSJ. Jadi sangat sukar untuk melihat maju-mundurnya ekonomi yang punya kaitannya dengan pendidikan seni. Sebab memang kurikulumnya tidak dipersiapkan, apalagi penggunanya. Acep juga menjelaskan bahwa LAPAS sebagai pihak penggunapun sebenarnya tidak menjadi soal kalaupun Teater Cassanova bukan mayoritas lulusan pendidikan seni: “Bisa saja, gak jadi masalah, siapapun yang mau membantu program pembinaan kita disini baik yang punya basic pendidikan atau tidak, yang penting ada nilai kemanusiannya di situ.”  Pada di titik ini saya dihadapkan pertanyaan, kalau memang bukan karena pendidikan seni, mengapa pihak LAPAS terus menyebutkan dan malah memprogramkan suatu kebijakan yang berhubungan dengan STSI? Sementara Teater Cassanova kurang lebih percaya pada hal itu, dan malah mereka gunakan untuk membuat kepercayaan awal kepada pihak LAPAS. Apakah ini semua tentang seni? Demi seni? Seni yang hidup di dalam LAPAS seperti harapan Teater Cassanova?



Kalau memang semua mengatas-namakan seni, jadi, adakah yang diuntungkan dan dirugikan dalam pertukaran atas nama seni ini? Ini dunia pertukaran yang macam apa? Kita melihat bahwa dalam perspektif ekonomi baik Teater cassanova dan pihak LAPAS mengakui  – dalam bahasa Acep – sampai ‘babak belur’ untuk memenuhi kebutuhan pendanaan. Kalau Teater Cassanova misalnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, dan pihak LAPAS untuk kebutuhan produksi kegiatan. Dua-duanya sama-sama 'merugi' secara ekonomi, tapi karena atas nama seni itu dua-duanya bisa bertahan. Bagian ini adalah sebuah kondisi yang dimaksud Hans Abbing  (dalam buku Why Are Artists Poor?, Amsterdam University Press, Amsterdam, 2002.) di mana adanya penolakan ekonomi dari kecenderungan untuk menganggap seniman adalah orang yang tanpa pamrih, dalam bahasa Acep: membantu, mempunyai nilai kemanusian, dan bukankah hal ini pun dibenarkan oleh Teater Cassanova? Ini menjadi ironis karena bagaimanapun Teater Cassanova sadar akan kebutuhan sehari-hari dan beberapa orang anggotanya malah  harus mencari pekerjaan lain. Jadi saya melihat di sini bahwa efek ekonomi yang akan Wail dan teman-teman Teater Cassanova-nya  perjuangkan seharusnya dijadikan sebagai creative income, yaitu pendapatan seniman yang berasal dari inti praktek artistik dalam menciptakan  karya seni original atau pertunjukan original (Throsby, Arts Education Dari The Economics of Cultural Policy, Cambridge University Press, New York, 2010).  Hal ini dilakukan untuk membaca kembali bahwa baik argumentasi maupun penjelasan dari Wail dan Acep merupakan kasus struktural dan harus bisa diperjuangkan secara struktural. Toh pihak LAPAS yang ‘babak-belur’ mendanai itu juga berfikir secara struktural mengenai pembinaan minat dan bakat seninya dengan merencanakan menghubungkan LAPAS Banceuy, DIKNAS, CSR-CSR, dan STSI (yang sering di sebut-sebut itu).

Menjadikan visi terapi sosial teater untuk warga binaan LAPAS Banceuy sebagai creative income oleh Teater Cassanova adalah salah satu strategi untuk mengubah atau bahkan menyingkirkan  kepentingan-kepentingan lain yang mengatas-namakan seni dan memanfaatkan pandangan yang terus menganggap seniman itu tanpa pamrih jadi bisa bertahan dengan kepuasan artistiknya, menjadi urusan struktural yang harus diperjuangkan bersama, termasuk STSI yang bisa dibilang gaib itu, kenapa? Karena memang harus, sudah tidak ada alasan lagi melihat keuntungan yang di dapat bagi institusi ini. Padahal sebagai lembaga pendidikan (struktural) seharusnya STSI mampu menunjukan langkah-langkahnya agar seni bisa dirasakan oleh populasi yang lebih khusus seperti di LAPAS Banceuy atau RSJ. Sebab manfaatnya memang sudah terasa, seperti apa yang dirasakan warga binaan LAPAS Banceuy. Dan Teater Cassanova adalah salah satu yang bisa memenuhi kebutuhan itu, bukan STSI Bandung.





Jadi walaupun secara historis lembaga pemerintah dan lembaga lain yang disebutkan Acep merupakan ranah antagonisme seniman, tapi mau tidak mau setiap unsur itu harus mengartikulasikan yang sama, yaitu kepentingan seni. Apakah terapi sosialnya berhasil atau tidak, nampaknya perlu ada kajian tersendiri mengenai itu. Terutama Teater Cassanova sedang berhadap-hadapan dan bersisian dengan yang kita anggap minoritas, tanpa kehati-hatian bukan tidak mungkin meskipun sangat dibebaskan oleh pihak LAPAS Banceuy lewat teater hanya membuatnya makin menjadi minoritas. Sebab di luaran atau di dalam LAPAS urusan sosial sebagai subjek tidak lebih sama kuatnya, bahkan lebih sublim daripada dengan penghargaan, pengakuan sosial dari pengalaman artistik mereka. Tapi kita memang sepertinya harus melihat kasus ini sebagai urusan waktu. Karena kita melihat baik Teater Cassanova ataupun LAPAS Banceuy sama-sama sedang mengharapkan dan merencanakan kerja masing-masing. Tapi apakah akan bertemu? Atau semuanya akan terbentur batas-batasnya masing-masing, yaitu batas-batas ekonomi yang belum bisa didefinisikan dan batas-batas yang akan didefinisikan, direncanakan oleh LAPAS Banceuy? Bagaiamana pun, Teater Cassanova harus memposisikan diri secara lebih politis dalam kasus ini, sebab kalau tidak seni akan tertahan di keseolah-olahan tanpa batas saja. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka