Langsung ke konten utama

Mencari Peran di Kebohongan Peristiwa

20 Februari 2011 pukul 14:36

https://agusnoorfiles.wordpress.com/tag/monolog-kucing/

Oleh Taufik Darwis*

Melalui sokongan dari salah satu produk roko baru, Butet Kartarejasa memiliki kesempatan menjajaki keaktoranya di beberapa kota di Pulau Jawa. Saya menyaksikannya di Bandung, 12 Februari 2010 di Taman Budaya Jawa Barat. Butet  menggunakan naskah “Kucing” Putu Wijaya sebagai medium pengejawantahan keaktoranya. Seperti yang dikatakanya dalam diskusi di STSI Bandung sehari sebelum pelaksanaan pementasanya, bahwa Butet hendak merubah citranya sebagai aktor  yang selalu mengeluarkan statement politis pada teater kritiknya dengan mengadopsi bentuk suara, gestikulasi para tokoh-tokoh di ranah politik yang kita kenal di media massa. Butet melalui naskah “Kucing” yang di tulis ulang oleh Agus Noor ini ingin mencoba menubuhi  kembali tokoh-tokoh sederhana dari kondisi kemiskinan Indonesia, di mana sehari-harinya tokoh-tokoh tersebut beradu pada persoalan hari ini makan atau tidak ? lauk-pauknya apa? menanggapi obrolan tentangga? Dan apa pun yang  jauh dari persoalan rumah-rumah besar yang mengalami penjarakan komunikasi antar manusianya.

Tapi malam itu dipanggung, entah karena mengikuti karakter ruang Taman Budaya yang memiliki lebar panggung luas dan memilah peristiwa penonton dan tontonan secara tegas, penata panggung Feri Ludiyanto dan tim-nya sepertinya mencoba memaksimalkan lebar panggung tanpa membaca kepentingan kontekstual dalam naskah “Kucing” ini, di mana kesederhanaan mungkin menjadi sangat sederhana sekali, seperti peng-katagorisasian yang dibuat pemerintah. Tidak mungkin untuk mengangkat kepentingan kontekstual itu hanya menggunakan box-box persegi panjang yang kusam sebagai lantai rumahnya.

Rumah yang tidak memiliki kepentingan kontekstual itu akhirnya tidak hanya jadi menjadi model, ketika cahaya dari penataan Dwi Novi Anto, bunyi dari penataan Djaduk Ferianto dan tubuh Butet itu hadir mengisi pentas. Bunyi-bunyian yang ditata Djaduk terdengar mengisi seluruh ruang Taman Budaya dengan intensitas volume suara yang berbeda-beda. Pencahayaan pun ditata sangat sederhana sebagai penanda waktu dan pergantian adegan saja. Butet yang entah memerankan tokoh sederhana yang bernama siapa, yang begitu cepat dan tangkas berubah ruang dan peran menjadi Ibu dan Pak RT mempercayai pengeras suara sebagai media pengejawantahan peristiwa dari masalah sederhana naskah “Kucing”, yakni tentang seseorang yang kesal, memukuli kucing tetangganya, ketika hubungan dengan istrinya tidak harmonis. Tapi seseorang itu tidak merasa bersalah, karena kucing itu telah mencuri dan memakan pindang bandeng miliknya.

http://www.kaskus.co.id/thread/5142c6b01c7608e359000007/bpln-lounge--its-a-trap/226


Pengeras suara itu seolah-olah ingin mengimbangi bunyi-bunyi penataan Djaduk yang meruang. Tapi kemudian alat pengeras suara itu mengambil detail psikologis yang dialami Butet ketika menjelmakan tokoh-tokoh dari kisah sederhana itu. Saya malah tidak melihat Butet menjadi siapa-siapa ketika mengucapkan kata-kata dengan membalikan tubuhnya dari tatapan penonton. Gerakan-gerakan mulut yang mengucapkan itu tidak terlihat, yang terdengarah adalah kata-kata yang dikeluarkan pengeras suara, yang berusaha mengambil alih peristiwa di panggung.

Kalau memang persoalan Kucing ini dipercayai bisa membuka watak para tokoh dalam kisah ini, lalu membuka soal kemanusian dan seluruh persoalannya sebagai kekayaan nilai dari kisah sederhana, maka niscaya adegan-adegan harus dibangun melalui kebenaran peristiwa. Bukan melaui pengeras suara dan penubuhan dari pergantian peran yang tidak memiliki keputusan  pasti, melalui tubuh aktor atau tubuh dari mobil-mobilan ketika menjadi anak kecil. Karena meskipun judul “Kucing” itu netral sebagai bahasa, artinya tidak menujukan pada perkara aktual tertentu dan sangat memungkinkan bagi tericiptanya otonomi seni peran seperti apa yang dikatakan Butet pada buku pengantar pertunjukannya. Juga sepatutnya Butet menjadikan tubuhnya juga otonom dari benda-benda yang tidak memiliki kepentingan hadir di dalam peristiwa sederhana itu.

Dalam masalah ini, Whani Darmawan sebagai sutradara selain berusaha memecahstereotype laku Butet yang diindustrialisasikan oleh televisi dan direpetisi melalui produksi Teater Gandrik yang menjadikanya nyaris selalu menjadi peran utama, perlu juga percaya dan ikhlas pada kesederhanaan tubuh Butet yang tanpa pengeras suara, juga pada kemenjadianya menjadi tiga tokoh yang hadir di peristiwa yang merepotkan akibat kucing ini. Jadi menghadirkan mobil-mobilan, baju-baju yang digantung, suara elektronik dari tangan butet yang mengetuk-ngetuk kaca, itu hanya penghaburan peristiwa dan benda.

Begitulah, “kesederhanaan” dalam pengalaman menonton teater ini sepertinya begitu menjadi hal yang sukar. Mungkin karena kekayaan sponsorsif, kekayaan konsepsi para individu yang berada dalam kerja lingkungan kerjanya, mungkin karena juga anggapan bahwa peristiwa Butet memilih lakon sederhana adalah sebuah berita potensial seperti pemberitaan infotainment bagi para pelaku teater lain, atau penonton yang sering melihatnya di televisi sebagai “Sang Sentilun”. Bila Butet yakin bahwa berteater adalah menemukan keyakinan dan kebahagian, yakinlah dan berhenti ‘berbohong’ pada ‘kesederhanaan’ yang intim antara kekayaan tubuh yang sederhana dan rumah yang dirindukanya, teater.***




Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka