Langsung ke konten utama

Geliat Tubuh Remaja (KHAZANAH_ Minggu, 12 Desember 2010)

12 Desember 2010 

Salahsatu adegan "Rumah Bahagia (Teater Cermin SMAN 6 Cimahi) dalam Festival Teater Remaja II SMA/sederajat se-Jawa Barat 2010 yang diselenggarakan Keluarga Teater STSI Bandung dan G-Art Organizer di Gedung Kesenian Sunan Ambu STSI Bandung.* Taufik Darwis

Salahsatu adegan "Rumah Bahagia (Teater Cermin SMAN 6 Cimahi) dalam Festival Teater Remaja II SMA/sederajat se-Jawa Barat 2010 yang diselenggarakan Keluarga Teater STSI Bandung dan G-Art Organizer di Gedung Kesenian Sunan Ambu STSI Bandung.

Oleh: Taufik Darwis

REMAJA, sebagai sebuah fase ketubuhan manusia merupakan suatu entitas dengan energi berlimpah sekaligus rentan. Fenomena berandal bermotor yang pelakunya mayoritas remaja SMP-SMA di kota-kota besar adalah salah satu contoh bagaimana keberlimpahan tubuh itu mengaktualisasikan diri dalam medan eksteriorisasinya. Berbeda dengan para remaja dalam Festival Teater Remaja II SMA/sederajat se-Jawa Barat 2010 yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Teater STSI Bandung dan G-Art Organizer, mereka memilih lain.

Sebanyak dua puluh teater sekolah menengah Jawa Barat (KotaBandung, Kabupaten Bandung, Cirebon, Garut, Subang, Sukabumi, Bogor, dan Purwakarta) dalam waktu seminggu (29 November-5 Desember 2010) mendapatkan giliran mengaktualisasikan tubuhnya dalam peristiwa teater di panggung Gedung Kesenian Sunan Ambu STSI Bandung. Panitia festival mengikat peserta dengan tema "Menancapkan Eksistensi, Menuju Kemandirian", sekaligus dibebaskan dalam pemilihan naskah dan bentuk pertunjukannya.

Teater medium pokoknya adalah tubuh. Teater menghendaki pengalaman langsung dari dan membawa perubahan kontinu pelakunya, dari tubuh keseharian ke tubuh peran di peristiwa panggung. Jika kini peristiwa teater adalah juga peristiwa dari kerja pemikiran, sebagai bentuk sikap berkarya orang dewasa, Festival Teater Remaja ini akan sama sekali menjadi kondisi lain bagi para remaja yang mengikutinya. Kecuali para remaja yang memilih teater sudah mengimaninya sebagai sikap, bahwa teater merupakan kerja pelampauan terhadap lingkungan dan dirinya sendiri. Kondisi yang sama sekali lain ini juga bisa diperparah oleh kerja pelatihan-pelatihan di sekolahnya yang belum selesai pada tingkat elementer (vokal, diksi, pemahaman teks, dan sebagainya).

Konsekuensi ini terjadi pada mayoritas peserta yang membawa naskah lakon realis karya sendiri ataupun dramawan yang menjadi pendahulunya seperti Utuy Tatang Sontani dan Kirdjomulyo. Selain di balik usaha pergeseran mereka dari kerja pertunjukan yang umum diistilahkan "kabaret" oleh SMA di Bandung ke pertunjukan drama eksistensial seperti Utuy yang membutuhkan pengetahuan psikologis, bahasa, dan bahkan sejarah, kelompok teater sekolah menengah ini belum bisa mewujudkan fakta objektif dari naskah yang mereka pilih, atau setidaknya sebagai strategi pragmatisnya untuk memenangi kompetisi festival yang dilombakan ini.

Persepsi artistik mereka sebatas mempertontonkan saja karena tanpa disokong oleh pengetahuan yang diperoleh dari proses observasi (terlibat, empati-simpati, kontemplasi, visi, inspirasi), yang setidaknya akan membuat akting mereka tidak melulu menghadap penonton terus, menangis termehek-mehek ketika sedih, atau memperdengarkan musik atau bunyi yang tidak signifikan bagi pengucapan peristiwa, ruang, dan waktu yang tersirat dalam naskah.

Konsekuensi lain dari usaha pembebasan pemilihan naskah adalah para peserta tergoda untuk mempresentasikan pertunjukan yang semata-mata aneh dan "gelap". Kecenderungan seperti itu tampak di pertunjukan "Bencana Peringatan atau Azab" (Teater Ikan Teri SMA PGII 2 Bandung), "Gilagugila" (Teater Kumis SMAN 1 Banjaran) dan "Hitam Putih" (Teater Tambang SMA Bina Muda). Pemakaian bahasa metaforis, lampu yang dominan warna merah atau warna-warna redup, tempo yang monoton selama pertunjukan, dan gerak-gerak teaterikal ala demonstrasi memaksa energi berlimpah dari tubuh mereka terepresi. Padahal, beberapa aktor yang terlibat memiliki potensi dan intensitas untuk mengalami transformasi perannya, dari tubuh remaja menjadi tubuh peran yang dimainkannya.

Ada beberapa kecenderungan strategis yang ditawarkan oleh beberapa pertunjukan seperti "Sangkuriang" (Teater Tasbe Baleendah) dan "Babad Tanah Daha" (Teater Rupa SMKN 14 Bandung) yang memaksimalkan komposisi dari panggung kosong, konfigurasi gerak kolosal, koor, elemen-elemen rupa dari kostum atau rias. Akan tetapi, sekali lagi bahwa naskah-naskah yang mereka pilih adalah naskah yang memiliki tokoh-tokoh yang membutuhkan karakterisasi dan eksplorasi pemeranan. Tanpa ada kerja karakterisasi individu, pertunjukan hanya akan menjadi kerja pembentukan sutradara yang juga adalah guru atau pelatih teaternya di sekolah.

Berbeda dengan "Rama vs Rahwana" (Teater Gading SMAN 1 Leuwiliang Bogor ), "Rumah Bahagia" (Teater 13 Senja SMAN 6 Cimahi), "Berdiri Menentang Badai" (Teater Senapati SMA Pasundan 3 Bandung), dan "Opera Julini" (Teater Citra SMAN 3 Subang) yang juga memiliki kecenderungan di atas, mereka tetap memaksimalkan kerja karakterisasi dan eksplorasi pemeranan pada aktor-aktornya. Tak heran beberapa nominasi aktor laki-laki atau perempuan terbaik kebanyakan muncul dari kelompok teater tesebut.

Perlu ada kepekaan dari pelatih atau pembina teater sekolah yang memahami bahwa pelaku teater yang berkerja dengannya adalah remaja, yang juga mempunyai realitas pengalamannya sendiri. "Jampe-Jampe Harupat" (Teater Cermin SMAN 1 Cicurug Sukabumi) adalah contoh terdekat bagaimana pembacaan itu terjadi. Pertunjukan "Jampe-Jampe Harupat" Teater Cermin adalah pertunjukan yang nyaris tanpa usaha pelampauan karakterisasi.

Dengan memilih permainan anak-anak tradisional sebagai konsep dasar visualisasi dan pengucapan tematiknya, penonton diajak untuk melihat gambar dari anak-anak desa sekarang (yang kemungkinan terjadi di Cicurug sendiri). Anak-anak yang mengalami sejumlah problem lingkungan, dari sebagai anggota dari masyarakat komunal, ke personal, sebagaimana direpresentasikan lewat benda-benda signifikan yang familiar dalam permainan anak-anak tradisional (langlayangan, engrang, congkak, ucang angge) yang dimainkan dengan energik kurang lebih setengah pertunjukan oleh tubuh yang juga mengalami fenomena tersebut, tetapi permainan yang energik itu berubah menjadi permainan modern (video game, pistol mainan dari plastik, motor-motoran plastik) yang lebih mengundang konflik, kepasifan anak-anak sebagai tubuh yang perlu tumbuh.

Dalam bentuk kemasan artistik lain, pengucapan tematik dan konklusi yang final ditampilkan di akhir pertunjukan oleh tubuh anak-anak dan orang tua yang telinganya tertutup headphone dengan mendengarkan musik dugem dan tubuh anak-anak yang menjelma sebagai robot, kepala mereka adalah sebuah kotak mengkilap. Tak heran para dewan juri memutuskan pertunjukan ini sebagai pertunjukan terbaik.

Pada acara penutupan, para dewan juri (Irwan Jamal, S.Sn., Yusef Muldiyana, Joko Kurnain, S.Sn., M.Sn.) memutuskan bahwa Pertunjukan Terbaik ke-1 diraih oleh "Jampe-Jampe Harupat" (Teater Cermin SMAN 1 Cicurug, Sukabumi), Pertunjukan Terbaik ke-2 diraih oleh "Berdiri Menentang Badai" (Teater Senapati SMA Pasundan 3 Bandung), dan Pertunjukan Terbaik ke-3 diraih oleh "Sangkuriang" (Teater Tasbe SMAN 1 Baleendah. Akan tetapi, lebih dari sekadar kompetisi, festival ini selayaknya menjadi ruang berproses bersama, yakni komunikasi yang produktif para remaja sebagai persiapan, pemusatan, pengeraman, pencerahan untuk menemukan dan menguji pilihannya sebagai seorang pemain teater dengan menangkap dan menggali fenomena yang terjadi pada tubuhnya sendiri. Dengan demikian, teater ada dalam proses regenerasi dan perkembangan yang konstruktif.

Tentu saja proses ini memerlukan konsistensi semua pihak yang ada dalam infrastruktur teater, terlebih panitia pelaksana festival, akademisi teater, sekolah, dinas kebudayaan, bahkan orang tua. Karena tanpa keterlibatan dan dukungan yang konsisten, jalan raya, wacana, ideologi, dan benda-benda hasil rekayasa manusia akan mengambil peran yang akan mengimpit dan mengancam proses koherensi diri dan integrasi total tubuhnya. Lalu, tampaklah wajah teater Indonesia yang semakin mengeriput.***





Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka