Langsung ke konten utama

coretancatatan KEBIJAKAN-KEBIJAKAN tentang K E R A G A M A N B U D A Y A

26 Desember 2013 pukul 16:45
Istilah multikulturalisme, pluralisme, interculturality, dll, semua ide tentang keragaman budaya memiliki konotasi yang berbeda bagi setiap orang (yang berbeda juga). Bisa menjadi sumber konflik dan kekerasan, tapi juga bisa mejadi sebuah jalan untuk mencapai  dialog yang lebih besar, saling pengertian dan kreativitas. Lewat kepentingan internasional,cultural diversity  menjadi berharga. Bagaimana bisa? Dalam istilah (terminologi) ekonomi,cultural diversity dapat dianggap sebagai unsur modal budaya, yaitu  it is an intangible asset that gives rise to a flow of valued services. Modal budaya sejajar dengan modal alam, dan beberapa tahun terakhir keragaman budaya telah semakin dibandingkan dengan diferensiasi luas yang bisa diamati di dalam alam. Misalnya keanekaragman hayati.



Keragaman hayati bernilai untuk kepentingan diri sendiri: berbagai budaya dan ekspresi budaya yang dianggap penting per-se , dan sejauh memiliki kualitas yang dihargai sebagai bagian dari ' mosaik manusia ‘. Sumber-sumber dari nilai , dalam hal ekonomi , adalah barang publik yang berasal dari nilai keberadaan keragaman dalam pertanyaan: orang memperoleh manfaat dari pengetahuan bahwa keragaman hayati dan keragaman budaya dengan segala kekayaannya  hanya ada di sana.

Tidak ada spesies ada/hadir di isolasi, juga tidak budaya. Jika spesies terisolasi satu sama lain, mereka akan mandek dan mati. Relasi antara biologi dan budaya harus dihargai, kalau tidak keragaman akan berkurang.
alam dan ‘ekosistem’ budaya diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi: people are not automatons working in a vacuum, and they cannot be economically productive if their cultural infrastructure breaks down. keragaman hayati dihargai karena beberapa spesies mungkin memiliki nilai ekonomi yang belum diakui. Manifestasi budaya tertentu mungkin memiliki kedua nilai ekonomi dan nilai budaya yang belum jelas.  Oleh karena itu keragaman budaya (cultural diversity) berharga karena membuat pilihan terbuka bagi masa depan.

Hingga akhirnya keragaman hayati dihargai karena beberapa spesies mungkin memiliki nilai ekonomi yang belum diakui. Manifestasi budaya tertentu mungkin memiliki kedua nilai ekonomi dan nilai budaya yang belum jelas.  Oleh karena itu keragaman budaya (cultural diversity) berharga karena membuat pilihan terbuka bagi masa depan.

Pasca-Perang Dunia II, UNESCO telah memberikan fokus untuk diskusi keragaman budaya. Ini adalah empat fase evolusi pemahaman UNESCO:

  1. selama 1950-an dan 1960-an, kebijakan budaya sebagian besar berkaitan dengan seni, dan    pluralisme adalah hanya masalah di tingkat antar-negara
  2. fase selama periode Perang Dingin: menafsirkan budaya sebagai identitas.
  3. tahun 1970-an sampai 1990-an: menghubungkan budaya  dan pembangunan.
  4. gagasan keragaman budaya mencakup konsep dasar demokrasi dan hak asasi manusia

Aneka ragam makna dari setiap evolusi pemahaman tersebut telah melekat pada gagasan keragaman budaya, yang disebabkan konsenkuensi politik, budaya, ekonomi dan sosial.

Ada dua kecenderungan pendekatan dalam melihat keragaman budaya:
  1. melihat keragaman budaya dalam negara: menganggap individu sebagai yang memiliki potensi identitas dan karakteristik budaya heterogen yang bersama-sama akhirnya membangun  bentuk identitas negara/nasional atau identitas lainnya.
  2. Melihat keragaman budaya antar negara, yang menekankan pada dialog antarbudaya, pertukaran budaya, keadilan  dan partisipasi dalam ekonomi internasional, dan mengatasi berbagai ancaman homogenisasi budaya yang ditimbulkan oleh globalisasi
Pada akhir tahun 2001..tercapailah Universal Declaration on Cultural Diversity: dialog antarbudaya adalah jaminan terbaik bagi sebuah perdamaian, dan menolak proposisi bahwa 'benturan peradaban' adalah kondisi yang tak terelakkan  di dunia.

Keragaman budaya kemudian dapat didefinisikan dalam istilah berikut:
  1. Keragaman dipandang sebagai yang diwujudkan dalam 'keunikan dan pluralitas' dari identitas berbagai masyarakat dan kelompok, sebuah warisan bersama manusia.
  2. Promosi keragaman budaya dapat terjadi hanya ketika sesuai dengan penghormatan hak asasi manusia.
  3. Sifat khas barang budaya dan jasa seperti film, karya seni, program televisi, rekaman musik, dan sebagainya  sebagainya, harus diakui. Selain sebagai komoditas komersial, barang dan jasa ini memiliki peran penting sebagai pemasok pesan budaya.
  4. untuk mengaktifkan manfaat yang timbul dari keragaman budaya memiliki efek di seluruh dunia, kerjasama dan dialog internasional akan melibatkan lembaga-lembaga publik, sektor swasta dan masyarakat sipil. 

Visi dari Deklarasi itu tampak ideal tapi kenyataannya tidak terjadi demikian di tahun pertama atau dua dari milenium ketiga: Perang Dingin berakhir tapi terorisme meningkat, dan kekerasan dan intoleransi terus diingatkan kepada kita oleh media yang mempengaruhi masyarakat  sehari-hari di begitu banyak bagian dunia.
Waspada dengan kenyataan itu, negara anggota UNESCO   menyadari bahwa dibutuhkan sesuatu yang lebih dari sekedar deklarasi.

Hingga pada prosesnya, instrumen hukum internasional baru mengenai keragaman budaya secara resmi dimasukkan ke dalam paragraf pertama dari Action Plan sebagai lampiran untuk Universal Declaration.
Meskipun mendapat tekanan, akhirnya inilah definisi yang disepakati (Pasal 4, ayat 1) :

'Keragaman budaya' mengacu pada cara di mana bermacam-macam budaya kelompok dan masyarakat menemukan ekspresinya ... keragaman budaya yang dimanifestasikan tidak hanya melalui cara-cara yang bervariasi, di mana warisan budaya kemanusiaan  diungkapkan, ditambah dan ditularkan melalui berbagai budaya ekspresi, tetapi juga melalui beragam cara penciptaan artistik, produksi,  penyebarluasan, distribusi dan kenikmatan,  baik apapun sarana dan teknologi yang digunakan. 

Tujuan dan prinsip-prinsip yang tertuang dalam perjanjian jelas mengakui perbedaan antara nilai ekonomi dan nilai budaya dalam kaitannya dengan barang dan jasa budaya. Implikasi dari kebijakan itu adalah tersediannya kerangka kerja yang komprehensif bagi langkah-langkah kebijakan budaya tingkat nasional, dan lingkup internasional yang diarahkan untuk meningkatkan profil budaya dalam dunia di mana pembuatan kebijakan berdasarkan untuk  mendominasi melalui/dengan sedikit/secara sempit? memusatkan agenda ekonomi.

Di tingkat nasional, Konvensi menetapkan hak-hak berbagai pihak untuk mengadopsi langkah-langkah kebijakan dalam kaitannya dengan budaya (Pasal 6):
  1. kebijakan fiskal dan peraturan yang ditujukan untuk mendukung dan melindungi kegiatan seni dan budaya;
  2. langkah-langkah untuk mempromosikan pertukaran dan sirkulasi ide-ide secara bebas dan untuk merangsang kreativitas
  3. langkah-langkah untuk mendukung seniman, organisasi non-pemerintah dan institusi budaya publik, dan
  4. langkah-langkah untuk meningkatkan keragaman media.
Di tingkat internasional kebijakan budaya sejauh terdiidentifikasi dalam Cultural Diversity Convention meliputi:
  1. berbagi informasi antara negara-negara anggota yang berkaitan dengan pengalaman mereka dalam meimplementasikan kebijakan l) kebudayaan (pertemuan internasiona;
  2. promosi pertukaran budaya dan kemitraan;
  3. kerjasama internasional untuk memperkuat industri budaya di  "negara-negara berkembang" melalui peningkatan akses pasar, kolaborasi, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi, dan
  4. penyediaan dukungan keuangan untuk pengembangan budaya di Negara-negara Dunia Ketiga, khususnya melalui pembentukan Dana Internasional untuk keragaman Budaya, yg kemudian dikelola oleh  UNESCO. 
Keragaman budaya sebagai komponen khas kebijakan budaya yang memiliki sejumlah interaksi dengan kebijakan ekonomi di tingkat nasional dan internasional. Perjanjian (UNESCO) menentukan hak negara untuk merumuskan kebijakan untuk mendorong budaya kreatif  berekspresi dan untuk mempromosikan aspek-aspek positif dari keragaman budaya dalam konteks penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan. Konvensi ini memiliki tujuan implisit yaitu menggunakan budaya untuk mempromosikan perdamaian dan goodwill.

Tapi sampai saat ini visi perjanjian UNESCO mungkin tampak sebuah mimpi unrealisable. Maka Waspadalah. Terhadap Homogenisasi Kebudayaan Dominan baik atas nama universalitas atau tradisionalitas!





#Dari The Economics of Cultural Policy, David Throsby










Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka