Langsung ke konten utama

ESAI UNTUK PUISI ESAI

Oleh: Taufik Darwis

Berpengaruh atau tidak dari panjang-pendeknya sebuah teks, dapat dirasakan karena teks itu hadir di dunia, di kehidupan sehari-hari manusia. Dengan hadirnya teks itu di tengahtengah manusia, teks bisa menentukan nasib seseorang bahkan sebuah bangsa. Misalnya dalam arena sastra pascakolonial, seorang politikus, sejarawan sastrawan Inggris, Lord Thomas Babington Macaulay pernah membuat kalimat (dalam Minute on Indian Education, tahun 1835): “Seluruh sastra Arab dan Sansekerta ketika dikumpulkan tidak akan pernah sama nilainya dengan satu rak sastra kanon Barat”. Kalimat itu hadir dan mempunyai implikasi sangat kongkrit yang akhirnya memaksa sekian juta orang di seluruh India dan negara lain yang dijajah Inggris untuk mempelajari kanon sastra Inggris, bahasa Inggris, bukan sastra/budaya/teks mereka sendiri. Lewat pendidikan yang membentuk pandangan/opini, moral dan intelekualitas ala Inggriis, pribumi india akan dijadikan kelas terdidik dan secara politis dikontruksi untuk membela kepentingan Inggris di India. 




Pun di dalam kontestasi sejarah kesusastraan kolonial Indonesia/Hindia – meskipun mempunyai efek transkulturasi yang berbeda, terutama di dalam kontesk bahasa -, teks-teks sastra terbitan Balai Pustaka dengan gagasan monumental Rinkes (1910-1927): Distributive Aparatus yang selain mengawasi penerbitan pribumi, dia juga menggunakan tenaga pribumi serta melipat gandakan oplah penerbitanya dan menyediakan bacaan hingga ke perpustakaan di pelosok-pelosok desa dengan tujuan menanamkan kesadaran ‘budak’ secara halus (hegemoni). Proses bagaimana teks mempunyai pengaruh yang kongkrit dari dua contoh peristiwa historis-politis tersebut mengindikasikan bahwa teks tidak semata-mata hadir dengan sendirinya tapi melalui berbagai macam relasi kepentingan dan kekuasaan tertentu. 

Lalu apa hubungannya dengan kelahiran Puisi Esai yang mengundang polemik di awal tahun 2012 sampai saat ini? Sama, seperti bagaimana dua contoh teks di atas, kelahiran Puisi Esai sebagai teks dan dianggap sebagai ‘genre baru’ juga tidak terlepas dari berbagai relasi, yang tampak maupun bersembunyi. Dari yang tampak, teks Puisi Esai ini bisa dicari di dalam cyberspace. Dengan mengetik dan meng-klik kata “Puisi Esai” di Google pembaca yang penasaran ataupun pembaca yang purapura tidak penasaran – terutama setelah mendengar dari berbagai mulut – dapat menemukan berbagai macam situs (bisa sangat berlapis-lapis), yang selain mencantumkan kata “Puisi Esai” juga mendapatkan berbagai nama orang, lembaga atau peristiwa tertentu yang terkait. Berikut ini adalah beberapa daftar (nama orang, lembaga, dan peristiwa) ditemukan: Denny J.A (Inisiator), Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Ignas Kleden, Siti Musdah Mulia, Mahfud MD, Hanung Bramantiyo, Novriantoni Kahar, SBY, Yayasan Denny J.A, Peri Sandi Huizche, Benny Setia, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Suara Publik, Denny J.A_Wolrd, Pakta Integritas Partai Demokrat, Gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi, Liberalisme, Lomba Puisi Esai, Lomba Review Puisi Esai, Lomba Video Esai, Lomba Lukis Esai, Lomba Lagu Esai, Lomba Foto Esai dan lain-lain (lebih banyak). 

Relasi macam apa yang menghubungkan berbagai nama, lembaga, dan peristiwa tersebut, sehingga bisa ditemukan dengan relatif mudah di dalam cyberspace? Di sinilah letak relasi yang tidak kelihatan atau bersembunyi di dalam lahirnya ‘genre baru’ di dalam arena sastra ‘Indonesia’ dengan nama: Puisi Esai. Seperti yang tertera di daftar nama, ditemukan sebuah nama Denny J.A, sang inisiator, atau The King Maker, seorang konsultan politik seperti yang ditemukan di web-site pribadinya. Sebagai sang inisiator sekaligus fasilitator, Denny mengakui di dalam esainya Isu Diskriminasi dalam Puisi Esai (lihat di puisi-esai.com) bahwa dia bukan penyair dan tidak berpretensi menjadi penyair (menyebut dirinya sebagai penulis), tapi bagaimana kok bisa dia bisa menggagas atau bisa disebut melahirkan melahirkan “genre baru” dan menyebrang hingga akhirnya mempunyai posisi di arena sastra?. Lantas, mengapa Puisi Esai ini bisa hadir secara kongkrit, terlebih dengan munculnya apa yang dinamakan: penulis Puisi Esai? 

Karena meskipun dengan sangat tidak mau ambil pusing genre ini baru atau tidak, Denny menekankan dengan sangat tegas bahwa, “sebuah genre baru di dunia seni atau paradigma baru di dunia pemikiran hanya ditentukan oleh satu hukum sosial saja. Yaitu apakah hal baru itu diterima oleh sebuah komunitas? Itu cukup dengan melihat banyaknya pengikut atau pengarang yang mengulangi medium atau ekspresi baru itu”. Dengan kata lain, Denny sangat sadar bahwa teks itu biasanya punya implikasi dan diterima bila dapat mempengaruhi orang lain. Makanya dia mempengaruhi orang lain dan tidak ditutupi dengan berbagai macam lomba, khususnya lomba Puisi Esai dengan hadiah total Rp 50.000.000; berbagai komentar tokoh yang mempunyai posisi-posisi kharismatik di dalam arena sastra ‘Indonesia’; rekor-rekor MURI yang berhubungan dengan kwantitas seperti akun twitternya atau pengalihan bentuk puisi nya ke bentuk seni yang lain, dan yang terakhir Denny tidak banyak memposisikan Puisi Esai dan dirinyanya dalam arena pendidikansastra (fakultas-fakultas). 


Kenapa Denny tidak mencari posisi di arena pedidikan sastra, padahal di situ dia bisa meraih simbol kepenyairannya dan berkebudayaannya? Atau Denny merasa bahwa tokoh-tokoh sastra dan budaya yang tadi disebutkan sudah merepresentasikan arena pendidikan sastra itu sendiri? Karena kalau memang niatan Denny adalah untuk merealisasikan modal sosialnya, dia tidak perlu mengundang tokoh-tokoh tersebut untuk membicarakan Puisi Esai-nya. Ini artinya dia tetap membutuhkan legitimasi meskipun dia bersikukuh mengatakan, “di dunia seni, tak ada sejenis paus dalam agama Katolik yang punya otoritas menentukan ajaran mana yang benar dan salah”. Kenapa Denny membutuhkannya? Karena dia sadar bahwa sebuah genre itu adalah produk kolektif yang membutuhkan berbagai agen-agen, berkaitan dengan relasi-relasi berbagai realisasi modal yang berbeda-beda yang juga menghasilkan efek-efek berbeda, khususnya sosial, budaya dan simbolik (jangan meragukan modal ekonomi The King Maker). 

Untuk apa semua itu? Untuk pengayaan khazanah sastra Indonesia dengan Puisi Esai ? Tidak! Tidak, kalau hanya memaknai Puisi Esai pada diriya sendiri! Karena mungkin menurutnya itu tidak penting! Lalu apa? Sebagai langkah awal, mari kita baca, telisik lewat aturan lombanya secara inheren: tema ; Alur; Catatan kaki; dan Bahasa. Jadi, apakah Denny pandai menyembunyikan agenda seperti Rinkes? Atau lebih percaya diri dan berterus terang seperti Macaulay? Waspadalah! Waspadalah!*** 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka