Oleh Taufik Darwis
Kesadaran berjejaring atau membuat koalisi bukanlah hal yang baru di dalam kerja kesenian, khususnya teater. Fenomena lembaga donor kebudayaan-kesenian luarnegeri,kompetisi hibah,banyak nyalogo-logo di poster pertunjukan, dan berita pulang-pergi seniman atau komunitas teater dari dan ke luar negeri, dalam kurun transisi Orde Barusampai hari ini, semua itu menunjukan bahwa kredo “Kegagahan di Tengah Kemiskinan” Rendra atau “Bertolak Dari yang Ada” Putu Wijaya di Pertemuan Teater 80 sudah tidak terlalu relevan dalam konteks arena teaterhari ini. Kredo Rendra tersebut adalah respon bagi fenomena dramawan/teaterawan yang tidak berdaya di tengah kemiskinan, yang lalu membelas-kasihan dirinya dan merengek pada situasi serta mengemis pada pemerintah, dan menyebabkan dramawan tersebut mengompromikan kualitasnya. Apakah semua itu menandakan bahwa ada respon baru terhadap perubahan-pergeseran paradigma politik atau hanyasebatas respon terhadap ketidakmampuan membaca dan menjawab kemiskinan itusendiri? yang secara tegas Rendra menyebutkan: miskin penonton; miskin akankesempatan; miskin modal; miskin gedung; miskin kritikus; miskin penulis;miskin peralatan teknis; dan miskin seniman yang baik.
Fenomena lembaga donor di dalam produksi-produksi teater di beberapa kelompok teater memang bukan hal baru. Misalnya contoh yang paling kerap memberikan kompetisi dan kucuran dana-dananya adalah Yayasan Kelola[1]. Yayasan yang paling rajin sejak tahun 2001 memenuhi kebutuhan dana untuk seni pertunjukan meskipun sebagai lembaga kedua alias penyalur dana dari lembaga pertama seperti First State Investments Indonesia, HIVOS, The Asian CouncilCenter, The Asialink Centre - University of Melbourne, The Ford Foundation, UNESCO- Aschberg Bursaries, The Japan Foudantion, Japan Social Development Fund -World Bank, Biyan Wanaatmadja. Yayasan seperti Kelola dan lembaga-lembaga ‘besar’ di atas adalah pihak yang berhasil menelisik dan mengambil bagian secara tidak langsung dalam pembentukan habitus kelompok-kelompok teater dari mulai mereka berdiri. Baik yang pernah melamar atau yang tidak melamar. Ini bisa dilacak secara sederhana melalui syarat dan kriteria yang harus dipenuhi bila ingin mendapatkan dana tertentu, lengkap dengan efek jangka panjang lainnya seperti pengakuan sosial dan institusional dari yayasan sendiri (yang menjadi legitimator), kritikus, mediamassa, dan kelompok-kelompok teater lain.
Di sisi lain, alih-alih menyadari pentingnya pendidikan teater sebagai salah satu bagian penting (vital) bagi gerakan sosial-kebudayaan atau menyadari dirinya dijadikan penting oleh berbagai gerakan komunitas teater lain terutama kerena infrastruktur dan suprastruktur yang tersedia, pendidikan seni teater masih bergelut dengan mencari-cari cara bagaimana supaya pertunjukan-pertunjukan teater diulas olehmedia massa; sibuk mengukur bagus-jeleknya karya yang menentukan kelulusan mahasiswanya. Apakah pendidikan seni teater pernah mementingkan pelbagai dinamika komunitas teater di luar kampusnya? Atau kalaupun memang iya mementingkan dan malah sering mengayakan beberapa acara yang ikut melibatkan komunitas teater di luar kampus, apakah upaya seperti itu hanya upaya mencaridan membedakan diri (identitas)? Padahal, kalau mau lebih jujur, berbagai macam kemiskinan diarena teater yang sudah disebutkan Rendra di atas seharusnya sudah bisa dianggap selesai, membantu mengkoordinasi beragam komunitas teater di luar tembok kampus dan menjawab permasalahan yang sama secara bersama-sama, yaitu publik,masyarakat, penonton!
Seperti yang sudah disebutkan, bahwa ada semacam latah mediamassa yang dianggap menentukan posisi vital atau tidaknya teater di ranah publik, terutama untuk mengakumulasikan publisitas teater yang mempunyai sifat sementara di tengah-tengah gelombang rezim media massa itu sendiri, yang setiap hari dekat dengan publik. Itujuga kalau teater percaya bahwa dirinya adalah wajah publiknya juga, entahwajah yang kedua, ketiga atau seterusnya. Atau wajah teater kita memang bukan wajah publik saat ini? Karena teater kita sendiri sedang sibuk mencari wajahnya masing-masing. Apalagi dengan pendidikan seni,sudah pasti sangat sibuk. Semua orang yang bertugas atau merasa terpanggil, sebagai orang teater ataupun bukan, sedang berbondong-bondong menjadi divisipublikasi bagi teater. Hal itu dimudahkan dengan media komunikasi yang canggihsaat ini, facebook, Twitter, BBM, Blog,WebSite, SMS, What’s Up, Kakao Talk, etc. Atau dengan cara pendidikan seni teater yanglebih bernuansa kajian, dengan membuat seminar-seminar dengan tema-tema disekitaran: teater dan mediamassa. Apakah ini merupakan gejala ketidakpercayaan diri suatumedia- atau suatu pendidikan seni terhadap media dan pendidikannya sendiri?Saya dititik ini sangat yakin - terutama saya sendiri sebagai orang teater dan sedang merintis web-site media komunikasi teater - orang-orang teater punya satu ketakutan yang sama, yaitu kehilangan penonton, kehilangan publik! Jadi, tulisan ini memang akan berbicara, atau diharapkan, menganalisis secara konstruktif, ihwal fungsi pendidikan tinggiseni (teater) yang secara jujur saya akui perlu menjadi yang pertama menjawab ketakutan itu.
Menemui lebih jauh diri sendiri
Sejak berdirinya dua lembaga pendidikan drama-teater pertama di Indonesia pasca perebutan kedaulatan dan pemulihannya, yaitu Cine Drama Institut pada tahun 1948 di Yogya (kemudian menjadi ASDRAFI), dan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI)pada tahun 1955 diJakartayang digagas oleh Asrul Sani dengan sastrawan Angakatan’45 dengan kredo "kewargaduniaannya", drama-teater sepertinya dianggaphanya menjadi wadah bagi minat besar kaum terpelajar saja. Atau bisa saja saya sebut bahwa teater modern Indonesia adalah sejarah pengamatiran teater oleh kalangan terpelajar. Kesimpulan kecil tapi sangat mendasartersebut, saya kaitkan dengan sejarah hilangnya rombongan teater professional – yang lebih banyak mengandalkan hiburan, bayaran, dan kepada spontanitas dan improvisasi seni bermain pada aktornya sehingga kedudukan sastra drama tidak begitu pokok (Miss Riboet’s Orion dan Dardanella) – akibat proses sensor keras masa pemerintah pendudukan Jepang dan bergesernya orientasi bintang panggung ke bidang perfilman dan merebaknya teater amatir yang berasal dari kaum terpelajar[2]yang menancapkan fungsi sastra drama kanon Barat secara vital di dalampertunjukan teater yang hingga akhirnyajuga ‘menagih’ segala infrastruktur dan suprastrukturnya, yang sampai saat ini menjadi syarat vital bagi pembentukan lembaga pendidikan tinggi seni yang mempunyai jurusan teater, diantaranya: Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, ISI Surakarta, ISIDenpasar, ISI Padang Panjang, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI Bandung, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya, dan Sekolah Tinggi Seni Riau. Saya belum terlalu paham dengan akan atau sedang adanya pembentukan lembaga pendidikan tinggi seni berlabel ISBI.
Dengan membicarakan hal di atas, saya tidak hendak mempeributkan (lagi) mengenai kenapa harus ada insfrastruktur dan suprastruktur teater. Tapi yang saya ingin ributkan adalah, untuk apa. Bila kita jeli membaca pergeseran teater amatir yang tumbuh dari kalangan terpelajardi mana habitus mereka adalah di dialam tembok sekolah yang diciptakan olehpemerintah kolonial dan akhirnya menjadi embrio bagi pembentukan lembaga pendidikan seni telah merubah menjadi ‘profesional’. Profesional dalam arti,bukan masalah menjadi industri (kalaupun mau), tapi dari segala peralatan, sarana-prasarana, metode-metode, teori-teori, workshop-workshop, etc. Bukankah segala itu bisa menjadi sumber dasar kreatifitas yang ideal, tapi juga bisamenjadi sumber kemapanan pencarian artistik? Dari yang sangat eksploratif sampaiyang stagnatif, kedua-duanya asik bergelut dengan wilayah praksis maupunteoritis (?). Dari semenjakala sebagai sekumpulan pengiat teater amatir atau sampai kumpulan seniman teater sekolahan yang profesional, dua-duanya tidak akan menjawab ketakutan kehilangan publik, penontonnya, kalau pendidikan seni belum apa-apa sudah menilai sesuatuberdasarkan regulasi kognitifnya yang terinternalisasi lewat tradisinya sebagai teater pelajar, yang seolah-olah natural tanpa dipertanyakan. Secara sempit,saya sepertinya sangat menyudutkan lembaga pendidikan seni, padahal kelompok-kelompok di luar kampus pun bukan tidak mungkin mempunyai regulasi yang sama, hingga akhirnya baik yang sekolahan atau yang gak sekolahan sama-sama menyingkirkan publik seni dari korespondensi yang natural dan organik.
Gejala apa ini? Apakah ini merupakan gejala ketidakpercayaan diri suatu media- atau suatu pendidikan seni terhadap mediadan pendidikannya sendiri? Apakah ini karena kurangnya ilmu pengetahuan,kurangnya keterampilan analitis, atau bahkan kurangnya prinsip-prinsip yangbenar atau nilai-nilai, atau karena kurangnya perubahan emosional seperti menurut Bracher (dalam Robert Samuel, Postmodern Education and Social Ethicsafter Modernity:149). Tentu tidak! Sebab jelas, pendidikan yang mementingkan perubahan emosional sebagai ciri khas dari pedagogi rasa dansimpati seperti yang dianjurkan Bracher ada di dalam pendidikan seni, malahmenjadi makanan sehari-hari. Lalu apa? Dengan mengkritik Bracher, RobertSamuels (Ibid) menilai pedagogisimpati dan emosional yang dianjurkan Bracher cenderung merasa sudah cukupdengan sikap empati dalam hal ini adalah prinsip dari etika personal bukanetika sosial sebagai tanggung jawabindividu pada kesadaran sosial dari berbagai masalah sosial. Dalam kasus ini,secara sederhana bisa ditarik, ternyata, baik pedagogi simpati yang sangat personal, maupun pendidikan seni yang kolektif memilki keterbatasan dalam menjawab permasalahan ketidakadilan sosial secara kolektif di dalam ruangpublik, pertemuan antar publik, dalam arti sekumpulan orang teater sendiri(pendidik) dan publik dalam pengertian orang-orang yang sudah dan akan (seharusnya) menjadi penontonnya (yang dididik). Jadi apa yang kurang dari pedagogi personal (simpati, emosional, empati) dan kolektif?
Henry A. Giroux (dalam Impure Acts: The PracticalPolitics of Cultural Studies, 2000: 135-136) – meskipun dipakai di sinidengan logika terbalik – berasumsi bahwa pentingnya berpolitik dalam tradisikajian budaya, yakni mempunyai misi perubahan sosial. Yang juga menilaipentingnya kerja budaya performatif, setelah terinspirasi karya performance artSuzanne Lacy sebagai model bagi pengembangan kajian budaya yang bekerja secara interdisipliner (keluar dariimperium teks dan lembaganya), performatif dan oposisional untuk menghasilkansebuah perubahan sosial. Jadi kalau Giroux menilai para pengkaji budaya tidaksekadar berteori dan berpolitik, bekerja di dalam dan di luar akademis, tapi dua hal itu harus saling terkait satu sama lain. Saya berpendapat, pendidikan seni teater juga tidak sekedarberkesenian, berkolektif, bekerja di dalam dan di luar kampus (perludipertanyakan), tapi semua hal itu harus berkaitan satu sama lain, termasuk dengan sikap politiknya, punya misi me-renaturalisasipublik, di mana teater-teater diproduksi secara organik, gerilya melawan hegemoni dari rezim globalisasi media massa yang sedang merebut publiknya itu.
Saatnya berimajinasi
Secara sederhana, pertama-tamasaya hanya membayangkan bagaimana ketakutan kehilangan publik itu dipecahkan bersama-sama oleh berbagai komunitas teater baik yang lahir di luar kampus, maupun yang lahir dari dalam kampus, dengan lembaga pendidikan seni sebagai yang berperan sebagai sentral yang menghubungkan berbagai komunitas teater yang beragam tersebut, bayangan ini muncul setelah saya membaca sebagian pemikiranpendidikan Robert Samuel, di dalam Postmodern Education and Social Movement, and Politics dan sedikit buku Hegemoni dan Strategi Sosialis (HSS), pemikir post-marxis Ernesto Laclau dan Chantal Moufee. BaikSamuel yang menggunakan pemikiran Laclau-Mouffe, atau Laclau-Moufee sendiri,mereka juga tertarik menggunakan psikoanalisa Lacanian yang secara positif menyisyaratkan bahwa karena sistem sosial adalah kontruksi manusia, maka sistem itu dapat dirubah dan diperbaiki juga oleh tindakan kolektif, namun, setiap perubahan harus bekerja di dalam arus struktur simbolik (bahasa/aturan). Dan secara lebih khusus lagi mereka sama-sama menggunakan wacana analisis Lacanian yang menitik beratkan peran pengetahuan di dalam misi perubahan sosial. Pengetahuan ditempatkan sebagai kebenaran yang dipisahkan dari mastes signifier, identifikasi dan idealisasi. Di sinilah subjek pertama kali, bisa memilih master signifier yang baru (Samuel, 2010:160).
Bayangan saya di sini adalah bagaimana lembaga pendidikan seni (teater) dengan para pemikir atau seniman akademisnya mengambil peran penting dalam membuat formasi hegemonik dan memunculkan imajinasi sebuah gerakan kebudayaan baru dalam menjawab krisis organik di dalam korespondensi teater dengan penontonnya. Hegemoni sendiri merupakan gagasan Gramsci yang digunakan Laclau-Mouffe sebagai logika politik, di mana secara kontekstual muncul karena adanya retakan dan keterbelahan yang harus diisi, juga konteks kontingensi yang harus di atasi. Jadi konsep‘hegemoni’ bukanlah merupakan konsep mengenai proses pembentukan identitas secara utuh-penuh, namun merupakan konsep yang lahir sebagai tanggapan terhadap krisis (1999: 1). Jadi, meskipun saya menitik beratkan peran sentral lembaga pendidikan seni di dalam menjawab krisis tersebut karena pengayaan infrastruktur dan suprastrukturnya, bukan berarti koalisi ini digunakan untuk penyebaran identitas lembaga tersebut. Tapi, merupakan semacam blok historis yang di dalamnya terdapat berbagai kelompok teater baik dari dalam maupun luar kampus yang menyatu di dalam suatu formasi diskursif.
Kesatuan formasi diskursif dari beragam kelompok teater tersebut diperoleh praktik artikulasi karya (artistik-estetik) dan kredo-kredonya ketika setiap kali karya tersebut dihadapkan kepada publik dan berbicara mengenai publik. Keberagaman karya dan kredo yang membicarakan dan berbicara kepada publik itu memang bersifat partikular hingga tampak berbeda-beda, tapi di dalam konteks rezim globalisasi media yang hegemonik juga, hal ini dilihat sebagai aktivitas yang menolak dan ingin merebut publik dari cengkraman rezim tersebut. Maka dari praktik artikulasi mengenai publik tersebut terdapat dua praktik,pertama partikularitasnya sendiri yang menghasilkan hubungan diferensial dan sebuah dimensi universal yang bisa menyatukan yang diferensial tersebut (publik/ masyarakat). Supaya hubungan-hubungan diferensial itu bisa menyatu dibutuhkan penanda utama(master signifier atau nodal point) yang berfungsi sebagai pusat hegemonik (St. Sunardi, 2012: 13). Di titik inilah tugas sebenarna yalembaga pendidikan seni teater, yang dengan basis infrastruktur (fasilitas, pengilmuan, kualitas kritik, referensi) dan suprasturukurnya (pembaruan sejarah teater, mazhab-mazhab kreasi, invensi teori) bisa melahirkan wajah teater yang baru dan secara organik mengantarkan publik pada wajahnya sendiri yang selama ini dieksploitasi oleh kepentingan-kepentingan rezim globalisasi (kapitalisme) media.***
DAFTAR PUSTAKA
Romert Samuel, PostmodernEducation and Social Movement,and Politics, 2009, Palgrave Macmillan, USA
Laclau-Moufee, Hegemoni dan Strategi Sosialis, Resist Book, 2008, Yogyakarta. Diterjemahkan dari Hegemoni and Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic, 1999.
St. Sunardi, Logika Demokrasi Plural-Radikal, dalam Jurnal Retorik VOL. 3 – No.1,Desember 2012, IRB Universitas Sanata Dharma
Taufik Darwis, Mencari Teater Modern Indonesia Versi Asrul Sani, 2012
http://www.kelola.or.id/kelola/faq
[1]Berdiri sejak tahun 1999, Kelola adalah organisasi nirlaba berjangkauan nasional yang memberikan perhatian padaperkembangan seni baik musik, tari, teater, dan visual di Indonesia agar terushidup dan berdaya saing di dunia internasional (sesuai dengan di web-site resminya http://www.kelola.or.id/kelola/faq)
[2]Taufik Dawris, Makalah Kajian Pascakolonial, Mencari Teater Modern Indonesia Versi Asrul Sani, 2012
Komentar
Posting Komentar