9 Januari 2011 pukul 15:27
Ayah dihadapan gincu walikota foto Taufik Darwis |
Oleh: Taufik Darwis
AYAH (Tony Broer) yang mencari taman itu mula-mula diam di bawah tiang rambu lalu lintas. Di jalan yang sudah tidak sesemrawut dan sejahat hari-hari biasa. Ia mencari dengan kepala plontos putih dan tubuh lain yang dibungkus dengan kemaja putih, dasi, jas, dan celana hitam. Di sampingnya ada payung dan kereta dorong bayi. Di antara kerumunan orang-orang yang berkeringat dan udara bersih, tiba di pangkuannya seorang bayi gemuk (Awa Laksmi Komuro). Ayah beranjak dari kediaman dan fokus mata kerumunan. Memindahkan bayi dari tangannya ke kereta dorong bayi. Tangan kirinya memegang payung yang dibukakan di atas kereta dorong bayi. Sementara itu, tangan kanannya mendorong kereta itu agar melaju.
Orang yang melintas atau orang yang dilintasinya, cepat menghampiri dan mengikutinya. Tanpa berteriak-teriak, Ayah dengan bayi itu menjadikan kerumunan semakin banyak. Sesekali tubuhnya menggelepar di aspal jalan. Tubuhnya tidak pernah membuat garis tegas atau lurus. Tarikan napasnya selalu berat dan sesekali mengeluarkan suara "eughh..." atau suara dari desahan napas berat itu sendiri.
Ini tidak tampak lagi setelah dia mendapatkan lilitan perban dan sebuah masker yang dia dapatkan dengan terhuyung-huyung di dalam parit yang kering. Dengan tarikan nafasnya yang lebih ringan, dia mendorong kereta itu menuju ujung jalan dan menemukan sebuah taman yang dijaga oleh beberapa polisi yang sedang berbincang-bincang dan papan billboard wali kota lengkap dengan bahasa khas persuasinya.
Ayah itu tidak membawa bayi itu ke taman, tetapi menyerahkannya kembali ke perempuan yang tadi memberikan bayi ke pangkuannya. Bayi, kereta, dan payung dia tinggalkan. Dia mendatangi para polisi menjabati tangan mereka satu-persatu. Berjalan ke taman. Kembali membuka masker dan lilitan perban. Sebelum dia menutupi kepalanya dengan jas dan terlentang di atas ukiran tanda tangan wali kota. Inikah taman yang dicarinya itu?
Peristiwa Ayah mencari "taman" itu adalah pertunjukan "Tubuh Piknik". Proses ketujuh kali interogasi tubuh Tony Broer di ruang publik urban. Tepatnya, Minggu, 2 Januari 2011, di sepanjang jalan Dago Car Free Day. Berbeda dari presentasi-presentasi sebelumnya, di Jalan Buahbatu dan Soekarno Hatta sebagai ruang hilir mudik kendaraan, Tony kali ini memilih Dago Car Free Day sebagai ruangnya. Ruang yang lebih majemuk, karena melibatkan seluruh kemajemukan publik urban. Ruang yang lebih menggoda berbagai bentuk komunikasi. Ada yang transaksional, eksibisional, berolah raga personal maupun komunal. Strategi yang berbeda lainya, pun juga bisa dibaca dengan melibatkan anaknya yang baru berusia lima bulan. Ada sikap eksistensial untuk menginterogasi diri sosialnya dengan menggali personalitas diri artistiknya dan menjadikan dirinya sendiri sebagai uji melawan konvensi komunikasi pada kondisi umumnya.
**
TONY memang menjadikan sebagian besar laku tubuhnya sebagai tontonan. Kualitas tontonan itu dia coba perkuat dengan pakaian rapih yang membungkus tubuhnya, pakaian pekerja kantoran. Kepalanya yang plontos, dia pulas dengan warna putih, untuk menyamarkan identitas dan mendefamiliarisasi tubuh sehari-harinya (sebagai Ayah dari Awa yang dia libatkan langsung), salah satu kecenderungan artistik Tony dari ekspresi rias dari Teater Butoh yang muncul di Jepang yang dia geluti. Untuk tidak menjadikan dirinya hanya sebagai tontonan Tony memakai benda-benda yang menurutnya signifikan bagi terciptanya perubahan dari ruang ilusi, ruang transaksional menjadi ruang nilai dan makna. Perubahan ini diwujudkan Toni melalui keterlibatan benda-benda (perban, masker, dan payung) yang diseleksinya untuk menandakan bahwa proses mencari taman itu penuh ancaman. Ancaman ini adalah ancaman yang menyerang paru-paru, kehidupan nyaman dan amannya. Ancaman pada keseimbangan ekologisnya sebagai manusia.
Presentasi ketujuhnya ini, dan perubahan konsentrasi ruang eksplorasi Tony, menandakan adanya strategi pembacaan teks dan konteks pada dirinya sebagai seorang ayah dan ruang publik yang dia pilih. Karena cenderung aman dan pemilihan ruang yang lebih bebas. Tubuh Tony bisa saja menjadi tubuh yang juga diinterogasi atau diagresi kembali oleh publik. Untuk menampung masalah ini, beberapa rekannya seperti: Wanggi Hoed, Akhyar, Esha, dan Diki aktif melakukan wawancara melalui kamera video pada publik yang ikut turut serta untuk mengapresiasi. Tony dengan timnya memperlakukan kerja mereka sebagai riset. Ada kemungkinan Tony di-interogasi kembali secara langsung malah ada pada anaknya sendiri. Sebagai bayi yang berusia lima bulan, Awa memungkinkan untuk menangis dan menuntut untuk Tony lindungi, atau kereta dorongnya jatuh saat didorong oleh Tony. Akan tetapi Tony sepertinya sudah mempersiapkan segala antisipasi, karena dia memiliki tubuh yang terlatih sebagai aktor teater.
Di Dago Car Free Day, sebelum Tony datang sesungguhnya sudah terjadi peristiwa teater. Setiap orang memiliki intensi untuk dilihat dan melihat, ditonton dan menonton. Meskipun tanpa kendaraan berasap. Karena selain memiliki tubuh, mereka memiliki kamera, pakaian, handphone dengan fasilitas yang banyak, binatang peliharaan, sampai alat olah raga yang canggih. Sebuah teater lain dari kesibukan pekerjaan mereka. Teater yang sama-sama saja, tanpa surprise. Meskipun hidup mereka bergerak cepat seperti kendaraan bermotor yang hilir-mudik pada hari-hari biasa di jalan Dago. Semua ingin mempertunjukan sesuatu. Semua berpotensi menjadi sasaran komunikasi. Tony sebagai sesorang yang tiba lebih lambat datang ditantang untuk memiliki intensi yang lebih dari mereka.
Tony memulai pertunjukannya tanpa pengarahan persepsi kepada publik dengan mengumumkan judul pertunjukan yang dia gagas. Tanpa pengarahan seperti pertunjukan-pertunjukan di panggung konvensinal. Tony tidak memperjelas statusnya sebagai tubuh yang akan mencari "taman" untuk anaknya. Akan tetapi, dia percaya pada tubuh aktualnya sebagai seorang ayah. Juga percaya pada konflik budaya yang tersimpan secara tidak sadar atau sadar di tubuh publik yang akan diinterogasinya. "Tubuh Piknik" Tony Broer, menyimpan harapan-harapan tubuh aktualnya sebagai seorang ayah dari anaknya yang dia ikut sertakan dalam pertunjukan kali ini. Harapan agar bisa mengantarkan kepada anaknya sebuah taman. Taman yang bukan berarti tempat, tetapi ruang. Ruang eksistensial yang aman dan nyaman bagi pertumbuhan anaknya. Bukan tempat yang didefinisikan oleh tanda tangan wali kota atau publik urban yang menghendaki pertemuan-pertemuan di dalam kesibukan perkerjaan dan konsumsinya. ***
Komentar
Posting Komentar