Langsung ke konten utama

SEDIKIT DARI ARENA PRODUKSI KULTURAL (SENI) PIERRE BOURDIEU



“Arena produksi kultural menempati posisi yang terdominasi dalam arena kekuasaan: ini adalah fakta utama yang diabaikan oleh teori-teori seni dan sastra biasa.”[1]
           
Apa yang dicari dari seorang lulusan lembaga pendidikan seni (teater) di dalam arena pergulatan disiplin yang multi disiplin ala Kajian Budaya? Itulah pertanyaan yang bermunculan dari orang-orang dengan latar belakang yang sama kepada saya. Ketika memutuskan masuk dalam arena kajian budaya, saya hanya berbekal berbagai pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh saya dan juga latar pendidikan tinggi saya dalam membaca berbagai peristiwa atau fenomena ihwal seni (teater) di dalam dan di luar kampus. Selama 6 tahun di perkuliahan, saya tidak hanya bergulat dalam wilayah praksis seni saja, yakni produksi dan terus produksi karena saya mengambil minat studi penyutradaraan, tapi saya juga tertarik akan dunia kepenulisan semacam kritik, catatan kreatif ataupun membuat review ala tulisan jurnalistik setelah melihat dan mengalami sebuah pertujukan teater. Kesadaran itu disebabkan karena memang di dalam ritme penciptaan atau produksi teater kurang atau malah jarang ada orang yang ingin memposisikan dirinya  sebagai seorang yang menuliskan apa yang sudah dialami dalam menonton atau memroduksi teater, terutama untuk menjawab kepentingan publisitas teater melalui media massa (koran) yang berpengaruh. Rata-rata tulisan yang dimuat kebanyakannya berbicara tentang seni itu sendiri, dalam pengertian tulisan intrinsik yang mengurai berbagai macam teknik sampai makna sebuah pertunjukan teater.

Makin lama-makin lumayan rajin saya menulis, tapi juga semakin lama semakin merasa tulisan saya hanya berusaha membaca dan melaporkan pengalaman diri sendiri dalam menonton sebuah pertunjukan, sebagaian besar tulisan-tulisan saya menghakimi kecatatan teknis dan meyampaikan pesan-pesan moral atau makna – yang ‘diberat-beratkan’, terutama karena saya kemudia ikut kursus filsafat dengan tujuan yang sama sekali pragmatis - yang sebenarnya sudah tersirat di dalam pertunjukan-pertunjukan teater itu sendiri. Terlebih semakin lama bergaul di dalam arena teater, semakin saya punya pandangan tipikal dalam membaca kecenderungan setiap kelompok teater dalam memproduksi karya-karyanya, meskipun kenyataannya memang tidak melulu tipikal alias bisa berubah. Dari pengalaman itu saya mempunyai pertanyaan: apa yang menyebabkan kecenderungan-kecenderungan itu hadir di dalam pembacaan saya, tapi sewaktu-waktu pembacaan yang tipikal itu tidak sesuai dengan apa yang saya tonton?  Di titik itulah kemudian saya mulai gelisah dengan diri saya dan  dunia teater saya sendiri,  bagaimana saya bisa membaca berbagai perubahan-perubahan kecenderugan artistik sebuah kelompok teater, padahal kelompok itu punya kredo tertertentu dan sejarahnya yang juga mempengaruhi kelompok-kelompok yang baru tumbuh.

Misalnya ada sebuah komunitas yang memiiki kredo “Keterbatasan Itu Tidak Terbatas”, yakni sebuah kredo dalam menyemangati keterbatasan materi dalam menuangkan gagasan kreatif komunitasnya, dengan berbagai cara mereka terus-menerus bereksplorasi dengan yang terbatas itu dan akhirnya mereka pun berada moment-moment krusial, dimana mereka sangat diapresiasi, dikenal, dipuji, dikritik dan ditiru. Lalu, seiring keniscayaan sejarah, apresiasi, keterkenalam, pujian, kritikan, dan peniruan di luar diri komunitas itu membuat perubahan banyak di dalam komunitasnya. Beberapa donor finansial maupun logistik mulai berdatangan, biasanya dari pemerintah atau lembaga kebudayaan tertentu.   Dan tiba-tiba kecenderungan artistik yang ekploratif di tengah-tengah keterbatasan itu tidak tampak lagi di dalam pertunjukan mereka, pertunjukan makin kaya dengan pukauwan-pukawan teknis, kredo-kredo yang menjadi tonggak kelahiran komunitas itu semakin dilupakan, pujian-pujian semakin berdatangan terutama dari kritikus yang gemar dengan peristiwa-peristiwa penemuan artistik yang  berhubungan dengan teknologi, “inilah seni yang memanusiakan teknologi, teknologi menjadi sangat perasa!”   Tapi di sisi lain, di dalam arena seni komunitas-komunitas yang senafas atau berusaha senafas dengan kredo komunitas ini dari awal membuat cibiran: bid’ah lah, palsu lah, selingkuh lah dan lain-lain. Beberapa orang yang tidak sepakat dengan perubahan keluar dari komunitas itu dan kemudian mendirikan kelompok baru, dan sisi lain, komunitas senafas yang mengkritik sikap artistik komunitas yang mengalami perubahan itu juga ternyata tak bertahan lama sebab keterbatasan di segala lini, dan akhirnya bubar dan tidak pernah  mendapatkan donor-donor seperti yang diterima sang penemu kredo. Bagaimana saya membaca gejala tersebut? Mulai dari mana? Bagaimana saya memposisikan diri sebagai yang sering nulis dan memroduksi teater dalam fenomena seperti di atas?



Bertemu dengan Bourdieu
Jadi, kira-kira seperti itulah latar belakang saya kenapa menyengajakan diri masuk di dalam wilayah kajian budaya yang saya percaya mampu membatu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah saya sebutkan tadi. Selama perkuliahan terutama semester satu, pertanyaan itu memang tidak langsung terjawab, tapi setidaknya ada perangkat yang bisa menawarkan cara menjawabnya. Perangkat itu saya dapatkan ketika bertemu dengan teori-konsep dari Pierre Bourdieu khususuya di mata kuliah  Estetika Seni Pertunjukan, Teori Sastra dalam Kajian Budaya dan Epistemologi Ilmu-Ilmu Sosial. Bourdieu menarik perhatian saya karena dia dengan secara sistematis menghubungan antara struktur dan tindakan, atau yang lebih dasarnya, antara objektifisme dan subjektivisme. Bila dikontekstualisasikan dengan pertanyaan saya di atas tadi adalah antara kreator (komunitas) dengan dunia sosial di mana si komunitas itu hadir dan hidup. Dari situlah saya kemudian mengenal konsepnya yaitu: habitus dan arena.

Lalu apa itu habitus? Apa artinya? Konsep habitus dimaksudkan Bourdieu sebagai alternatif bagi solusi yang ditawarkan subjektifisme (kesadaran, subjek, dan lain sebagainya), dan reaksi terhadap strukturalisme yang mereduksi agen menjadi sekadar ‘pengemban’ atau ekspresi bawah sadar sebuah struktur. Bourdieu sendiri mendefinisikan habitus sebagai:

“sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan (transposable), struktur yang distrukturkan yang diasumsikan sebagai penstruktur struktur-struktur, yaitu prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasi praktik-praktik dan representasi-representasi yang bisa diadaptasikan secara objektif kepada hasil-hasilnya tanpa mengandaikan suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan tertentu atau penguasaan cepat atas operasi yang diperlukan untuk mencapainya. Karena sifatnya ‘teratur’ dan ‘berkala’ secara objektif, tapi bukan produk kepatuhan terhadap aturan-aturan, prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan secara kolektif tanpa harus mejadi produk tindakan pengorganisasi seorang pekaku.[2]

Habitus adalah proses panjang, logika permainan, sikap, sebuah masa lalu yang sekarang suatu agen (bisa individu atau komunitas, yang tidak selalu harus disadari) di dalam situasi-situasi spesifik.  Habitus adalah penghasil praktik-praktik kehidupan sejalan dengan struktur sosial  (objektif) yang membentuknya (Haryatmoko, 2010: 14). Jadi agen tidak hanya sekedar ‘pengemban’. Agen menjadi bagian itegral dunia sosial, agen menjadi struktur itu sendiri. Agen-agen bertindak di ruang sosial yang konkret, yakni di dalam arena, sebab proses pembentukan sosial apapun distrukturkan melalui serangkaian hubungan atau relasi arena. Relasi setiap arena dengan arena yang lain teroganisasi secara hierarkis (arena ekonomi, arena pendidikan, arena politik, arena kultural dan sebagainya) yang mempunyai relasi-relasi kekuasaannya sendiri, yang terlepas dari kaidah poltik dan kaidah ekonomi, kecuali dalam kasus arena ekonomi dan arena politik itu sendiri. Kendati setiap arena relatif otonom, namun secara struktual tetap homolog satu sama lain (Johsson: 1993)[3].

Di titik ini saya mendapatkan bahwa arena adalah suatu sistem pengambilan posisi masing-masing berdasarkan relasi dominasi, subordinasi dan ekuavalensi (homologi), baik oleh masing-masing arena, maupun setiap agen (individu atau komunitas/ intstitusi) di dalam suatu arena tertentu. Maka akan sangat niscaya bahawa arena juga menjadi arena kekuatan, yang tidak lain menurut Bourdieu adalah tempat perjuangan perebutan modal dan usaha memperebutkan akses terhadap kekuasaan. Perebutan tersebut dalam rangka untuk memperoleh posisi dalam arena. Posisi agen dalam arena tergatung dari jumlah kepemilikan (volume) modal yang dimiliki, komposisi modal dan perubahan volume dan komposisinya dalam waktu.[4] Perubahan posisi-posisi agen ini mau tak mau menyebabkan perubahan struktur arenanya. Bourdieu menyebut beberapa modal yang dipertaruhkan di dalam arena: modal ekonomi, modal sosial, modal kultural, dan modal simbolis.[5]  Modal ekonomi termanifestasikan melalui alat-alat produksi, materi, dan uang. Modal Sosial ialah hubungan-hubungan dan jaringan-jaringan yang menentukan kedudukan sosial. Kemudian yang termasuk modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang diproduksi secara formal maupun warisan keluarga (ijazah, pengetahuan-pengetahuan umum, cara berbicara, kemampuan menulis, tata krama). Sedangkan modal simbolis adalah mengacu kepada derajat akumulasi prestise, ketersohoran, kehormatan dan dibangun di atas dialektika pengetahuan dan pengenalan.[6]

Sampai sini, saya kemudian mencoba mengaktualisasikan pertanyaan-pertanyaan dari contoh-contoh fenomena perubahan etos/ prinsip dari sebuah kredo komunitas teater ketika berhadapan dengan lembaga-lembaga donor kebudayaan tertentu ataupun dinas pemerintah. Bourdieu membahas contoh fenomena seperti ini secara khusus sebagai ruang pengambilan posisi sastra atau seni – di dalam esainya yang diterbitkan dalam jurnal Poetics (Amsterdam) di tahun 1983, dengan judul ‘Arena Produksi Kultural, atau: Dunia Ekonomi yang Terbalik –

“yaitu serangkaian manifestasi terstruktur agen-agen sosial yang terlibat di dalam arena sastra atau seni (selain di sini ada karya-karya sastra atau seni, ada juga tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan politik, manifesto-manifesto atau polemik-polemik dan seterusnya) – tidak bisa dipisahkan dari ruang posisi sastra atau seni yang ditentukan oleh kepemilkan modal spesifik (pengakuan) dalam jumlah tertentu sekaligus oleh pendudukan posisi yang sudah kokoh di dalam distribusi modal spesifik ini”[7]

Saya menagkap modal spesifik yang dibicarakan Bourdieu dalam kutipan di atas adalah modal budaya/kultural dan simbolis. Yakni modal spesifik yang tersebar di dalam arena produksi kultural, maka tak heran Bourdieu menyebut arena ini sebagai dunia ekonomi yang terbalik, dan menempatkan arena ini sebagai ‘fraksi yang terdominasi kelas dominan’ yaitu arena kekuasaan yang juga mensyaratkan modal spesifik khas arenanya, yaitu ekonomi-politik. Dalam contoh kasus yang saya hadirkan di atas, pengertian ini sejauh pemahaan saya saat ini adalah contoh konsekuensi logis yang khas arena seni. Yakni bagaimana ketika komunitas dengan kredonya yang berkata “keterbatasan itu tidak terbatas” akhirnya luluh lantak dihadapan agen-agen/ komunitas lainnya baik satu angkatan maupun agen-agen yang baru muncul dan berusaha mengikuti jalan kredo seni mereka setelah mendapatkan kucuran donor yang bersifat modal ekonomi (finansial, logistik, etc) dan berpengaruh dalam eksplorasi artistik maupun tematik disetiap produksi karya-karya teaternya. Bourdieu dengan sangat yakin mengatakan bahwa conto kasus di atas adalah perubahan yang terjadi di dalam ruag kemungkinan sastra dan seni adalah hasil dari perubahan relasi kekuasaan yang membentuk ruang posisi-posisi.[8]  Semakin tidak otonom sebuah komunitas semakin modal kultural dan modal simbolisnya berkurang di dalam arena produksi kultural (seni), ia akan cenderung mengikuti prinsip hierarki yang dominan yaitu arena kekuasaan yang didasari dengan penyebaran modal dan perubatan posisi secara ekonomi-politis.

Sampai di sini, di sebuah awal pertemuan dengan konsep-konsep Bourdieu, saya memang mendapatkan setidaknya pembacaan yang lebih luas, kalaupun belum holistik di dalam membaca sebuah fenomena perubahan penggayaan artistik  pertunjukan teater yang sejak awal saya geluti lewat kritik intrinsik yang diblang Bourdieu sebagai cara kerja teori-teori seni dan sastra biasa ataupun ekstrinsik secara terpisah, tapi malah mereduksi pengalaman-pengalaman lain yang sebanarnya berkaitan, mempunyai relasi, berubah secara bersamaan.*** 
           

             
DAFTAR PUSTAKA

Pierre Bourdieu, 1993, The Field of Cultural Production. Essay on Art and Literature, Polity Press, Cambridge. Diterjemahkan ke dalam versi Indonesia oleh Yudi Santosa, Kreasi Wacana, tahun 2010.

Pierre Bourdieu, 1984, Distinction. A Social Critique of the Judgment of Taste, tranlate Richard Nice, Routledge & Kean Paul, UK.

Pierre Bourdieu,  Choses Dites: Uraian & Pemikiran, Kreasii Wacana , diterjemahkan dari Choses Dites: Edition de Minuit, Paris, 1987









[1] Bourdieu, Arena Intelektual: Sebuah Dunia yang Tersisih, wawancara dengan Karl-Otto Mave, untuk Norddeutschen Rundfunk, Dalam Choses Dites: Uraian & Pemikiran, Kreasii Wacana tahun 2011, diterjemahkan dari Choses Dites: Edition de Minuit, Paris, 1987
[2][2] The Logic of Practice, hlm 53; Outline of Theory of Practice, hal. 72. Dari Pierre Bourdieu, 1993, The Field of Cultural Production. Essay on Art and Literature, Polity Press, Cambridge. Diterjemahkan ke dalam versi Indonesia oleh Yudi Santosa, Kreasi Wacana, tahun 2010.
[3] Homologi ini bisa dideskripsikan sebagai kesamaan dalam perbedaan (ekuavalensi).
[4] Bourdieu, 1984, Distinction. A Social Critique of the Judgment of Taste, tranlate Richard Nice, Routledge & Kean Paul, UK, hklm. 114.
[5] Johnson, 1993, Editor Introduction Pierre Bourdieu on Art, Literature and Culture dalam Pierre Bourdieu, 1993, The Field of Cultural Production. Essay on Art and Literature, Polity Press, Cambridge. Hal 7 Diterjemahkan ke dalam versi Indonesia oleh Yudi Santosa, Kreasi Wacana, tahun 2010.
[6] Ibid, hlm xix.
[7] Ibid, hlm 5.
[8] Ibid, hlm 8.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka