“Arena produksi kultural menempati posisi yang terdominasi dalam arena kekuasaan: ini adalah fakta utama yang diabaikan oleh teori-teori seni dan sastra biasa.”[1]
Apa yang dicari dari seorang lulusan lembaga pendidikan seni
(teater) di dalam arena pergulatan disiplin yang multi disiplin ala Kajian Budaya? Itulah pertanyaan
yang bermunculan dari orang-orang dengan latar belakang yang sama kepada saya. Ketika
memutuskan masuk dalam arena kajian budaya, saya hanya berbekal berbagai
pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh saya dan juga latar
pendidikan tinggi saya dalam membaca berbagai peristiwa atau fenomena ihwal
seni (teater) di dalam dan di luar kampus. Selama 6 tahun di perkuliahan, saya
tidak hanya bergulat dalam wilayah praksis seni saja, yakni produksi dan terus produksi
karena saya mengambil minat studi penyutradaraan, tapi saya juga tertarik akan
dunia kepenulisan semacam kritik, catatan kreatif ataupun membuat review ala tulisan jurnalistik setelah
melihat dan mengalami sebuah pertujukan teater. Kesadaran itu disebabkan karena
memang di dalam ritme penciptaan atau produksi teater kurang atau malah jarang
ada orang yang ingin memposisikan dirinya
sebagai seorang yang menuliskan apa yang sudah dialami dalam menonton
atau memroduksi teater, terutama untuk menjawab kepentingan publisitas teater
melalui media massa (koran) yang berpengaruh. Rata-rata tulisan yang dimuat
kebanyakannya berbicara tentang seni itu sendiri, dalam pengertian tulisan
intrinsik yang mengurai berbagai macam teknik sampai makna sebuah pertunjukan
teater.
Makin lama-makin lumayan rajin saya menulis, tapi juga
semakin lama semakin merasa tulisan saya hanya berusaha membaca dan melaporkan pengalaman
diri sendiri dalam menonton sebuah pertunjukan, sebagaian besar tulisan-tulisan
saya menghakimi kecatatan teknis dan meyampaikan pesan-pesan moral atau makna –
yang ‘diberat-beratkan’, terutama karena saya kemudia ikut kursus filsafat dengan
tujuan yang sama sekali pragmatis - yang sebenarnya sudah tersirat di dalam
pertunjukan-pertunjukan teater itu sendiri. Terlebih semakin lama bergaul di
dalam arena teater, semakin saya punya pandangan tipikal dalam membaca
kecenderungan setiap kelompok teater dalam memproduksi karya-karyanya, meskipun
kenyataannya memang tidak melulu tipikal alias bisa berubah. Dari pengalaman itu
saya mempunyai pertanyaan: apa yang menyebabkan kecenderungan-kecenderungan itu
hadir di dalam pembacaan saya, tapi sewaktu-waktu pembacaan yang tipikal itu
tidak sesuai dengan apa yang saya tonton? Di titik itulah kemudian saya mulai gelisah
dengan diri saya dan dunia teater saya
sendiri, bagaimana saya bisa membaca
berbagai perubahan-perubahan kecenderugan artistik sebuah kelompok teater,
padahal kelompok itu punya kredo tertertentu dan sejarahnya yang juga
mempengaruhi kelompok-kelompok yang baru tumbuh.
Misalnya ada sebuah komunitas yang memiiki kredo
“Keterbatasan Itu Tidak Terbatas”, yakni sebuah kredo dalam menyemangati
keterbatasan materi dalam menuangkan gagasan kreatif komunitasnya, dengan
berbagai cara mereka terus-menerus bereksplorasi dengan yang terbatas itu dan
akhirnya mereka pun berada moment-moment krusial, dimana mereka sangat
diapresiasi, dikenal, dipuji, dikritik dan ditiru. Lalu, seiring keniscayaan
sejarah, apresiasi, keterkenalam, pujian, kritikan, dan peniruan di luar diri
komunitas itu membuat perubahan banyak di dalam komunitasnya. Beberapa donor
finansial maupun logistik mulai berdatangan, biasanya dari pemerintah atau
lembaga kebudayaan tertentu. Dan
tiba-tiba kecenderungan artistik yang ekploratif di tengah-tengah keterbatasan
itu tidak tampak lagi di dalam pertunjukan mereka, pertunjukan makin kaya
dengan pukauwan-pukawan teknis, kredo-kredo yang menjadi tonggak kelahiran
komunitas itu semakin dilupakan, pujian-pujian semakin berdatangan terutama
dari kritikus yang gemar dengan peristiwa-peristiwa penemuan artistik yang berhubungan dengan teknologi, “inilah seni
yang memanusiakan teknologi, teknologi menjadi sangat perasa!” Tapi di sisi lain, di dalam arena seni
komunitas-komunitas yang senafas atau berusaha senafas dengan kredo komunitas
ini dari awal membuat cibiran: bid’ah lah, palsu lah, selingkuh lah dan
lain-lain. Beberapa orang yang tidak sepakat dengan perubahan keluar dari
komunitas itu dan kemudian mendirikan kelompok baru, dan sisi lain, komunitas
senafas yang mengkritik sikap artistik komunitas yang mengalami perubahan itu
juga ternyata tak bertahan lama sebab keterbatasan di segala lini, dan akhirnya
bubar dan tidak pernah mendapatkan
donor-donor seperti yang diterima sang penemu kredo. Bagaimana saya membaca
gejala tersebut? Mulai dari mana? Bagaimana saya memposisikan diri sebagai yang
sering nulis dan memroduksi teater dalam fenomena seperti di atas?
Bertemu dengan Bourdieu
Jadi, kira-kira seperti itulah latar belakang saya kenapa
menyengajakan diri masuk di dalam wilayah kajian budaya yang saya percaya mampu
membatu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah saya sebutkan tadi. Selama
perkuliahan terutama semester satu, pertanyaan itu memang tidak langsung
terjawab, tapi setidaknya ada perangkat yang bisa menawarkan cara menjawabnya. Perangkat
itu saya dapatkan ketika bertemu dengan teori-konsep dari Pierre Bourdieu
khususuya di mata kuliah Estetika Seni
Pertunjukan, Teori Sastra dalam Kajian Budaya dan Epistemologi Ilmu-Ilmu
Sosial. Bourdieu menarik perhatian saya karena dia dengan secara sistematis
menghubungan antara struktur dan tindakan, atau yang lebih dasarnya, antara
objektifisme dan subjektivisme. Bila dikontekstualisasikan dengan pertanyaan
saya di atas tadi adalah antara kreator (komunitas) dengan dunia sosial di mana
si komunitas itu hadir dan hidup. Dari situlah saya kemudian mengenal konsepnya
yaitu: habitus dan arena.
Lalu apa itu habitus? Apa artinya? Konsep habitus dimaksudkan
Bourdieu sebagai alternatif bagi solusi yang ditawarkan subjektifisme
(kesadaran, subjek, dan lain sebagainya), dan reaksi terhadap strukturalisme
yang mereduksi agen menjadi sekadar ‘pengemban’ atau ekspresi bawah sadar
sebuah struktur. Bourdieu sendiri mendefinisikan habitus sebagai:
“sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa
dialihpindahkan (transposable), struktur
yang distrukturkan yang diasumsikan sebagai penstruktur struktur-struktur,
yaitu prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasi praktik-praktik dan
representasi-representasi yang bisa diadaptasikan secara objektif kepada
hasil-hasilnya tanpa mengandaikan suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan
tertentu atau penguasaan cepat atas operasi yang diperlukan untuk mencapainya.
Karena sifatnya ‘teratur’ dan ‘berkala’ secara objektif, tapi bukan produk
kepatuhan terhadap aturan-aturan, prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan secara
kolektif tanpa harus mejadi produk tindakan pengorganisasi seorang pekaku.[2]
Habitus adalah proses panjang, logika permainan, sikap, sebuah
masa lalu yang sekarang suatu agen (bisa individu atau komunitas, yang tidak
selalu harus disadari) di dalam situasi-situasi spesifik. Habitus adalah penghasil praktik-praktik
kehidupan sejalan dengan struktur sosial
(objektif) yang membentuknya (Haryatmoko, 2010: 14). Jadi agen tidak
hanya sekedar ‘pengemban’. Agen menjadi bagian itegral dunia sosial, agen
menjadi struktur itu sendiri. Agen-agen bertindak di ruang sosial yang konkret,
yakni di dalam arena, sebab proses pembentukan sosial apapun distrukturkan
melalui serangkaian hubungan atau relasi arena. Relasi setiap arena dengan
arena yang lain teroganisasi secara hierarkis (arena ekonomi, arena pendidikan,
arena politik, arena kultural dan sebagainya) yang mempunyai relasi-relasi
kekuasaannya sendiri, yang terlepas dari kaidah poltik dan kaidah ekonomi,
kecuali dalam kasus arena ekonomi dan arena politik itu sendiri. Kendati setiap
arena relatif otonom, namun secara struktual tetap homolog satu sama lain (Johsson:
1993)[3].
Di titik ini saya mendapatkan bahwa arena adalah suatu sistem
pengambilan posisi masing-masing berdasarkan relasi dominasi, subordinasi dan
ekuavalensi (homologi), baik oleh masing-masing arena, maupun setiap agen
(individu atau komunitas/ intstitusi) di dalam suatu arena tertentu. Maka akan
sangat niscaya bahawa arena juga menjadi arena kekuatan, yang tidak lain
menurut Bourdieu adalah tempat perjuangan perebutan modal dan usaha
memperebutkan akses terhadap kekuasaan. Perebutan tersebut dalam rangka untuk
memperoleh posisi dalam arena. Posisi agen dalam arena tergatung dari jumlah
kepemilikan (volume) modal yang dimiliki, komposisi modal dan perubahan volume
dan komposisinya dalam waktu.[4]
Perubahan posisi-posisi agen ini mau tak mau menyebabkan perubahan struktur
arenanya. Bourdieu menyebut beberapa modal yang dipertaruhkan di dalam arena:
modal ekonomi, modal sosial, modal kultural, dan modal simbolis.[5]
Modal ekonomi termanifestasikan melalui
alat-alat produksi, materi, dan uang. Modal Sosial ialah hubungan-hubungan dan
jaringan-jaringan yang menentukan kedudukan sosial. Kemudian yang termasuk
modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang diproduksi secara
formal maupun warisan keluarga (ijazah, pengetahuan-pengetahuan umum, cara
berbicara, kemampuan menulis, tata krama). Sedangkan modal simbolis adalah
mengacu kepada derajat akumulasi prestise, ketersohoran, kehormatan dan
dibangun di atas dialektika pengetahuan dan pengenalan.[6]
Sampai sini, saya kemudian mencoba mengaktualisasikan
pertanyaan-pertanyaan dari contoh-contoh fenomena perubahan etos/ prinsip dari
sebuah kredo komunitas teater ketika berhadapan dengan lembaga-lembaga donor
kebudayaan tertentu ataupun dinas pemerintah. Bourdieu membahas contoh fenomena
seperti ini secara khusus sebagai ruang pengambilan posisi sastra atau seni – di
dalam esainya yang diterbitkan dalam jurnal Poetics
(Amsterdam) di tahun 1983, dengan judul ‘Arena Produksi Kultural, atau:
Dunia Ekonomi yang Terbalik –
“yaitu serangkaian manifestasi terstruktur agen-agen
sosial yang terlibat di dalam arena sastra atau seni (selain di sini ada
karya-karya sastra atau seni, ada juga tindakan-tindakan atau
keputusan-keputusan politik, manifesto-manifesto atau polemik-polemik dan
seterusnya) – tidak bisa dipisahkan dari ruang posisi sastra atau seni yang
ditentukan oleh kepemilkan modal spesifik (pengakuan) dalam jumlah tertentu
sekaligus oleh pendudukan posisi yang sudah kokoh di dalam distribusi modal
spesifik ini”[7]
Saya menagkap modal spesifik yang dibicarakan Bourdieu dalam
kutipan di atas adalah modal budaya/kultural dan simbolis. Yakni modal spesifik
yang tersebar di dalam arena produksi kultural, maka tak heran Bourdieu
menyebut arena ini sebagai dunia ekonomi yang terbalik, dan menempatkan arena
ini sebagai ‘fraksi yang terdominasi kelas dominan’ yaitu arena kekuasaan yang
juga mensyaratkan modal spesifik khas arenanya, yaitu ekonomi-politik. Dalam
contoh kasus yang saya hadirkan di atas, pengertian ini sejauh pemahaan saya
saat ini adalah contoh konsekuensi logis yang khas arena seni. Yakni bagaimana
ketika komunitas dengan kredonya yang berkata “keterbatasan itu tidak terbatas”
akhirnya luluh lantak dihadapan agen-agen/ komunitas lainnya baik satu angkatan
maupun agen-agen yang baru muncul dan berusaha mengikuti jalan kredo seni
mereka setelah mendapatkan kucuran donor yang bersifat modal ekonomi
(finansial, logistik, etc) dan berpengaruh dalam eksplorasi artistik maupun
tematik disetiap produksi karya-karya teaternya. Bourdieu dengan sangat yakin
mengatakan bahwa conto kasus di atas adalah perubahan yang terjadi di dalam
ruag kemungkinan sastra dan seni adalah hasil dari perubahan relasi kekuasaan
yang membentuk ruang posisi-posisi.[8]
Semakin tidak otonom sebuah komunitas
semakin modal kultural dan modal simbolisnya berkurang di dalam arena produksi
kultural (seni), ia akan cenderung mengikuti prinsip hierarki yang dominan
yaitu arena kekuasaan yang didasari dengan penyebaran modal dan perubatan
posisi secara ekonomi-politis.
Sampai di sini, di sebuah awal pertemuan dengan konsep-konsep
Bourdieu, saya memang mendapatkan setidaknya pembacaan yang lebih luas,
kalaupun belum holistik di dalam membaca sebuah fenomena perubahan penggayaan
artistik pertunjukan teater yang sejak
awal saya geluti lewat kritik intrinsik yang diblang Bourdieu sebagai cara
kerja teori-teori seni dan sastra biasa ataupun ekstrinsik secara terpisah,
tapi malah mereduksi pengalaman-pengalaman lain yang sebanarnya berkaitan,
mempunyai relasi, berubah secara bersamaan.***
DAFTAR PUSTAKA
Pierre
Bourdieu, 1993, The Field of Cultural
Production. Essay on Art and Literature, Polity Press, Cambridge.
Diterjemahkan ke dalam versi Indonesia oleh Yudi Santosa, Kreasi Wacana, tahun
2010.
Pierre
Bourdieu, 1984, Distinction. A Social
Critique of the Judgment of Taste, tranlate Richard Nice, Routledge &
Kean Paul, UK.
Pierre
Bourdieu, Choses Dites: Uraian & Pemikiran, Kreasii
Wacana , diterjemahkan dari Choses Dites:
Edition de Minuit, Paris, 1987
[1]
Bourdieu, Arena Intelektual: Sebuah Dunia
yang Tersisih, wawancara dengan Karl-Otto Mave, untuk Norddeutschen Rundfunk, Dalam Choses
Dites: Uraian & Pemikiran, Kreasii Wacana tahun 2011, diterjemahkan
dari Choses Dites: Edition de Minuit,
Paris, 1987
[2][2]
The Logic of Practice, hlm 53; Outline of
Theory of Practice, hal. 72. Dari Pierre Bourdieu, 1993, The Field of
Cultural Production. Essay on Art and Literature, Polity Press, Cambridge.
Diterjemahkan ke dalam versi Indonesia oleh Yudi Santosa, Kreasi Wacana, tahun
2010.
[3]
Homologi ini bisa dideskripsikan sebagai kesamaan dalam perbedaan
(ekuavalensi).
[4]
Bourdieu, 1984, Distinction. A Social
Critique of the Judgment of Taste, tranlate Richard Nice, Routledge &
Kean Paul, UK, hklm. 114.
[5] Johnson,
1993, Editor Introduction Pierre Bourdieu on Art, Literature and Culture dalam
Pierre Bourdieu, 1993, The Field of
Cultural Production. Essay on Art and Literature, Polity Press, Cambridge.
Hal 7 Diterjemahkan ke dalam versi Indonesia oleh Yudi Santosa, Kreasi Wacana,
tahun 2010.
[6] Ibid, hlm xix.
[7] Ibid, hlm 5.
[8] Ibid, hlm 8.
Komentar
Posting Komentar