Langsung ke konten utama

DI ANTARA DUA BAYANG-BAYANG


sumber: http://www.kapanlagi.com/foto/berita-foto/indonesia/musikal-laskar-pelangi.html























Oleh: Taufik Darwis 



“Jangan bertanya apa sudah diberikan teater padamu, tapi pertanyakanlah apa yang sudah kamu berikan pada teater...


Kemiskinan, adalah sebuah kata yang sensitif tapi sekaligus populer di arena pergaulan teater. Kalimat yang saya kutip di atas adalah kalimat yang begitu kentara terdistribusi dari mulut ke-mulut, ketika sedang memproduksi teater atau di dalam obrolan ringan ketika beberapa orang berkumpul membicarakan ihwal mentalitas di teater, biasanya dimulai dari senior kepada juniornya. Ini adalah salah satu pengalaman saya ketika resmi menjadi salah satu mahasiswa juruan teater. Memang, saya mulai mengalaminya ketika mulai masuk dalam pergaulan senior-junior, terutama di dalam kegiatan orientasi kampus dan organisasi mahasiswa. Tapi ternyata, kalimat di atas juga terdistribusi di dalam kegiatan belajar-mengajar formal, dari dosen kepada mahasiswanya, meski memang kalimat yang dikeluarkan tidak sama persis tapi semangatnya sama, yaitu sebagai wacana bagi etos atau istilah yang lebih dikenal sebagai mentalitas, yang ditanamkan disetiap individu di dalam arena pergaulan teater.

Pada awal-awal semester, memang saya merasa kalimat itu hanya sekedar kalimat, tapi ketika mulai memasuki dan menjadi bagian dari sebuah proses penciptaan teater hal itu menjadi aktual, dan akhirnya sangat menjadi aktual ketika saya mulai menjadi senior dan mempunyai rencana proses penciptaan sendiri. “Jangan bertanya apa sudah diberikan teater padamu, tapi pertanyakanlah apa yang sudah kamu berikan pada teater...” adalah semacam kalimat atau logika yang menjembatani diri saya ketika dihadapkan dua pengalaman. Pengalaman pertama adalah pengalaman mencipta dari yang artistik sampai ke yang estetik, yakni proses subjektif-intrinsik antara seniman dengan karya seninya. Dan, pengalaman kedua adalah pengalaman yang berkaitan dengan yang objektif, yang materil, yakni proses ekstrinsik antara seniman dengan fakta-fakta yang membuat intensi penciptaan karya seninya terhambat atau bahkan berhenti.

Dua paragraf awal di atas adalah bagian paling kecil dari wajah Teater Indonesia, sebab ketika saya mulai membaca-baca literatur teater ketika menjadi mahasiswa, saya menemukan berbagai pengalaman yang mungkin sama lewat literatur yang saya baca, terutama di dalam buku Pertemuan Teater 80 yang diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1980. Misalnya tulisan atau kredo dari W.S Rendra: “Kegagahan di Tengah Kemiskinan”, Kredo Rendra tersebut adalah respon bagi fenomena dramawan/ teaterawan yang tidak berdaya di tengah kemiskinan, yang lalu membelas-kasihan dirinya dan merengek pada situasi serta mengemis pada pemerintah, dan menyebabkan dramawan tersebut mengompromikan kualitasnya. Apakah semua itu menandakan bahwa ada respon baru terhadap perubahan-pergeseran paradigma politik atau hanya sebatas respon terhadap ketidakmampuan membaca dan menjawab kemiskinan itu sendiri? yang secara tegas Rendra menyebutkan: miskin penonton; miskin akan kesempatan; miskin modal; miskin gedung; miskin kritikus; miskin penulis; miskin peralatan teknis; dan miskin seniman yang baik.

Kredo Rendra di atas berusaha memberi semangat dan memberi jalan tentang bagaimana teater secara kreatif harus berangkat dari kemiskinannya sendiri. Kredo ini juga satu semangat dan diperkuat dengan kredonya Putu Wijaya: “Bertolak Dari Yang Ada”. Fenomena kemiskinan dan pertaruhan pencapaian kreasi artistik yang otonom dari campur tangan pemerintah yaitu rezim Orde Baru, menjadi sebuah lanskap peristiwa respon-respon kelompok teater di masa 70-90an. Bagi yang ingin mendapatkan dana segar dari pemerintah dia harus mengikuti apa yang diwacanakan pemerintahan Orde Baru, yaitu mengaitkan pembangunan nasional dengan kebudayaan nasional, hal itu menyebabkan beberapa kelompok teater memilih adaptif dan terlibat dalam bentuk-bentuk tradisional (nativis) yang diinginkan pemerintah (Bodden, 2009: 919). Misalnya di tahun 1990, baik Menteri Penerangan Harmoko maupun Koordinator Keamanan Sudomo membenarkan larangan pemerintah terhadap drama Riantiarno/ Teater Koma dengan mengatakan bahwa drama itu bagaimanapun berada di luar batas budaya nasional dan ideologi yang resmi (Govt deies confining 1990; Menko polkam 1990, dikutip Bodden, 2008: 367)





"ZERO" Teater Mandiri (Foto: Taufik Darwis)

Bagi yang tak setuju dan lebih bersikap kritis terhadap pemerintah terutama mengenai korupsi dan nafsu kekuasaan Orde Baru, mereka memilih sikap resisten. Ada yang terang-terangan, ada yang melalukannya dengan memproduksi teater-teater metaforis. Jadi, tidak semua kelompok teater membuat respon yang sama terhadap paradigma politik Orde Baru. Sebuah periode milik rezim sensor dan represif, yang melakukan sentralisasi politik dan memistifikasi ideologi pembangunan. Tidak semua respon ktidak semua kelompok teater melakukan adaptasi, tapi juga ada ‘negosiasi’ terhadap dominasi itu. Bila Rendra melakukan resistensi dengan budaya anti kemapanan dan menjadikan teaternya sebagai sarana kritik politik dengan cara mensimiliarisasi tokoh drama dengan figur aktual penguasa, memakai aksen oratorik yang lantang untuk diksi dramatiknya; dan karakterisasi peran menjadi tipikalisasi. Teater Akademis ala Suyatna Anirun, Teguh Karya, Wahyu Sihombing meresponnya secara adaptif tetap mengusung tema-tema universal, kesempurnaan artistik, dan melakukan alienasi terhadap isu politik. 

Lalu bagaimana dengan teater yang melakukan ‘negosiasi’? Model estetikanya adalah teater metaforik, misalnya: Teater Kecil Arifin C. Noer yang menghablurkan surealitas dengan realitas, narasi-narasi teksnya reflektif; Teater Mandiri Putu Wijaya yang melakukan anonimitas tokoh dan latar, diksi-diksi eksplosif, melakukan contra-picture atas realitas; Teater Koma menggunakan lingua franca masyarakat kota, stilisasi diksi dan skeneri, mempergunkan bahasa sebagai spektakel verbal, hingga sangat musikal; dan Teater Gandrik meskipun secara tematik sangat lokal tapi mempunyai fleksibilitas kritik, dan melakukan diskursus aktual dalam komunikasi tradisional (Benjon, 2006: 8-10). Terlepas dari derajat indenpendensinya, arena seni terus terpengaruh oleh hukum-hukum arena yang menanunginya, yaitu keuntungan ekonomi dan politis. 

Apa yang menyebabkan nama-nama di atas begitu tegas ditulis oleh saya dibandingkan dengan nama-nama lain yang juga sangat mungkin melakukan respon-respon tertentu? Sosiologi seni Bourdieu: arena produksi seni (teater) terdapat di dalam arena kekuasaan namun ia mempunyai otonomi yang relatif dengan melakukan negasi (dengan konsekuensi disensor), negosiasi, dan adaptasi terhadap kekuasaan, terutama dalam soal prinsip-prinsip hierarki ekonomi dan politisnya. Ia menempati posisi “yang terdominasi” di dalam arena kekuasaan ini, namun meletakan diri di kutub dominan relasi-relasi kelas. Melalui Bourdieu lewat analisis arena produksi kultural, saya mencirikan pengakuan atas nama-nama tokoh teater tersebut terjadi karena prinsip hierarki di dalam arena produksi kultural (seni), yaitu:  prinsip heteronom, kesuksesan di dalam arena kekuasaan, terutama karena menyebabkan arena seni kehilngan otonominya, tunduk pada hukum dan aturan yang berlaku di arena kekuasaan politik dan ekonomi; dan prinsip otonom: prestise artistik otonomi total dari hukum-hukum pasar dan negara. Bila kita lihat kondisi-kondisi kemiskinan sebagi basis keratifitas, dalam kuasa ekonomi-politik yang membuat pengakuan atas nama-nama di atas adalah pengakuan atas prinsip hierarki otonom, yakni derajat pegakuan yang diterima oleh mereka yang mengakui tidak ada lagi kriteria legitim yang lebih syah ketimbang pengakuan orang-orang yang mereka akui. Prinsip ini akan berkuasa tanpa perlawanan jika arena produksi dimaksudkan untuk memperoleh otonomi total dari hukum-hukum pasar.

Masih banyak kelompok teater di periode Orde Baru yang belum saya sebutkan, masih ada nama-nama seperti Satu Merah Panggung dan Teater Buruh yang mempunyai kecenderungan mengadvokasi publik. Lalu SAE, Kubur, Payung Hitam yang mengutamakan narasi putik dari tubuh dan benda dan kelompok teater lain yang juga tumbuh di berbagai tempat yang jarang disebutkan di dalam sejarah teater modern Indonesia. Beberapa ada yang bubar, ada yang langgeng, ada yang berganti nama dan ada yang tertatih-tatih melakukan regenerasi. Berbarengan dengan bergantinya periode dari mulai pasca Orde Baru sampai sekarang, selain kelompok-kelompok yang saya sebutkan sebelumnya, juga terdapat kelompok-kelompok baru yang tumbuh. Lalu, paradigma politik apa yang direspon? Kebanyakan orang menyebutnya pasca-reformasi atau demokrasi, di mana dari wacana yang sering terdengar adalah kebingungan mencari ‘musuh bersama’, karena yang terjadi di arena kekuasaan adalah pertentangan frontal antar aktor-aktor kekuasaan, dari modal-modalnya sampai masuknya lembaga-lembaga baru yang datang dari mana saja. Bila pada periode Orde Baru atau reformasi sudah terjadi berbagai macam respon, sekarang bisa dibilang ‘tidak ada respon’, dalam arti responnya bukan respon terhadap yang pusat yaitu terhadap pemerintah, tapi terhadap yang banyak, yang plural. Apa yang banyak dan plural itu? Kekuasaan dan modal. Penyebaran modal, juga diikuti oleh tumbuhnya produksi-produksi teater.



sumber: http://indonesiakreatif.net/news/liputan-event/jogja-broadway-upaya-menciptakan-tradisi-menonton-pertunjukan/

Di wilayah arena teater yang membuat produksi dengan skala kecil dengan prinsip hierarki otonomnya, pelbagai kelompok ‘bergelut’ dan ‘bertarung’ di bawah lembaga-lembaga donor kebudayaan-kesenian dan campur tangan anggaran pemerintah. Yakni dinamika dalam memperebutkan atau mengacuhkan hibah kompetisi lembaga tertentu dengan agenda khas lembaga itu. Misalnya yang paling kentara adalah fenomena lembaga donor-lembaga donor, kompetisi memperebutkan hibah, banyaknya logo-logo di poster pertunjukan yang hampir sama, dan berita pulang-pergi seniman atau kelompok teater dari dan ke luar negeri, dalam kurun transisi Orde Baru sampai hari ini, semua itu seolah-olah menunjukan bahwa kredo “Kegagahan di Tengah Kemiskinan” Rendra atau “Bertolak Dari yang Ada” Putu Wijaya di Pertemuan Teater 80 sudah tidak terlalu relevan dalam konteks arena teater hari ini. Saya beranggapan, ada proses pergeseran tematik dari masalah-masalah yang “besar” ke masalah-masalah yang “banyak”. Yang paling kentara adalah tema-tema tentang pluralisme, anti diskriminasi dari lembaga donor: diskriminasi perempuan, ras/etnis, peristiwa-peristiwa berdarah Orde Baru, LGBT; dan tema-tema yang juga berasal dari pemerintah, seperti ekologi (lingkungan) atau bau-bau ketradisionalan ala neoOrba di mana peristiwa kesenian kita adalah Taman Besar Indonesia Indah (TBII). Di wilayah ini kita jangan berusaha memahami anti-ekonomi dengan perspektif ekonomi. Sebab secara relatif, di wilayah ini tidak ada keuntungan finansial, tapi menawarkan pendapatan modal kultural dan simbolik  sebagai tanda kesenimanan.

 Di wilayah teater (kalau bisa dibilang begitu) untuk orang kebanyakan yang membuat produksi skala besar, dengan prinsip hetoronomnya yang didukung oleh mereka yang mendominasi arena secara ekonomis dan politis (seni borjuis). Beberapa kelompok bergulat bagaimana pertunjukannya mendapatkan dana segar yang banyak dan tiketnya juga mahal. Jadi ada etos yang dijaga yaitu mendapatkan keuntungan finansial tinggi (modal ekonomis) tapi prestise rendah (modal kultural). Sebut saja produksi-produksi yang berlabel “drama musikal”, seperti: Laskar Pelangi, Lutung Kasarung, Timun Mas, atau lintasan produksi-produksi Teater Koma dan Jogja Brodway ala salah satu divisi di Teater Garasi.

Di titik ini saya akan menutup dengan secara sadar untuk tidak menawarkan dan merekomendasikan strategi apa yang harus ditempuh kelompok maupun seorang seniman teater ketika kita ada di bawah bayang-bayang kekayaan yang ditawarkan oleh kekuasaan ekonomi dan politik, tapi juga sekaligus dibawah bayang-bayang kemiskinan sebuah visi karismatik seorang nabi bagi zaman yang kadang-kadang mampu mengonversikan status kenabianya menjadi nasi padang, timbel komplit, sebuah smart phone keluaran terbaru, atau sekadar sebuah city car. Sebab kita semua belum atau memang tidak pernah selesai saling berebut, membedakan diri dan menempati posisi masing-masing.***

*sebagai prolog diskusi,  disampaikan di seminar "Fenomena Drama Musikal dalam Industri Kreatif" Jurusan Teater STSI Bandung, 15 Juli 2013 di G.K Sunan Ambu STSI Bandung.


Daftar Pustaka:
Benjon, 2006, Diktat Kritik Teater, Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung.

(Ed) Keith Foulcher dan Tony Day, 2008, Clearing a Space: Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial, Yayasan Obor, Jakarta.

Pierre Bourdieu, 1993, The Field of Cultural Production. Essay on Art and Literature, Polity Press, Cambridge.


Pierre Bourdieu, 2011, Choses Ditses: Uraian & Pemikiran, Kreasii Wacana, diterjemahkan dari Choses Dites: Edition de Minuit, Paris, 1987.

(Ed) Wahyu Sihombing, Pertemuan Teater 80, Dewan Kesenian Jakarta, 1980.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka