Langsung ke konten utama

CATATAN DARI PERISTIWA YANG TIDAK DIULANG



Oleh Taufik Darwis




“ Aku tidak tahu kenapa aku merajut, dan untuk apa aku merajut”. Entah dalam keadaan ketidak tepatan teknis,  kalimat ini diucapkan seorang istri (Hanna Rosiana) dengan begitu kosong namun berat sambil melakukan aktivitas merajut kepada suaminya (Mohammad Aditya) yang terus awas memandang keluar jendela, setelah mengambil jarak waktu cukup lama dari lampu menyala tanda pentas dimulai.

                Tapi saya kira, di luar kemungkinan ketidaktepatan teknis tersebut, kalimat  seorang istri itu akan menjadi semacam metafor  dan pintu yang terbuka bagi saya untuk masuk dalam alur repetitif pementasan Kembali  yang dipentaskan kali kedua oleh Jalan Teater,  di Institute Francais Bandung, (18/10/13) Jum’at malam. Saya mendapat temuan itu setelah mengikuti acara jumpa pers dua hari sebelumnya. Fredrik datang langsung dari Norwegia ke Bandung untuk menyaksikan sekaligus mendokumentasikan pementasan dari naskahnya yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Syarah Meldiana.  Pada jumpa pers tersebut, saya menanyakan langsung kepada Fredrik Brattberg (penulis naskah) tentang bagaimana naskahnya dapat meraih penghargaan di The Ibsen Award 2012. Menurutnya, para pengamat menilai bahwa naskah Kembali  ini menarik perhatian karena sebagai seorang berlatarbelakang komposer  dan belajar musik klasik, Fredrik berhasil menerjemahkan komposisi musik di dalam penulisan naskah drama, yaitu melalui pengembangan plot dengan teknik repetisi melodi yang berdasarkan pada dua tema, kepasrahan dan harapan. Beberapa pengamat mencirikan dramanya bergenre komedi gelap. Karena mendapatkan informasi tersebut, saya kemudian mengarahkan proses menonton saya dengan apa yang dikatakan Ferdrik atau para pengamat lewat tuturan Fedrik.






Saya percaya bahwa ketika kita menetapkan sebuah genre tertentu dalam setiap melakukan pembacaan atau menuliskan, kita tidak hanya sekedar sedang menggunakan seperangkat alat dengan gaya tertentu, tapi juga menciptakan efek kebenaran tertentu terhadap cara kita memandang dunia, ada lapis-lapis pemaknaan di situ. Dan kalimat seorang istri yang saya kutip di atas, saya jadikan pintu masuk pemaknaan itu. Tapi kemudian, setelah menonton sampai akhir, saya seperti terjebak dengan adegan seorang istri yang merajut, sebuah aktivitas tipikal yang saya sering temui dibeberapa proses menonton teater atau film yang mempunyai tokoh Ibu, biasanya di dalam pementasan naskah-naskah terjemahan (terakhir di dalam pementasan Paman Vanya di Bandung).

Merajut juga merupakan aktivitas yang berulang bukan? di situ ada harapan dari kesetiaan merajut dan kepasrahan dari ketidaktahuan kenapa harus merajut. Kenapa dia mengatakan kalimat tersebut, sedangkan tangannya terus merajut? Tidak lain, di dalam peristiwa itu, dia (Ibu) begitu tahu kenapa harus merajut. Peristiwa itu adalah cara untuk menutupi kehilangan anaknya yang bernama Gustav (Rendra Wicaksono). Tapi kemudian di titik ini terdapat peristiwa lain, yaitu bagaimana penulisan Fedrik ataupun penyutradaraan Sahlan Bahuy  melampaui semacam kanal yang menyimpan dua tema tadi: antara kepasrahan dan harapan, antara afirmasi dan negasi, dengan menghadirkan frekuensi waktu yang repetitif dan menjadikan tokoh yang diperankan aktor sebagai narator juga,  artinya Fedrik memberi semacam hak bicara pada ketidaktahuan di adegan awal tadi.












            Ada lima kali kabar kematian dan kembalinya  seorang anak di rumah itu. Dan di setiap kabar kematian dan kembali itu, selalu ada pemosisian tokoh yang sedang diperankan sebagai narator untuk melogikakannya. Seolah-olah mereka bisa menerjemahkan absurditas dari limat kali peristiwa kematian dan ‘kembalinya’ Gustav  yang datang dengan cara dan kesannya yang berbeda-beda (kematian terakhir  dikerjakan oleh orangtuanya sendiri), yang dihadapi dengan cara yang berbeda-beda juga. Yang  menyamakan dari setiap adegan adalah peristiwa mati, hidup, lapar, dan makan. 






          Misalnya, yang paling berkesan pada proses menonton saya adalah berita kematian Gustav kali keempat (kalau tidak salah) yang diterima Ibunya lewat telefon. Dengan sambil memasak, dia tertawa mendengar berita kematian Gustav: “kenapa saya ketawa? Saya lega kalau Gustav benar-benar meninggal”Setelah menerima kabar itu, Ibu langsung membawa jasad Gustav  dengan cara menggusurnya (yang masih memakai pakaian yang sama) ke dalam rumah, dia tidak terpikir membawa jasad anaknya ke rumah sakit atau ke rumah duka. Dan setelah suaminya datang dari kantor, dia memberitahu bahwa jasad Gustav ada di rumah. Mereka kemudian bersiap-siap makan sambil membicarakan hal-hal yang ringan, termasuk membicarakan orang lain. Tapi tak lama, Gustav hidup kembali.


Gustav hidup kembali, padahal suami-istri itu merasa sudah bisa memaknai kematian dengan cara mendatanginya, yaitu masuk ke dalam sumber ingatan itu sendiri, dalam segala aktifitas yang punya hubungan dengan  makan. Hingga mereka memutuskan mencekik anaknya sendiri. Tapi tidak berhasil juga. Gustav hidup-mati, hidup mati lagi, hidup lagi, mati lagi.   Sampai keluarlah semacam kalimat yang dipercaya bisa mengatasi semuanya: “kita tidak boleh merindukan dan mengharapkan lagi”. Ibu mengikatkan secara vertikal  sebuah syal pramuka berwarna kuning pepaya di kepala Gustav. Pancaran sinar lampu berwarna hijau yang ditata Aji Sangiaji masuk ke dalam rumah setelah ibu membukakan pintu, Gustav  perlahan-lahan pergi. Pintu di tutup Ibu. 



Di manapun Bahuy menyaksikan proses penyutradaraannya, lewat adegan yang dramatis di detik-detik akhir pementasan ini,  dia bisa tidak terlalu gusar dan kesal  atau menyadari  capaian penyutradaraannya  atas beberapa kali ketidaktepatan teknis dalam meniti “sirkulasi kecerdasan akan ingatan atau penghayatan pengalaman” dari proses hidup dan mati yang berulang-ulang dalam suatu rumah yang mempunyai waktu khusus juga. Atau di ruang operator,  Aji pasti merasa tenang  dan (mungkin) bangga karena adegan tersebut berlangsung sangat dramatis berkat penataan cahayanya dan (mungkin) juga menggiring proses menonton bahwa adegan tersebut adalah adegan akhir di pementasan yang memakai  tehnik pengulangan dan pelebaran melodi ini. Tapi tidak, pementasan belum selesai. Sebab lalu ada terdengar ketukan pintu lagi, entah siapa yang mengetuk itu. Bisa Gustav, bisa diri mereka juga.  Pementasan ini mempunyai akhir yang terbuka.  Peristiwa dari kembalinya ada yang mengetuk pintu, menandakan bahwa tidak semuanya berhasil dilogikakan lewat  pemberian fokalisasi narator kepada setiap perannya (suami-istri).  Sebab diakhir kematian yang dihadapi dengan cara masuk kedalam sumber ingatan itu sendiri sebagai cara terakhir menegasi harapan ternyata tidak berhasil. 

Negasi merepresentasikan sesuatu yang absen (tidak hadir) namun ia tidak menghadirkan  “ketidakhadiran” itu sendiri.  Sebab yang tidak hadir itu bukan berarti tidak ada. Suami istri itu seolah percaya, jika kita ingin melampaui sebuah ruang maka kita harus tiba di ruang lain. Tapi ternyata tidak, karena  ruang yang tidak dapat dilampaui sama sekali, tidak bisa dilampaui dengan negasi juga. Ruang itu adalah ruang yang tidak diulang dalam beberapa frekuensi waktu, tapi yang terjadi dalam satu frekuensi waktu, singulatif, yaitu aktivitas merajut  Ibu dan kalimat yang diucapkannya: “Aku tidak tahu kenapa aku harus merajut, dan untuk apa aku harus merajut..”



        Tidak ada kepura-puraan dari  di dalam peristiwa tersebut, seperti kepura-puraan dalam menghidupkan dan mendatangkan anaknya kembali ke rumah mereka yang dilakukan untuk melampaui pernyataan yang menderitakan  mereka, padahal  pertanyaan itu  tidak bisa dijawab sebab jawabannya sudah ada. Proses pelampauan tersebut adalah pelampauan imajiner, dan bahkan keinginan pelampauan  tersebut juga adalah imajiner. Pentingnya penolakan tidak terletak pada kebohongan di tingkat penuturannya atas apa yang terjadi secara faktual,  melainkan terletak pada kebohongan di tingkat performatifnya. Ada dua kemungkinan yang saya temukan dalam proses menoton pementasan Kembali ini. Pertama, Fedrik begitu senang mempermainkan subjek-subjeknya yang menderita. Kedua, Fedrik membujuk penonton untuk meninggalkan subjek fantasmiknya. Bagaimana? ***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka