Langsung ke konten utama

MEMBACA KARTONO DAN PANJANGNYA MASA KANAK-KANAK INDONESIA

9 Desember 2013 pukul 11:21

Raden Mas Panji Sosrokartono lahir di Mayong pada hari Rabu Pahing tanggal 10 April 1877 M. Beliau adalah putera R.M. Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Kakak dari Kartini ini, setelah tamat dari Eropesche Lagere School di Jepara, melanjutkan pendidikannya ke H.B.S. di Semarang. Pada tahun 1898 meneruskan sekolahnya ke negeri Belanda. Mula-mula masuk di sekolah Teknik Tinggi di Leiden, tetapi merasa tidak cocok, sehingga pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur. Beliau merupakan mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke negeri Belanda, yang pada urutannya disusul oleh putera-putera Indonesia lainnya. Dengan menggenggam gelar Docterandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden, beliau mengembara ke seluruh Eropa, menjelajahi pelbagai pekerjaan. Pada tahun 1917, koran Amerika The New York Herald Tribune, di kota Wina, Ibukota Austria, bekerja sebagai wartawan perang untuk meliput Perang Dunia I.

Beberapa potong alinea dari papper (Raden Mas Pandji Sosro) Kartono: berjudul: Bahasa Belanda di Hindia, dipresentasikan dalam kongres Bahasa Belanda dan Sastra XXV


Beberapa potong alinea dari papper (Raden Mas Pandji Sosro) Kartono: berjudul: Bahasa Belanda di Hindia, dipresentasikan dalam kongres Bahasa Belanda dan Sastra XXV




Teringat dengan diskusi-diskusi tentang mitologi  yang ada di Indonesia baik formal ataupun santai makin sering dibuat, semisal diskusi terakhir di Sanata Dharma tentang mitologi Dewi Sri/Padi di Bugis, Jawa dan Sunda. Di abad 19, di mana  Kartono hidup adalah abad dimana modernitas datang ke Indonesia dalam berbagai bentuknya, baik ilmu pengetahuan atau politik. Dan di waktu yang sama juga ada lapisan masyarakat di Indonesia (khususnya Jawa) justru sedang memproduksi teks-teks seperti Dewi Sri tadi. Apakah artinya teks-tek mitologis itu untuk perkembangan historis di Indonesia? Sementara banyak ilmuwan datang ke Indonesia (belum ada nama Indonesia) meneliti sejarah tanaman di Indonesia.

Kartono lewat pidatonya itu sedang memperdebatkan dan mendorong ilmu pengetahuan, sementara yang lain masih sibuk dengan mitologi. Dalam perspektif psikoanalisa, pengalaman ini adalah pengalaman seseorang atau masyarakat membentuk egonya. Pidato Kartono adalah permintaan dirinya dihadapan sebagian besar orang Belanda, permintaannya adalah agar masayarakat (Jawa) diberi akses untuk belajar bahasa Belanda.  Tapi permintaannya yang ketika dibaca mengakibatkan kegelian itu tidak dipenuhi. Pantas tidak, pidatonya dibacakan dihadapan sebagian besar orang Belanda itu? Seandainya pidatonya dipenuhi, apakah  yang dimaui dan diperjuangkan Kartono membawa kebaikan dan kemajuan bagi rakyat “Indonesia” dan Jawa?

Bagaimana mekanisme (lewat Psikoanalisa Lacanian) ego kolektif dan subjek muncul? Subjek itu hanya ada/lahir/muncul ketika orang bicara (berupa peristiwa) dalam tatanan simbolik (ideologi, aturan, ilmu pengetahuan, Ayah). Tapi subjek tidak hanya lahir disitu, ia bisa menjadi subject before subjectivation setelah bisa malampaui yang simbolik. Pidato Kartono tidak ada dalam pengalaman keduanya, masih pra-simbolik alias imajiner, atau tepatnya, mau ke simbolik. Simbolik dalam artian apa?  Ya dalam tatanan tuan Belanda. Kartono sedang membangun sebuah usaha untuk diakui sebagai subjek oleh tatanan simbolik, tapi simboliknya Belanda.

Secara teoritis, kalau orang gagal masuk tatanan simbolik ya gejalanya adalah psikosis, masa kanak-kanaknya  diperpanjang, ini mirip dengan penilaian atas para penerima beasiswa yang di Australia. Kalau gak hati-hati beasiswa itu hanya menginfantilisasi mahasiswa Indonesia. Mereka lulus dan diluluskan hanya karena mereka orang Indonesia, bukan atas dasar kemampuannya. Salah satu strategi kolonal adalah mengkanak-kanakan masyarakat yang harusnya berkembang (bisa menjadi sebagai penghinaan). Di dalam pra-simbolik, anak sudah mengalami energi libidinalnya dan mau mencari lyan untuk objek pemuasan, tapi tidak boleh. Akhirnya naluri untuk incest dengan ibunya diterjemahkan dalam bahasa untuk cari pengganti lost object di masyarakat (pembudayaan/normalisai energi libidinal).

Kalau misalnya masuk ketatanan simbolik tidak boleh, apa yang terjadi dikalangan orang jajahan seperti Kartono? Apakah seorang wartawan koran bisa mengalami pembentukan subjek menjadi orang indoneisa (subjek politik)? Atau hanya kemauan menjadi subjek kolonial? Jangan terburu-buru mengatakan dia orang hebat. Jangan-jangan Kartono kayak Basuki Abdullah dan Raden Saleh? Yang tiada lain adalah seorang psikotik yang tidak pernah berhasil masuk dalam tatanan simboliknya Belanda.  Dan ternyata di peristiwa ini tidak ada peristiwa represif antara subject Belanda terhadap Kartono, tapi hanya tidak dipenuhi permintaannya. Represi itu kan terjadi kalau seseorang mau menginginkan objek seksual yang terlarang (oedipus kompleks). Orang diancam oleh pihak ketiga (ayah, sosok simbolik). Untuk kasus Kartono, yang terjadi malah bentuk larangan, melarang menggunakan hukum, yang simbolik. Jadi malah tidak perlu represi.

Apakah betul tidak terjadi represi?  Sebetulnya, yang normal dalam pembentukan subjek pejuang/politik, seharusnya seseorang itu tidak boleh terus bersatu dengan ibunya (tanah air). Persoalannya di sini kita belum melihat komunitas politik yang membuat seseorang merepresi nalurinya untuk bersatu dengan ikatan primodial.  Nampaknya, di sini belum terjadi represi, dalam arti, seseorang belum dipaksa untuk meninggalkan yang terlarang (ikatan primordial).  Dengan kata lain, sosok seperti Kartono masih agak jauh dari represi,  alias baru punya pengalaman atas kebertubuhannya (gestalt).

Hal yang belum terbahas adalah: tatatan simbolik kolonial belanda (imperialism symbolik order/ sosial linguistik) itu kayak apa? Karena nanti, kalau tidak sampai kesana, pascakolonial di indonesia belum bisa dibahas. Kita jadi  hanya mengada-ada,  ciri pascakolonial itukan, orang tidak kerasan dengan tatanan yang sudah mapan, karena tatanan yang ada dibuat di zaman Belanda. Pengalaman Indonesia tidak bisa disamakan dengan pengalaman negara-negara lain.

(dari perspektif Belanda) Sejauh mana orang-orang Belanda mau menggunakan orang semacam Kartono masuk dalam tatanan simboliknya orang Belanda? Mengapa orang Belanda melarang orang Jawa menggunakan bahasa Belanda? Kalau tidak boleh, orang-orang yang tidak boleh itu posisinya dimana? Sebab motif Kartono dalam menggunakan bahasa Belanda tidak sama dengan motif yang dikhawatirkan orang Belanda, ada perbedaan penafsiran terhadap pemakaian bahasa Belanda. Ini mendesak diteliti, agar penelian historis itu analitis dan tidak sekedar memuja dan melaknat. Urusannya lain, kalau Kartono hanya fokus pada bahasa Belanda, sebagai pintu gerbang menuntut ilmu, itu menarik karena tatanan simboliknya adalah modernitas. ***

*catatan dari diskusi penuh ketawaketiwi, karena menghubung-hubungkan dengan gelas penuh kopi yang dipecahkan kemarin siang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka