9 Desember 2013 pukul 11:21
Beberapa
potong alinea dari papper (Raden Mas Pandji Sosro) Kartono: berjudul:
Bahasa Belanda di Hindia, dipresentasikan dalam kongres Bahasa Belanda
dan Sastra XXV
|
Teringat dengan diskusi-diskusi tentang mitologi yang ada di Indonesia baik formal ataupun santai makin sering dibuat, semisal diskusi terakhir di Sanata Dharma tentang mitologi Dewi Sri/Padi di Bugis, Jawa dan Sunda. Di abad 19, di mana Kartono hidup adalah abad dimana modernitas datang ke Indonesia dalam berbagai bentuknya, baik ilmu pengetahuan atau politik. Dan di waktu yang sama juga ada lapisan masyarakat di Indonesia (khususnya Jawa) justru sedang memproduksi teks-teks seperti Dewi Sri tadi. Apakah artinya teks-tek mitologis itu untuk perkembangan historis di Indonesia? Sementara banyak ilmuwan datang ke Indonesia (belum ada nama Indonesia) meneliti sejarah tanaman di Indonesia.
Kartono lewat pidatonya itu sedang memperdebatkan dan mendorong ilmu pengetahuan, sementara yang lain masih sibuk dengan mitologi. Dalam perspektif psikoanalisa, pengalaman ini adalah pengalaman seseorang atau masyarakat membentuk egonya. Pidato Kartono adalah permintaan dirinya dihadapan sebagian besar orang Belanda, permintaannya adalah agar masayarakat (Jawa) diberi akses untuk belajar bahasa Belanda. Tapi permintaannya yang ketika dibaca mengakibatkan kegelian itu tidak dipenuhi. Pantas tidak, pidatonya dibacakan dihadapan sebagian besar orang Belanda itu? Seandainya pidatonya dipenuhi, apakah yang dimaui dan diperjuangkan Kartono membawa kebaikan dan kemajuan bagi rakyat “Indonesia” dan Jawa?
Bagaimana mekanisme (lewat Psikoanalisa Lacanian) ego kolektif dan subjek muncul? Subjek itu hanya ada/lahir/muncul ketika orang bicara (berupa peristiwa) dalam tatanan simbolik (ideologi, aturan, ilmu pengetahuan, Ayah). Tapi subjek tidak hanya lahir disitu, ia bisa menjadi subject before subjectivation setelah bisa malampaui yang simbolik. Pidato Kartono tidak ada dalam pengalaman keduanya, masih pra-simbolik alias imajiner, atau tepatnya, mau ke simbolik. Simbolik dalam artian apa? Ya dalam tatanan tuan Belanda. Kartono sedang membangun sebuah usaha untuk diakui sebagai subjek oleh tatanan simbolik, tapi simboliknya Belanda.
Secara teoritis, kalau orang gagal masuk tatanan simbolik ya gejalanya adalah psikosis, masa kanak-kanaknya diperpanjang, ini mirip dengan penilaian atas para penerima beasiswa yang di Australia. Kalau gak hati-hati beasiswa itu hanya menginfantilisasi mahasiswa Indonesia. Mereka lulus dan diluluskan hanya karena mereka orang Indonesia, bukan atas dasar kemampuannya. Salah satu strategi kolonal adalah mengkanak-kanakan masyarakat yang harusnya berkembang (bisa menjadi sebagai penghinaan). Di dalam pra-simbolik, anak sudah mengalami energi libidinalnya dan mau mencari lyan untuk objek pemuasan, tapi tidak boleh. Akhirnya naluri untuk incest dengan ibunya diterjemahkan dalam bahasa untuk cari pengganti lost object di masyarakat (pembudayaan/normalisai energi libidinal).
Kalau misalnya masuk ketatanan simbolik tidak boleh, apa yang terjadi dikalangan orang jajahan seperti Kartono? Apakah seorang wartawan koran bisa mengalami pembentukan subjek menjadi orang indoneisa (subjek politik)? Atau hanya kemauan menjadi subjek kolonial? Jangan terburu-buru mengatakan dia orang hebat. Jangan-jangan Kartono kayak Basuki Abdullah dan Raden Saleh? Yang tiada lain adalah seorang psikotik yang tidak pernah berhasil masuk dalam tatanan simboliknya Belanda. Dan ternyata di peristiwa ini tidak ada peristiwa represif antara subject Belanda terhadap Kartono, tapi hanya tidak dipenuhi permintaannya. Represi itu kan terjadi kalau seseorang mau menginginkan objek seksual yang terlarang (oedipus kompleks). Orang diancam oleh pihak ketiga (ayah, sosok simbolik). Untuk kasus Kartono, yang terjadi malah bentuk larangan, melarang menggunakan hukum, yang simbolik. Jadi malah tidak perlu represi.
Apakah betul tidak terjadi represi? Sebetulnya, yang normal dalam pembentukan subjek pejuang/politik, seharusnya seseorang itu tidak boleh terus bersatu dengan ibunya (tanah air). Persoalannya di sini kita belum melihat komunitas politik yang membuat seseorang merepresi nalurinya untuk bersatu dengan ikatan primodial. Nampaknya, di sini belum terjadi represi, dalam arti, seseorang belum dipaksa untuk meninggalkan yang terlarang (ikatan primordial). Dengan kata lain, sosok seperti Kartono masih agak jauh dari represi, alias baru punya pengalaman atas kebertubuhannya (gestalt).
Hal yang belum terbahas adalah: tatatan simbolik kolonial belanda (imperialism symbolik order/ sosial linguistik) itu kayak apa? Karena nanti, kalau tidak sampai kesana, pascakolonial di indonesia belum bisa dibahas. Kita jadi hanya mengada-ada, ciri pascakolonial itukan, orang tidak kerasan dengan tatanan yang sudah mapan, karena tatanan yang ada dibuat di zaman Belanda. Pengalaman Indonesia tidak bisa disamakan dengan pengalaman negara-negara lain.
(dari perspektif Belanda) Sejauh mana orang-orang Belanda mau menggunakan orang semacam Kartono masuk dalam tatanan simboliknya orang Belanda? Mengapa orang Belanda melarang orang Jawa menggunakan bahasa Belanda? Kalau tidak boleh, orang-orang yang tidak boleh itu posisinya dimana? Sebab motif Kartono dalam menggunakan bahasa Belanda tidak sama dengan motif yang dikhawatirkan orang Belanda, ada perbedaan penafsiran terhadap pemakaian bahasa Belanda. Ini mendesak diteliti, agar penelian historis itu analitis dan tidak sekedar memuja dan melaknat. Urusannya lain, kalau Kartono hanya fokus pada bahasa Belanda, sebagai pintu gerbang menuntut ilmu, itu menarik karena tatanan simboliknya adalah modernitas. ***
*catatan dari diskusi penuh ketawaketiwi, karena menghubung-hubungkan dengan gelas penuh kopi yang dipecahkan kemarin siang.
Komentar
Posting Komentar