Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2014

MENGAPA SENIMAN MISKIN? (1)

disarikan dari Why are Artists Poor: The Exceptional Economy of the Art s. Amsterdam University Press, Amsterdam , 2002. karya Hans Abbing.   oleh Taufik Darwis               Pada bagian pengantarnya, Abbing langsung mengemukaan pelbagai pertanyaan mendasar “Mengapa pendapatan rata-rata seniman rendah? Mengapa begitu banyak orang masih menjadi seniman meskipun prospek pendapatannya rendah? Dan mengapa seni sepertinya sangat bergantung pada hibah seperti subsidi dan donasi? Apakah tiga fenomena ini punya kaitan? [...] Apakah seniman yang memperoleh pendapatan rendah mengorbankan diri mereka untuk seni, atau mereka sedang dikorbankan oleh sistem yang berpura-pura mendukung mereka?” Pertanyaan tersebut ditujukannya kepada pemahaman umum bahwa pendapatan rendah dan atau pun tinggi seniman tidak tergantung pada kepedulian publik terhadap seni, sehingga seniman mau tidak mau melibatkan lembaga donor untuk membiayai karya seninya.  Penelitiannya menarik perhatian saya ka

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (2)

Oleh Taufik Darwis TEATER YANG LAHIR DARI KE-WARGA-DUNIA-AN ASRUL? Coba saja pikir, ketika itu kedaulatan Negara baru saja didapatkan setelah sekian lama perjuangan berdarah dan diplomasi dijalankan. Belum sampai bernafas lega, tiba-tiba Negara yang masih sangat muda ini menghadapi sekian banyak masalah politik, ekonomi, dan sosial. Di saat seperti itu tiba-tiba pula Asrul tampil dengan sebuah pernyataan yang dengan lantang menggugah kesadaran dan orientasi kultural. Baru saja sebuah batas perjalanan sejarah bangsa berhasil didirikan dengan darah dan air mata, ia tampil dengan pernyataan kultural yang terasa seperti merelatifkan batas itu – “Kami adalah ahli waris yang sah kebudayaan dunia dan kebudayan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri”.  Mengapa tidak mengatakan “ahli waris kebudayaan nenek moyang?” bukankah ini bikin perkara namanya? (Abdulah, 1997: xiv)             Kalimat tersebut sengaja saya kutip dari kata pengantar Taufik Abdullah dalam buku Surat-Sur

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka