Langsung ke konten utama

PENDIDIKAN INDONESIA: SURPLUS LAPORAN, MINUS PERUBAHAN



Rekomendasi Bagi Kematian Civitas Akademika di Dalam Lingkaran Jahanam Manajerialisme Anjing!

Catatan dari presentasi St. Sunardi 
di Equator_Symposium Biennale Yogyakarta, 17-18 November 2014




Manajemen meskipun sedang meledak di mana-mana, merupakan tema yang tidak sangat menarik, untuk diomongkan, apalagi dijalankan. Sebab ternyata keteraturan secara teoritis, ideologis, dan managerial membuat kita hilang, getting lost. Bahwa keteraturan manajerial yang sedang diusung dengan kuat, seturut pengakuan St. sunardi, membuat kita kehilangan, kehilangan kedirian kita. Maka, menurutnya tak heran, bila seoerang peneliti di Inggris (teu kacatet ngarana) mengatakan bahwa: semakin pendidikan mahal semakin jelek mutunya.

St. Sunardi menilai, ternyata biaya yang dipakai untuk pendidikan ialah biaya manajemen. Di mana sebagian besar dipakai untuk hal-hal yang bersifat manajerial, sedangkan untuk hal-hal yang bersifat akademis sangat sedikit. Maka sebab itu, di tengah-tengah optimisme perubahan di perguruan tinggi,  optimisme itu telah dibajak oleh sebuah praktik manajerialisme, yaitu manajemen yang berlebihan. Ini lebih mengerikan dari ototitarianisme militer. Jadi, hakikat manajemen itu sudah berubah, kalo birokrasi setiap hari kita beda berarti kita sudah mengalami managerialisme. Lihat dan rasakan saja, sekarang apa-apa yang kita lakukan harus dituliskan, apa-apa yang kita lakukan harus dilaporkan. Kelihatannya manajerialisme itu sudah sangat biasa untuk memperoleh output, padahal, hihihihi ouptut itu sudah ditentukan sebelumnya. Misalnya  KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) di pendidikan tinggi. Managerialisme itu tidak netral, tapi juga meliputi ideologi tertentu.


Cara mendorong orang untuk mengikuti pasar bebas sudah kita alami sekjak tahun 90, ketika soeharto mendatangani (anjing teu kacatet deui) suatu berkas yang disampingnya duduk direktur IMF. Di sini kita bisa menyimpulkan bahwa eknonomi global punya kekuatan membuat negaranegara menuruti kebijakannya. Dan sekarang, bukan lagi campur tangan dalam bentuk kebijakan, tapi manajemen. Yang celakanya munculnya manajerialisme baru berkoeksidensi dengan gerakan reformasi, paling tidak pada tahun 2000-an, St. Sunardi mengira itu merupakan bentuk dari proses reformasi..tapi sekitar 2008-an proses itu ternyata menurutnya adalah tahun implementasi manajerialisme baru. Kita jadi sering tidak bisa membedakan mana yang beneran reformasi mana yang sematamata manjerialisme saja. 

Efek dari manajerialisme itu membuat kita samasama sedang mengalami kolonialisasi bahasa manajerial, hal ini menyebabkan pemudaran kepemimpinan akademis. Pemimpin-pemimpin akademik sibuk dengan bahasa manajerial yang dia gunakan sendiri, padahal menurut St. Sunardi, untuk menerjemahkan pendidikan perlu orangyang punya sense ke arah pendidikan. Sebab kalau tidak ada, civitas akademika pasti mati. Tidak ada peristiwa akademis, yang ada peristiwa manajemen dan administratis. Bukankah semua itu tengah terjadi, DEMORALISASI PENDIDIKAN! Dan bukan tidak mungkin, manajerialisme menyebabkan patalogis, dimana kita pada stress karena tidak bisa memenuhi apa yang diminta. Itulah menurutnya, harga yang harus kita bayar dari manajerialisme yang berjalan beriringan dengan reformasi.



ST. Sunardi memberikan 3 kemungkinan cara menghadapi manajerialisme: Pertama, sikap pragmatis: kita jalankan, untuk itu kita mendapatkan ada insentif struktural dan material, yang akhirnya akan membentuk kelas manajerial. Kedua, sikap skeptis: kita menjalankan dengan tidak yakin, sebab, kalau kita tidak menjalankan tidak akan mendapatkan bagian. Terakhir, sekaligus cara yang direkomendasikan adalah sikap sinis: karena kita tidak bisa menolak, karena kalau ditelan jadi penyakit. Sikap sinis ini bisa dipakai untuk melahirkan imajinasi membuat masyarakat pasca managerial. inilah langkah-langkahnya:
1.       Perhatikan orangorang yang menyuruh anda, anda harus tidak percaya.
2.       Mari kita membuat kegiatan yang makin sense untuk menjadi non-sense.
3.       Membuat yang dianggap non-sense menjadi making sense
.....
Jadi, bagaimana pendidikan tinggi seni (eh..juga budaya) kalian mau memilih sikap yang mana? atau sudah?
....















Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka