BUKU SEPERTI TETANGGA, BOLAK-BALIK KITA BERTAMU, TAPI TAK PERNAH JADI PENGHUNI RUMAHNYA, KECUALI KITA BANYAK DUIT DAN KAWIN.
Pada rencana awal penelitian, saya menemukan beberapa penelitian yang menyoroti hubungan
(komunitas) teater dengan dunia ekonomi-politik, baik yang terbaru mapun yang
lama. Seperti buku yang ditulis Radhar Panca Dahana: Ideologi Politik dan
Teater Modern Indonesia, buku ini ditulis sebagai syarat kelulusannya di
FISIP Universitas Indonesia. Radhar di dalam pengantarnya mengatakan bukunya
ini adalah kerja pembuktian akan kegelisahannya terhadap adanya hubungan (langsung atau tidak langsug,
dalam bentuk apapun) antara dunia seni (teater modern) dengan ideologi politik
di Indonesia. Karena Radhar ingin
meneliti seberapa jauh sesungguhnya penetrasi simbolik ideologi oleh pemerintah
mempengaruhi simbol-simbol artistik sebuah pertunjukan teater, Dia menggunakan
telaah semiotika teks, dibeberapa bagian terakhir Radhar mencoba menghubungkan
antara status ekonomi politik dengan penciptaan simbol-simbol. Semacam tesis
awal, Radhar mengataka bahwa: semakin tinggi posisi sosial anggota-anggota sebuah
kelompok teater (dilihat dari pekerjaan, pendidikan, dan pendapataannya), maka
semakin sederhana simbol teaterikal-politis yang diproduksinya (2001:
140-141).
Meskipun melalui
analisis semiotika teks, sebenarnya Radhar sudah mencoba menyoroti karya-karya
secara intrinsik untuk menemukan pengaruh hubungan ideologi politik tertentu,
dan secara kuantitatif memperbandingkan tingkat pendapatan rata-rata antara
kelompok teater yang ditelitinya (Teater Koma, Teater Sae, dan Teater Mandiri)
dengan simbol-simbol teaterikal-politis
yang diproduksi. Sampai akhirnya Radhar dengan tetap mengacu pada klarifikasi
simbolisme teaterikalnya, seolah berusaha menyimpulkan, bahwa terdapat korelasi
terbalik antara tinggi posisi sosial anggota sebuah kelompok teater dengan
kompleksnya pemanggungan mereka. Mereka yang paling sedikit menikmati hasil
material pembangunan ekonomi, dalam ukuran posisi sosial di atas misalnya, akan
paling merasakan represi yang diberlakukan, sehingga reaksinyapun lebih keras
(Radhar: 141). Kesan
pertama saya ketika membaca buku Radhar ini, saya merasa analisisnya ada
kecocokan dengan rencana penelitian saya terhadap pengaruh dari pelbagai
kontradiksi pemaknaan subjek terhadap penciptan teater. Tapi setelah coba membaca lebih jauh dan mendalam, kesan dan pembacaan saya kemudian adalah bahwa Radhar terlalu
reduktif dalam menghubungakan aspek material dan simbolis tanpa mengidentifikasi
dan menyingkap
berbagai kontradiksi setiap subjek/mediator artistik (kritikus,
agen, penjual tiket, akademisi, budayawan yang punya andil dalam memproduksi
nilai sebuah karya atau, kepercayaan pada nilai karya, seperti menurut Bourdieu,
setiap karya adalah ekspresi arena secara keseluruhan (Randal Johnson: 1993). yang bukan saja punya andil tapi bisa sangat
dominan berpotensi melahirkaan hubungan kekuasaan dalam memproduksi nilai sebuah karya
atau, kepercayaan pada nilai karya. Radhar juga sepertinya terlalu mudah
untuk menyejajarkan ukuran status ekonomi pelaku teater dengan skala reaksinya
terhadap kekuasaan ekonomi-politik, sebab Radhar sepertinya tidak percaya pada
kemungkinan respon pelaku teater.
Hampir kebanyakan penelitian-peleitian
terhadap komunitas teater Indonesia yang saya temukan lebih bersifat penelitian
tekstual dan politis, dalam artian menghubungkan bagaimana sebuah paradigma
politik yang berkuasa direspon oleh kelompok-kelompok teater. Seperti esai
Benjon di dalam Diktat Kritik Teater, Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni
Indonesia Bandung yang mencirikan berbagai respon komunitas teater di masa
Orde Baru. Bagi yang tak setuju dan lebih bersikap kritis terhadap pemerintah
terutama mengenai korupsi dan nafsu kekuasaan Orde Baru, mereka memilih sikap
resisten. Ada yang terang-terangan, ada yang melalukannya dengan memproduksi
teater-teater metaforis. Jadi, tidak semua kelompok teater membuat respon yang
sama terhadap paradigma politik Orde Baru. Sebuah periode milik rezim sensor
dan represif, yang melakukan sentralisasi politik dan memistifikasi ideologi pembangunan. Tidak semua
respon kelompok teater melakukan resistensi terang-terangan dan tidak semua
kelompok teater melakukan adaptasi, tapi juga ada ‘negosiasi’ terhadap dominasi
itu. Bila Rendra melakukan resistensi dengan budaya anti kemapanan dan
menjadikan teaternya sebagai sarana kritik politik dengan cara mensimiliarisasi
tokoh drama dengan figur aktual penguasa, memakai aksen oratorik yang lantang
untuk diksi dramatiknya; dan karakterisasi peran menjadi tipikalisasi. Teater
Akademis ala Suyatna Anirun, Teguh Karya, Wahyu Sihombing meresponnya secara
adaptif tetap mengusung tema-tema universal, menjungjung kesempurnaan artistik,
dan melakukan alienasi terhadap isu politik. Lalu bagaimana dengan teater yang
melakukan ‘negosiasi’? Model estetikanya adalah teater metaforik, misalnya:
Teater Kecil Arifin C. Noer yang menghablurkan surealitas dengan realitas,
narasi-narasi teksnya reflektif; Teater Mandiri Putu Wijaya yang melakukan
anonimitas tokoh dan latar, diksi-diksi eksplosif, melakukan contra-picture
atas realitas; Teater Koma menggunakan lingua franca masyarakat kota, stilisasi
diksi dan skeneri, mempergunakan bahasa sebagai spektakel verbal, hingga sangat
musikal; dan Teater Gandrik meskipun secara tematik sangat lokal tapi mempunyai
fleksibilitas kritik, dan melakukan diskursus aktual dalam komunikasi tradisional
(Benjon, 2006: 8-10)
Tidak jauh
berbeda dengan BenJon, esai Michael Bodden mencoba meneliti dalam perspketif
tekstual-politik: Satuan-Satuan Kecil dan Improvisasi Tak Nyaman Menjelang
Akhir Orde Baru.[1]
Melalui kritik khas pascakolonial yang sangat politis dalam membicarakan
bagaimana teks-teks sastra dengan berbagai caranya mengungkap jejak-jejak
perjumpaan kolonial, yaitu konfrontasi antar ras, antar bangsa, dan antar
budaya. Bodden melalui esainya ingin menunjukan
kehidupan Orde Baru yang mengeluarkan dalil-dalil mengenai bangsa dan
identias pribadi merupakan kaitan sentra antara karya para kelompok teater yang
mendukung dan mengeksplorasi praktik-praktik budaya posmodernisme dalam gaya
penulisan dan pegelaran mereka, dengan pengertian-pengertian postkolonialitas.
Kalau dalil-dalil pokok dan ideologi Orde Baru mengenai kontrol dan ketertiban
dianggap konsisten dengan kepribadian atau filsafat indonesia yang tradisional
(Bourchier 1997; Bowen 1986), maka dapat dinyatakan bahwa pendukung postmodernisme Indonesia
berkepedulian untuk menemukan strategi-strategi dalam menggerogoti nativisme
yang dibangun oleh negara (Bodden: 360). Bodden mengambil fokus kelompok Teater
SAE dengan pertunjukan Biografi Yanti Setelah 12 Menit, yang menurutnya menjadi
saksi hilangnya sama sekali rezim sensor pemerintah, yang dapat dirasakan dalam
sebagian besar dunia budaya Indonesia awal tahun 1990-an, juga oleh
lapisan-lapisan kelas menegah yang mendukung dunia budaya tersebut. Dengan
demikian, karya-karya tersebut mengisyaratkan bahwa krisis ekomoni yang dialami
Orde Baru awal tahun 1997 berfungsi mempercepat proses sosial berupa kekecewaan
yang memang sudah berjalan (Ibid: 395).
Beberapa
tinjauan pustaka yang saya sebutkan ini memang tidak terlalu sesuai dengan
rencana penelitian saya tentang bagaimana pemaknaan subjek terhadap teater
terbentuk dan bagaimana setiap subjek melahirkan, mempertahankan dan
mengubahnya. Tapi bisa saja, beberapa kajian tersebut sangat mungkin untuk
membantu pengayaan data dan memberikan pertimbangan dalam melengkapi analisis
ini lewat telaah semotik teater yang berguna dalam membaca kecenderungan dan
penemuan dari eksperimen-eksperimen artistik dan kritik pascakolonial dalam
membaca pengaruh perubahan relasi kekuasaan global terhadap subjektifitas
pelaku (komunitas) teater dan fenomena munculnya lembaga-lembaga dana asing.
Saya kemudian mendapatkan literatur
yang dapat membantu mengantarkan saya lebih dekat dengan teater (lagi) meskipun
peneletian itu tidak melulu membicarakan teater. Salah satunya adalah buku Why
are Artists Poor: The Exceptional Economy of the Arts. Amsterdam karya Hans
Hans Abbing. Pada bagian pengantarnya, Abbing langsung mengemukaan pelbagai
pertanyaan mendasar “Mengapa pendapatan rata-rata seniman rendah? Mengapa
begitu banyak orang masih menjadi seniman meskipun prospek pendapatannya
rendah? Dan mengapa seni sepertinya sangat bergantung pada hibah seperti
subsidi dan donasi? Apakah tiga fenomena ini punya kaitan? [...] Apakah seniman
yang memperoleh pendapatan rendah mengorbankan diri mereka untuk seni, atau
mereka sedang dikorbankan oleh sistem yang berpura-pura mendukung mereka ?” Pertanyaan
tersebut ditujukannya kepada pemahaman umum bahwa pendapatan rendah dan atau
pun tinggi seniman tidak tergantung pada kepedulian publik terhadap seni,
sehingga seniman mau tidak mau melibatkan lembaga donor untuk membiayai karya
seninya.
Penelitiannya
menarik perhatian saya karena Abbing melakukan penelitian terhadap teman-teman
yang juga berprofesi sebagai seniman. Penelitiannya bisa menyentuh hal-hal yang
sepertinya berlaku secar universal, meskipun berasal dari hal-hal yang dekat
dan terus dia pertanyakan. Lewat penelitian psikologi dan sosiologi, serta
latar belakangnya sebagai ekonom, Abbing mencoba mencari jawaban terhadap
pertanyaannya sendiri ketika disekitarnya membingungkan. Ada seniman yang bisa
menghasilkan banyak uang karena berhasil menjual karya (rupa)nya secara
tertarur, menerima hibah dan subsidi, dan memiliki pekerjaan lain. Tapi di sisi
lain, sebagian besar rekan-rekannya, bagaimanapun,
miskin. Tidak ada penjualan karya, memiliki pekerjaan lain yang buruk, namun
tetap saja rekan-rekannya melanjutkan mencipta karya. Abbing menganggap ada
sejenis ‘anomali’ yang berlaku di dalam ‘hukum’ ekonomi seni. Maka dari itu,
Abbing menegaskan bahwa hal itu disebabkan karena pendefinisian seni itu
sendiri yang dikonstruksi secara sosial.
Buku selanjut
adalah Theory/Theatre: An Introduction karya Mark Fortier. Buku ini
berfungsi ganda dalam rencana penelitian saya. Pertama, bisa berfunsi sebagai
bagian dari kerangka teori karena memang berisi mengenai berbagai macam teori
budaya yang mencoba menganalisa berbagai praktik teater. Dan Kedua, buku ini
bisa dipakai sebagai kajian pustaka karena di dalamnya, Fortier memberi
beberapa contoh beberapa ‘kategori’/ mahzab teater yang dibahas. Buku ini
ditulis dimaksudkan untuk menjadi pengantar bagi siapapun yang berminat belajar
dan ingin tahu lebih banyak tentang relevansi teori untuk teater, beserta
penerapannya. Sebab menurut Fortier, teater, adalah wilayah lain di mana teori
memiliki pengaruh yang kuat. Seperti yang terdapat jurnal-jurnal ilmuah yang
kerap memakai studi teoriteater atau buku-buku yang menerapkan teori seperti
dekonstruksi, semiotika, psikoanalisis atau beberapa perspektif teoritis lain
bagi berbagai karya teater.
Buku dari
Fortier ini penting sebagai kajian pustaka karena dia mencontokan beberapa
model teater dan teorinya langsung. Terutama tentang bagaimana
membaca subjektifitas di teater dan tentang bagaimana membaca teater
sebagai sebuah institusi di dunia yang mempunyai hubungan dengan dunia lebih
luas (sejarah, ekonomi dan politik). Beberapa dari contoh analisisnya lewat
teori psikonalisa Lacan dan logika artikulasi Laclau Moufe yang saya pakai
untuk mencoba menjawab dan membaca bagaimana
pemahaman subjek di teater terus dikonstruksi oleh setiap sisi di dalam
isntitusi teater, maupun di dalam hubungannya dengan sejarah, ekonomi, dan politik.
Baik sebagai komunitas, maupun sebagai individu.
Selanjutnya
adalah buku Art Under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era
Globalisasi karya Joost Smiers. Smiers lewat buku ini dengan jelas tidak
tidak membatasi salah satu bidang seni, tapi seni secara keseluruhan, baik
musik teater, desain, televisi, film, cerita, puisi, lagu, lukisan, patung dan
foto. Dengan menekankan pentingnya bentuk-bentuk komunikasi masyarakat
tersebut, sebagai media penyampaian perasaan-perasaan terdalam dan menjadi
kebutuhan sehari-hari lewat kreasi-kreasi artistik yang dilakukan sehari-hari,
Smiers juga melihat bahwa seniman masih terus berusaha untuk mencari nafkah
dari hasil karyanya, agar setidak-tidaknya mencukupi kebutuhan hidup
sehari-hari. Buku ini berusaha menjawab pertanyaannya sendiri: “apa yang
tersisa dari kehidupan artistik lokal pada massa globalisasi ekonomi ini, dan
mengapa hal ini merupakan masalah yang perlu dibahas?.” Buku ini memang
sepertinya ingin melihat ruang yang lebih luas untuk mendapatkan efeknya secara
partikular di tiap seniman di tingkat lokal, bahwa ada semacam delokalisasi
antara seni dan kehidupan sosial karena seni yang diproduksi secara homogen
oleh globalisasi atau neoliberalisme.
Buku ini sangat
menarik untuk mengantarkan saya pada pengetahuan yang sangat luas tentang
bagaimana ranah produksi kebudayaan tengah berlangsung pada abad ini, dan siapa
saja yang megaturnya. Namun karena rencana penelitian ini akan saya hadapkan dulu
kepada wilayah bagaimana produksi pemaknaan terhadap teater bukan hanya saja
ditingkat lokal, tapi komunitas dan individu. Sekali lagi, proposal tesis saya
memang akan ditarik lebih dekat meskipun sangat bisa membicarakan yang jauh,
jadi penelitian di dalam buku ini membuat saya menjadi kabur lagi karena
keluasannya sendiri dan pembacaan saya yang secara sadar sedang saya balik.
Tapi buku ini bisa berguna bagi saya, terutama untuk membahas seni sebagai arena perjuangan, sebuah lapangan di mana
pertentangan batin, konflik-konflik sosial, dan persoalan-persoalan status
berbeturan dalam suatu cara yang lebih terkonsentrasi dibandingkan yang terjadi
dalam komunikasi sehari-hari.
[1] dalam buku Clearing a Space: Sastra Indonesia Modern Kritik
Postkolonial, (Ed) Keith Foulcher dan Tony Day, Yayasan Obor, Jakarta,
tahun 2008.
Komentar
Posting Komentar