Langsung ke konten utama

TINJAUAN KRITIS TERHADAP UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI






1.      Pasal 4: mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora.

-     Humaniora pada hakekatnya bukanlah nilai melainkan sekelompok ilmu untuk meneliti kemanusiaan. Kemanusiaan adalah proses interaksi antara satu dengan yang lain.
-       Humaniora tidak sama persis (identik) dengan humanitis karena sesungguhnya humanitis mengandung persoalan.
-      Mengapa dan kapan istilah humaniora digunakan? Penggunaan  Humaniora pada awal abad 15.

2.      Pasal 5 (butir b): pendidikan tinggi bertujuan menghasilkan lulusan yang menguasai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa.

Tujuan pendidikan sebagaimana yang disebutkan di atas sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Collin dalam The World Bank and higher education in the developing world: The cases of Uganda and Thailand. International Perspectives on Education and Society. Akibat dari Globalisasi maka terjadi pergeseran makna pendidikan dimana pendidikan Tinggi/Universitas berorientasi pada sektor industri dengan penekanan pada Science dan teknologi.

3.      Pasal 6 (butir b): penyelenggaraan pendidikan dengan prinsip demokrasi dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya dan kemajemukan, persatuan dan kesatuan bangsa.

Prinsip demokrasi, keadilan dan tidak diskriminatif secara praktis kadang menjadi semu. Pendidikan belum mampu meresap seluruh kebutuhan masyarakat. Sistem pendidikan dipolitisir melalui ideologi agama, ras dan etnis sebagaimana yang digambarkan oleh Pam Nilan dalam Internationalizing Higher Education: Critikcal explorations of pedagogy and policy.

4.      Pasal 6 (butir  i):Penyelenggaraan pendidikan dengan prinsip keberpihakan terhadap kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomis.

Program pendidikan gratis dan Bantuan Operasionalisasi Pendidikan (BOP) dipandang sebagai sebuah solusi terhadap persoalan yang dihadapi oleh bangsa. Implementasi kebijakan pemerintah menjadi problematis. Sejauh mana keberpihakan pemerintah terhadap pendidikan masyarakat yang kurang mampu jika wacana pendidikan tinggi masih sebatas kalangan elit.

5.      Pasal 12 (butir 3): dosen secara perseorangan atau berkelompok wajib menulis buku ajar atau buku teks yang diterbitkan oleh perguruan tinggi atau publikasi ilmiah sebagai salah satu sumber belajar dan untuk pengembangan budaya akademik serta pembudayaan kegiatan baca tulis bagi sivitas akademika.

Penulisan buku atau bahan ajar menjadi unsur penunjang dalam proses pembelajaran sehingga subjek didik terfasilitasi dalam pengembangan pengetahuan.Namun tuntutan tersebut menimbulkan persoalan baru ketika para dosen diperhadapkan pada tuntutan pemenuhan administrasi berupa penyusunan SAP dan Silabus. Penerapan managerialisme mewajibkan para dosen menyiapkan pelbagai perangkat pembelajarannya. Bertolak dari kondisi di atas Schapper dan Mayson (2005) Managerialism, internationalization, Taylorization and the deskilling of academic work: Evidence from an Australian unversity, dalam P. Ninnes & M. Hellsten (Eds.), Internationalizing higher education. Critical explorations of pedagogy and policy, menampilkan sisi lain dibalik  sistem managerialisme. Bagi mereka, efek managerialisme salah satunya adalah menyebakan para dosen kehilangan banyak waktu untuk harus menyiapkan bahan ajar.

6.      Pasal 13 (butir 4): mahasiswa dapat menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak melebihi ketentuan batas waktu yang ditetapkan oleh perguruan tinggi.

Contoh: penerapan sistem semester pendek (SP). Fenomena SP yang dikembangkan di beberapa perguruan tinggi/universitas dimaskudkan untuk membantu mahasiswa yang memiliki kemampuan lebih, namun kadang kala dapat diterapkan pula kepada mahasiswa yang masih memiliki tunggakan mata kuliah yang cukup banyak. Untuk menyelamatkan mahasiswa dari ancaman drop out, maka SP dilakanakan agar mahasiswa terfasilitasi menyelesaikan pendidikannyanya sesuai batas waktu yang ditentukan oleh perguruan tinggi/universiatas.

7.      Pasal 16 (butir 1-3): pendidikan vokasi.

Pendidikan vokasi merupakan sebuah ambivalensi pemerintah dalam menyikapi kondisi pendidikan. Pada satu sisi pemerintah melegitimasi pendirian program pendidikan vokasi (pasal 16), namun di sisi lain pendidikan vokasi dipandang penting untuk ditingkatkan melalui pendidikan akademik melalui program penyetaraan (pasal 39). Pada pasal 39 secara jelas ditegaskan bahwa lulusan pendidikan vokasi atau lulusan pendidikan profesi dapat melanjutkan pendidikannya pada pendidikan akademik melalui penyetaraan. Bertolak dari kedua pasal di atas maka esensi pendidikan vokasi patut dipertanyakan: Apakah pendidikan vokasi relevan dilaksanakan? Apa signifikansi pendidikan vokasi ketika diperhadapkan dengan pendidikan S1/S2/S3?

8.      Pasal 31 (butir 1): pendidikan jarak jauh merupakan proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi.

Salah dampak GATS terhadap sistem pendidikan tinggi adalah terjadinya pergeseran sistem pendidikan reguler (tatap muka) dengan sistem pendidikan berbasis media komunikasi/teknologi. Pergeseran ini dilatar belakangi oleh konsep pendidikan jarak  jauh sebagai upaya untuk memberikan layana pendidikan tinggi kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara reguler. Senada dengan ketentuan pasal 31 butir 1, Ales (2006) Higher education and GATS. Regulatory consequences and stakeholders’ responses telah menyebutkan pengaruh GATS dalam konstek pendidikan (indonesia). Menurutnya: salah satu bentuk campur tangan GATS dalam pendidikan tinggi adalah cross border supply, dalam bentuk penyelenggaraan kursus-kursus secara jarak jauh dan secara online atau penyelenggaraan suatu mata kuliah secara franchise komersial.

9.      Pasal 35 (butir 2): kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh setiap perguruan tinggi dengan mengacu pada standar nasional pendidikan tinggi untuk program studi yang mencakup pengembangan kecerdasan intelektual, akhlak mulia dan ketrampilan.

Penyusunan kurikulum perguruan tinggi dikategorikan atas 2 bagian yakni kurikulum nasional (KURNAS) dan kurikulum lokal (KURLOK). Kurikulum nasional terdiri dari mata kuliah-mata kuliah yang telah ditetapkan oleh pemerintah sedangkan kurikulum lokal terdiri dari mata kuliah-mata kuliah pilihan institusi/lokal. Sehubungan dengan pemisahan di atas maka unsur yang cukup penting adalah kewenangan istitusi dalam penyusunan dan revisi penyempurnaan kurikulum.

10.  Pasal 35 (butir 3): Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah: agama, pancasila, kewarganegaraan dan bahasa indonesia.

Fenomena pendidikan sekarang cenderung memandang sebelah mata terhadap 4 mata kuliah sebagaimana yang ditetapkan oleh pemerintah. Praksisnya bahwa keempat mata kuliah tersebut tidak dilaksanakan secara efisien dan menimbulkan persoalan terkait batasan, maksud dan tujuan.

11.  Pasal 37 (butir 3): bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar perguruan tinggi.

Collins, C.S., & Rhoads, R.A. (2008). The World Bank and higher education in the developing world: The cases of Uganda and Thailand. International Perspectives on Education and Society menyebutkan salah satu gejala internasionalisasi adalah meningkatnya peran bahasa Inggris sebagai bahasa akademik global. Peningkatan peran bahasa Inggris sebagai bahasa akademik global menjadi ancaman terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Ancaman tersebut nampak dalam bentuk kurangnya kecintaan dan kemampuan untuk mengembangkan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi riil dari ancaman tersebut nampak dalam komunitas studi/akademik dimana kebanyakan mahasiswa cenderung mengalami kesulitan dalam mengaplikasikannya baik secara verbal mapun non-verbal. Ironisnya, bahasa Inggris telah menjadi sebuah bahasa massa yang populer dikalangan anak muda saat ini.

12.  Pasal 53 (butir b) & pasal 55 (butir 1):  sistem penjaminan mutu ekternal yang dilakukan melalui akreditasi; akreditasi merupakan kegiatan penilaian sesuai dengan kriteria yang ditetapkan berdasarkan standar nasional pendidikan tinggi.

Akreditasi menjadi sebuah proyek pemerintah yang dilaksanakan demi penyesuaian mutu pendidikan tinggi baik dalam lingkup nasional maupun internasional dengan mengacu pada standar nasional. Persoalannya: apa isi dari standarisasi nasional? Apakah standarisasi yang dimaskudkan adalah sebuah langka strategis pemerintah dalam menyikapi arus globalisasi yang didominasi oleh berbagai pandangan ekonomi neoliberal? Senada dengan keraguan tersebut, Collins, C.S., & Rhoads, R.A. (2008) dalam The World Bank and higher education in the developing world: The cases of Uganda and Thailand. International Perspectives on Education and Societymenyebutkan dengan jelas gejala internasionalisasi yang membias kepada  perguruan tinggi nasional. Menurutnya: gejala internasionalisasi berupa dominasi berbagai pandangan ekonomi neoliberal lebih menekankan aspek akreditasi dan universalisasi. Artinya, perguruan tinggi dan mahasiswa dipandang sebagai produk yang harus bisa diartikulasikan dan dipertukarkan.

==========================================

Telaah Dokumen-dokumen Bank Dunia
Higher Education in Developing Countries: Peril and Promise 2000

1.      Longstanding Problems and New Realities
-          The Current Situationt
-          Expansion of Higher Education Systems
-          Differentiation of Higher Education Institutions
-          Knowledge Acceleration
-          Characteristicso f the Revolution
-          Implications forDeveloping Countries
-          Implications for Higher Education

2.      Higher Education and the Public Interest
-          The Public Interest:
-          The Influence of Rate-of-Return Analysis
-          Access to Higher Education
-          Research and the Public Interest
-          Higher Education and Democratic Values
(Pendidikan tinggi harus menjadi prioritas dalam sistem pendidikan terutama pada negara-negara berkembang. Dengan kata lain, ada pembalikan prioritas dimana pendidikan perlu menitik beratkan pada pendidikan dasar dan menengah malah lebih memprioritaskan pendidikan tinggi)

3.      Systems of Higher Education
-          Outline of a Higher Education System
-          Higher Education Institutions
-          Desirable Features of a Higher Education System
-          Role of the State
-          Financing a Higher Education System
(Sistem dipakai sebagai landasan untuk merancang sistem pendidikan. Inilah sebuah visi sosial dan etos penelitian dan publiblikasi.
Reserce University: Penelitian dan publikasi. prov & reg.Insts. profesional schools: program profesi yang kemudian akan berkecimpung dalam lembaga formal. vocation schools: pendidikan ketrampilan yang kemudian akan berkecimpung dalam komunitas-komunitas penelitian. distance education: pemerataan pendidikan.

4.      Governance
-          Major Principles of Good Governance: menghindari kesewenang-wenanga personal. Good Governance kadang-kadang diperlukan untuk menata sistem secara khusus pada lembaga-lembaga yang bercirikhas keagamaan
-          The Actual Situation
-          Tools for Achieving Good Governance

5.      Sciencea nd Technology
-          A Worldwide Issue
-          Background
-          Physical and Technical Resources
-          Human Resources
-          Local, Regional, and International Cooperation
-          Reforn of the InternationalI ntellectualP ropertyR ightsR egime: penelitian perlu menghasilkan temuan-temuan baru
-          Strategies for Scientific Development
-          University-Industry Cooperation

6.      The Importanceof General Education
-          What Is a General or Liberal Education?
o   can think and write clearly, effectively, and In some parts of the world, the term "liberal education" has a conservative or tradicritically,
o   has a critical appreciation of the ways in ever, is not advocating the universal applicawhich
o   has a broad knowledge of other cultures and other times, and is able to make decisions based on reference 't o the wider world and historical forces than have shape it
o   has some understanding of and experience in thinking systematically about moral and ethical problems; and has achieved depth in some field of knowledge
-          Who Should Receive a Liberal Education?
o   a basic grounding for all higher education  students, whatever type of institution thev  attend or course they study;
o   a discrete and substantial component of generaleducation, which helps broaden of students engaged in specialist, professional, or technical study; and
o   an intensive general education curriculum provides exceptionally promising, intellectually oriented students with a solid tained, basis for their careers or for advanced specialis education
-          Why Is General Education Relevant for Developing Countries?
o   Mendukung individu-individu mempersiapkan  berbagai fungsi sosialnya with distingtion
o   Warga yang bertanggung jawab indentitas lewat suatu proses
o   Menghindarkan brain drain
-          What Are the Obstacles?
o   Costs and benefits. Sejarah selayaknya tidak perlu diajarkan.
o   Hanya untuk “brightest and most motivated students”. Pendidikan selayaknya diperuntukan kepada para specialis untuk mempelajari general study
o   Bisa sangat elitis?
o   Bisa mengancam status quo
o   Long-term public interest vs.Short term public interest




Peran Bank Dunia
1.      Memposisikan disi sebagai katalisator
2.      Program dipersiapkan dengan juklak yang jelas dan dibiayai
3.      Begitu sudah berjalan lalu ditinggalkan

Komentar:
1.      Reformasi diinisiasi BD tidak bisa dan tidak akan pernah bisa mengantikan reformasi di suatu negara
2.      Suatu negara harus mempunyai modalnya sendiri (ekonomi, kultural dan politik) untuk reformasi
3.      Celakanya Indonesia tidak berfikir lebih jauh dari pada Bank Dunia
4.      Indonesia rupanya hanya menjalankan sisi kelembagaan saja tanpa tahu secara kritis argumentasinya
5.  Akibatnya: demoralisasi pendidikan. Praktek pendidikan yang bertentangan dengan semangat pendidikan itu sendiri

===================================================

Collins, C.S., & Rhoads, R.A. (2008). The World Bank and higher education in the developing world: The cases of Uganda and Thailand. International Perspectives on Education and Society, 9, 177-221.

  1. The global transformation of higher education.
Globalisasi, yaitu “some manner or form a shrinkage of time and space such that events happening in one part of the world have the potential to impact other locales” (Giddens, 1999; Held, 1991), telah mengubah struktur pendidikan tinggi di dunia, juga di Negara-negara sedang berkembang. Beberapa kekuatan penting yang telah mengubah struktur pendidikan tinggi:
a.       Pergeseran dari ekonomi berbasis industri ke ekonomi berbasis pengetahuan. Telah lahir suatu bentuk baru ekonomi global yang ditentukan oleh “computerized, network based processes connected to the production and management of information and/or knowledge.” Akibatnya, jantung aktivitas universitas bergeser ke “science and technology, along with research and development.”
b.      Gejala internasionalisasi (Scott, 1998), yang tampak dalam tiga bentuk:
1)      Pergeseran budaya mengikuti kekuatan pasar global berupa “Westernization” atau “Americanization” atau “McDonaldization” dunia.
2)      Internasionalisasi pendidikan tinggi sebagaimana tampak dalam “movement and exchange of students and scholars transnationally” disertai tiga subgejala:
a)      Lahirnya bentuk-bentuk baru identitas yang didasarkan pada konstruksi “global citizenship.”
b)      Meningkatnya kesempatan untuk berbagi gagasan, termasuk ketergantungan yang semakin meningkat dalam komunikasi transnasional dan produksi pengetahuan pada Internet.
c)      Meningkatnya peran bahasa Inggris sebagai bahasa akademik global.
3)      Meningkatnya dominasi pandangan-pandangan ekonomi neoliberal. Neoliberalisme sebagai “an economic philosophy stressing increased transnational and multi-national trade, the rapid flow of capital investments, limited government intervention (with the exception of ensuring a free market), and a general rejection of public forms of services (often discussed as “privatization’). Dampak neoliberalisme terhadap pendidikan tinggi tampak dalam empat gejala kecenderungan:
a)      Penekanan pada akuntabilitas dan efisiensi. Berupa tuntutan terhadap lembaga publik termasuk perguruan tinggi untuk meningkatkan produktivitas dengan prinsip “to do more with less.” Tekanan untuk mengelola dana publik secara lebih produktif dan transparan berdasarkan ekonomi yang berpusat pada analisis cost-benefit.
b)      Penekanan pada akreditasi dan universalisasi. Layanan pendidikan tinggi dan siswa/mahasiswa dipandang sebagai produk yang harus bisa dengan lebih mudah diartikulasikan dan dipertukarkan.
c)      Penekanan pada “international competitiveness and massification.” Untuk menanggapi “the need to compete globally in a knowledge-based high-tech economy” dalam pasar global.
d)     Penekanan pada privatisasi. Salah satu unsur sentral kebijakan berbagai organisasi-antar-pemerintahan (IGOs) adalah “the push to privatize public services, including higher education” dan “the dissolution of public services in favor of privatization.” Contoh-contoh: World Bank dan IMF menyokong kebijakan yang bertujuan meminimalisasi dukungan bagi pendidikan tinggi seraya meningkatkan sektor swasta; upaya WTO untuk “to treat higher education services as a tradable commodity much in the manner of any other cumsumer product.”
Gejala-gejala di atas menimbulkan keprihatinan para penulis tentang “sejauh mana kebijakan World Bank masa kini terhadap Negara-negara sedang berkembang secara memadai mendukung berlangsungnya transformasi universitas yang sejalan dengan kebutuhan pembangunan bangsa meliputi peningkatan partisipasi suatu bangsa dalam ekonomi yang semakin berbasis pengetahuan di satu sisi, namun di sisi lain sekaligus memperkuat pembangunan sosial dalam diri bangsa yang bersangkutan.”
  1. History and background of the World Bank.
a.       Dalam bulan Juli 1944 pemerintah AS mengundang 44 negara berpartisipasi dalam sebuah konferensi di Bretton Woods, AS, dengan tema utama “the creation of an international monetary fund that would rebuild and stabilize international currencies severely damaged during the war period.” Lahirlah the International Monetary Fund (IMF).
Dalam tahun 1945 dan sebagai tindak lanjut lain dari konferensi Bretton Woods, dibentuk organisasi keuangan kedua yang mengkhususkan diri pada pembangunan di Dunia Ketiga. Lahirlah The World Bank.
Jadi, tujuan inti konferensi Bretton Woods adalah “creating a worldwide banking and monitoring system aimed at preventing weaker economies from dragging down the rest of the world to be spearheaded by the IMF and the World Bank” (Goldman, 2005).
b.      Diputuskan sebagai tradisi, presiden World Bank harus warga Negara AS, presiden IMF harus warga Eropa.
1)      World Bank di bawah Robert McNamara (1968-1981). Sebagai orang yang peduli pada dunia sedang berkembang, kebijakan World Bank didasarkan pada dua visi: pentingnya “lifting people out of poverty” dan untuk itu, “rich countries had a moral responsibility for redistributing wealth to poorer contries” (Goldman, 2005).
2)      Sesudah McNamara dan seiring dengan berlangsungnya “Reagan-Thatcher neoliberal revolution” terjadi pergeseran:
a)      Hutang Negara berkembang meningkat, dan peningkatan itu hanya untuk membayar bunga hutang lama.
b)      World Bank menuntut pemerintah Negara-negara (khususnya penghutang) untuk mereorganisasi dan mereorientasi ekonomi negara mereka mengikuti arahan World Bank yang berakibat langsung pada “berkurangnya secara dramatis pengeluaran untuk penyelenggaraan layanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.” Ada yang menyebutnya sebagai “economic genocide” atau pembantaian bangsa-bangsa secara ekonomis (Goldman, 2005).
c)      Selanjutnya perubahan-perubahan sebagaimana didikte oleh revolusi neoliberal tersebut dijadikan “conditionality” atau persyaratan bagi Negara-negara yang mengajukan pinjaman ke Bank Dunia, yaitu “policy changes stipulated as a prerequisite to the approval of , or continued access to, a grant or loan, or to subsequent assistance” (Killick, 1997). Kebijakan ini semakin kuat saat Bank Dunia dipimpin oleh Paul Wolfowitz pada 2005 yang menguatkan kebijakan persyaratan tersebut sebagai “Washington Consensus” dan digantikan olehj Robert Zoellick mulai pertengahan 2007.
c.       Bank Dunia dikendalikan oleh sebuah Executive Board of Directors berisi perwakilan dari 185 negara anggota. Hak suara perwakilan antara lain ditentukan oleh besar iuran yang diberikan oleh masing-masing Negara. Ada lima Negara dengan iuran terbesar, maka juga memiliki suara yang dominan, yaitu AS, Jepang, Jerman, Prancis, dan Inggris. Jadi, “the structure of the Bank provides wealthier nations the greatest influence, given their ability to make larger contributions.”
  1. Evolution of the Bank’s educational policy.
Sejarah keterlibatan Bank Dunia dalam pembangunan pendidikan diawali dengan pergeseran dari semula berfokus pada pemberian bantuan untuk pembangunan infrastruktur ke bantuan untuk pembangunan human capacity yang didasarkan pada konsep human capital.
a.       Pergeseran ini terjadi pada 1980 dan dipimpin oleh George Psacharopoulos, salah satu pakar ekonomi utama Bank Dunia waktu itu. Konsep “human capital” menyatakan bahwa:
1)      “education enables individuals to be more productive and consequently they become more likely to contribute to improved economic conditions within a society”
2)      “the success of education may be analyzed through rate-of-return (ROR) analyses.
3)      Berdasarkan penelitian-penelitiannya, Psacharopoulos menemukan bahwa
a)    “primary education to be a better investment than secondary or higher education, based on the fact that unit costs for primary education are small relative to the extra lifetime income or productivity associated with literacy”
b)   Sebaliknya tentang university education, “unit costs are high relative to the extra lifetime income.” Akibatnya, kebijakan bantuan Bank Dunia bagi pembangunan pendidikan selama 25 tahun di bawah human capital theory arahan  Psacharopoulos, “university education has a negative effect on equity and that too much of a typical national budget is allocated to an area with a low rate of return.”
4)      Berdasarkan kebijakan di atas, di lingkungan Bank Dunia “funding and policy decisions ‘disadvantaged higher education.”
b.      Kelompok pakar lain di Bank Dunia dimotori oleh Birdsall (1996) berpendapat berbeda:
1)      “higher education was key to advancing poverty reduction and economic development” dan “higher education offers the potential to increase a country’s engagement in research and knowledge production.”
2)      Akibatnya, memasuki tahun 2000-an “the Bank has essentially shifted its discourse about higher education.” Pergeseran ini didasarkan pada “a more sophisticated analysis fo the utility of higher education to a nation’s economic development.”
  1. Kritik terhadap Bank Dunia.
Kritik terhadap Bank Dunia berkisar pada tiga isu:
a.       Menerapkan kebijakan yang memberikan focus secara eksklusif pada pendidikan dasar dan menengah, dengan akibat menimbnulkan “disinvestment in higher education.”
b.      Penekanan ekspansi pada sector swasta, dengan akibat mengorbankan kepentingan-kepentingan public.
c.       Menghalangi Negara-negara yang sedang berkembang untuk berpartisipasi di dalam ekonomi pengetahuan dengan cara-cara yang sesuai secara cultural, termasuk bentuk-bentuk partisipasi yang mengembangkan “indigenous ingenuity and research.”




*dari kelas Kajian Universitas ilmu Religi dan Budaya USD Sanata Dharma

silahkan, mangga telaah hal 23-24 di link ini: 
http://direktori.smkn2tarakan.net/Majalah%20Kemdikbud/Edisi%204%20-%202013.pdf



Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALTHUSSERIANISM

Louis Althusser menolak penafsiran yang bersifat mekanistik tentang hubungan antara basis dan superstruktur (Marx). Sebagai gantinya, dia mengemukakan konsep formasi sosial. Formasi sosial meliputi tiga jenis praktek: ekonomi, politik, dan ideologi. Superstruktur bukan pencerminan atau refleksi pasif dari basis, melainkan superstruktur berperan penting bagi eksistensi basis. Dengan begitu, superstruktur memiliki otonomi relatif . Tetap ada determinasi, namun determinasi tersebut berlangsung ‘pada saat terakhir,’ melalui apa yang disebut ‘struktur dalam dominansi’ ( structure in dominance ). Maksudnya, kendati ekonomi pada akhirnya selalu ‘menentukan’ bukan berarti dalam suatu kurun sejarah tertentu ekonomi harus dominan. Ekonomi akan menentukan ‘pada saat terakhir,’ sebab ekonomilah yang akan menentukan praktek mana yang dominan. Althusser mengajukan tiga definisi tentang ideologi. Yang pertama (dan ke

RUMAH YANG KEHILANGAN CERITA DARI FESTIVAL DRAMA PELAJAR 2012 DI SEMARANG

Oleh Afrizal Malna Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam kenangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku sebilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyamp

MENCARI TEATER VERSI ASRUL SANI* (1)

:  Dari apropriasi hingga ambivalensi, suatu penelusuran pascakolonial oleh Taufik Darwis Asrul Sani, bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin mungkin akan segera terdengar familiar dan  banyak dikenal di ranah sastra daripada di ranah teater sebagai sebagai salah satu tokoh sastra Angkatan’45.  Nama Asrul Sani mungkin lebih banyak dikenal oleh para pelaku/aktivis teater hanya sebagai penerjemah. Nama tersebut ditemui karena kerap tercantum di naskah-naskah drama terjemahan yang dipilih untuk dipentaskan. Mereka yang lebih jeli dan sangat sungguh ingin mengasah kemampuan aktingnya juga akan menemukannya di buku lawas metode akting salah satu tokoh teater Rusia, itu pun sebagai penerjemah. Secara mudah mungkin kita tidak banyak memper ma salahkan kenapa nama itu kerap tercantum sebagai penerjemah di dalam literatur sastra drama dan teater kita, karena memang kita menganggap tidak ada masalah dengan praktik penerjemahan itu. Maka dari itu, tulisan ini mencoba menelusuri dan menemuka