TINJAUAN KRITIS TERHADAP UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI
1.
Pasal
4: mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan
menerapkan nilai Humaniora.
- Humaniora
pada hakekatnya bukanlah nilai melainkan sekelompok ilmu untuk meneliti
kemanusiaan. Kemanusiaan adalah proses interaksi antara satu dengan yang lain.
- Humaniora
tidak sama persis (identik) dengan humanitis karena sesungguhnya humanitis
mengandung persoalan.
- Mengapa
dan kapan istilah humaniora digunakan? Penggunaan Humaniora pada awal abad 15.
2.
Pasal 5 (butir b): pendidikan
tinggi bertujuan menghasilkan lulusan yang menguasai cabang ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing
bangsa.
Tujuan
pendidikan sebagaimana yang disebutkan di atas sejalan dengan apa yang
disampaikan oleh Collin dalam The World Bank and higher education in the
developing world: The cases of Uganda and Thailand. International Perspectives on Education and Society. Akibat dari
Globalisasi maka terjadi pergeseran makna pendidikan dimana pendidikan
Tinggi/Universitas berorientasi pada sektor industri dengan penekanan pada
Science dan teknologi.
3.
Pasal
6 (butir b): penyelenggaraan pendidikan dengan
prinsip demokrasi dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya dan kemajemukan, persatuan
dan kesatuan bangsa.
Prinsip demokrasi,
keadilan dan tidak diskriminatif secara praktis kadang menjadi semu. Pendidikan
belum mampu meresap seluruh kebutuhan masyarakat. Sistem pendidikan dipolitisir
melalui ideologi agama, ras dan etnis sebagaimana yang digambarkan oleh Pam
Nilan dalam Internationalizing Higher Education: Critikcal explorations of pedagogy and policy.
4.
Pasal
6 (butir i):Penyelenggaraan
pendidikan dengan prinsip keberpihakan terhadap kelompok masyarakat kurang
mampu secara ekonomis.
Program pendidikan
gratis dan Bantuan Operasionalisasi Pendidikan (BOP) dipandang sebagai sebuah
solusi terhadap persoalan yang dihadapi oleh bangsa. Implementasi kebijakan
pemerintah menjadi problematis. Sejauh mana keberpihakan pemerintah terhadap
pendidikan masyarakat yang kurang mampu jika wacana pendidikan tinggi masih
sebatas kalangan elit.
5.
Pasal
12 (butir 3): dosen secara perseorangan atau
berkelompok wajib menulis buku ajar atau buku teks yang diterbitkan oleh
perguruan tinggi atau publikasi ilmiah sebagai salah satu sumber belajar dan
untuk pengembangan budaya akademik serta pembudayaan kegiatan baca tulis bagi
sivitas akademika.
Penulisan buku atau
bahan ajar menjadi unsur penunjang dalam proses pembelajaran sehingga subjek
didik terfasilitasi dalam pengembangan pengetahuan.Namun tuntutan tersebut
menimbulkan persoalan baru ketika para dosen diperhadapkan pada tuntutan
pemenuhan administrasi berupa penyusunan SAP dan Silabus. Penerapan
managerialisme mewajibkan para dosen menyiapkan pelbagai perangkat
pembelajarannya. Bertolak dari kondisi di atas Schapper dan Mayson (2005) Managerialism,
internationalization, Taylorization and the deskilling of academic work:
Evidence from an Australian unversity, dalam P. Ninnes & M. Hellsten
(Eds.), Internationalizing higher
education. Critical explorations of pedagogy and policy, menampilkan sisi
lain dibalik sistem managerialisme. Bagi
mereka, efek managerialisme salah satunya adalah
menyebakan para dosen kehilangan banyak waktu untuk harus menyiapkan bahan ajar.
6.
Pasal 13
(butir 4): mahasiswa dapat menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan
kecepatan belajar masing-masing dan tidak melebihi ketentuan batas waktu yang
ditetapkan oleh perguruan tinggi.
Contoh: penerapan sistem
semester pendek (SP). Fenomena SP yang dikembangkan di beberapa perguruan
tinggi/universitas dimaskudkan untuk membantu mahasiswa yang memiliki kemampuan
lebih, namun kadang kala dapat diterapkan pula kepada mahasiswa yang masih
memiliki tunggakan mata kuliah yang cukup banyak. Untuk menyelamatkan mahasiswa
dari ancaman drop out, maka SP dilakanakan agar mahasiswa terfasilitasi
menyelesaikan pendidikannyanya sesuai batas waktu yang ditentukan oleh
perguruan tinggi/universiatas.
7.
Pasal
16 (butir 1-3): pendidikan vokasi.
Pendidikan vokasi
merupakan sebuah ambivalensi pemerintah dalam menyikapi kondisi pendidikan.
Pada satu sisi pemerintah melegitimasi pendirian program pendidikan vokasi
(pasal 16), namun di sisi lain pendidikan vokasi dipandang penting untuk
ditingkatkan melalui pendidikan akademik melalui program penyetaraan (pasal
39). Pada pasal 39 secara jelas ditegaskan bahwa lulusan pendidikan vokasi atau
lulusan pendidikan profesi dapat melanjutkan pendidikannya pada pendidikan
akademik melalui penyetaraan. Bertolak dari kedua pasal di atas maka esensi
pendidikan vokasi patut dipertanyakan: Apakah pendidikan vokasi relevan
dilaksanakan? Apa signifikansi pendidikan vokasi ketika diperhadapkan dengan
pendidikan S1/S2/S3?
8.
Pasal
31 (butir 1): pendidikan jarak jauh merupakan proses
belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai
media komunikasi.
Salah
dampak GATS terhadap sistem pendidikan tinggi adalah terjadinya pergeseran
sistem pendidikan reguler (tatap muka) dengan sistem pendidikan berbasis media
komunikasi/teknologi. Pergeseran ini dilatar belakangi oleh konsep pendidikan
jarak jauh sebagai upaya untuk
memberikan layana pendidikan tinggi kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat
mengikuti pendidikan secara reguler. Senada dengan ketentuan pasal 31 butir 1,
Ales (2006) Higher education and GATS.
Regulatory consequences and stakeholders’ responses telah menyebutkan
pengaruh GATS dalam konstek pendidikan (indonesia). Menurutnya: salah satu
bentuk campur tangan GATS dalam pendidikan tinggi adalah cross border supply, dalam bentuk penyelenggaraan kursus-kursus
secara jarak jauh dan secara online atau penyelenggaraan suatu mata kuliah
secara franchise komersial.
9.
Pasal
35 (butir 2): kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan
oleh setiap perguruan tinggi dengan mengacu pada standar nasional pendidikan
tinggi untuk program studi yang mencakup pengembangan kecerdasan intelektual,
akhlak mulia dan ketrampilan.
Penyusunan
kurikulum perguruan tinggi dikategorikan atas 2 bagian yakni kurikulum nasional
(KURNAS) dan kurikulum lokal (KURLOK). Kurikulum nasional terdiri dari mata
kuliah-mata kuliah yang telah ditetapkan oleh pemerintah sedangkan kurikulum
lokal terdiri dari mata kuliah-mata kuliah pilihan institusi/lokal. Sehubungan
dengan pemisahan di atas maka unsur yang cukup penting adalah kewenangan
istitusi dalam penyusunan dan revisi penyempurnaan kurikulum.
10.
Pasal
35 (butir 3): Kurikulum pendidikan tinggi wajib
memuat mata kuliah: agama, pancasila, kewarganegaraan dan bahasa indonesia.
Fenomena
pendidikan sekarang cenderung memandang sebelah mata terhadap 4 mata kuliah
sebagaimana yang ditetapkan oleh pemerintah. Praksisnya bahwa keempat mata
kuliah tersebut tidak dilaksanakan secara efisien dan menimbulkan persoalan
terkait batasan, maksud dan tujuan.
11.
Pasal
37 (butir 3): bahasa asing dapat digunakan sebagai
bahasa pengantar perguruan tinggi.
Collins,
C.S., & Rhoads, R.A. (2008). The World Bank and higher education in the
developing world: The cases of Uganda and Thailand. International Perspectives on Education and Society menyebutkan
salah satu gejala internasionalisasi adalah meningkatnya peran bahasa Inggris
sebagai bahasa akademik global. Peningkatan peran bahasa Inggris sebagai bahasa
akademik global menjadi ancaman terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional. Ancaman tersebut nampak dalam bentuk kurangnya kecintaan dan
kemampuan untuk mengembangkan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.
Kondisi riil dari ancaman tersebut nampak dalam komunitas studi/akademik dimana
kebanyakan mahasiswa cenderung mengalami kesulitan dalam mengaplikasikannya
baik secara verbal mapun non-verbal. Ironisnya, bahasa Inggris telah menjadi
sebuah bahasa massa yang populer dikalangan anak muda saat ini.
12.
Pasal
53 (butir b) & pasal 55 (butir 1): sistem penjaminan mutu ekternal yang
dilakukan melalui akreditasi; akreditasi merupakan kegiatan penilaian sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan berdasarkan standar nasional pendidikan tinggi.
Akreditasi
menjadi sebuah proyek pemerintah yang dilaksanakan demi penyesuaian mutu
pendidikan tinggi baik dalam lingkup nasional maupun internasional dengan
mengacu pada standar nasional. Persoalannya: apa isi dari standarisasi
nasional? Apakah standarisasi yang dimaskudkan adalah sebuah langka strategis
pemerintah dalam menyikapi arus globalisasi yang didominasi oleh berbagai
pandangan ekonomi neoliberal? Senada dengan keraguan tersebut, Collins, C.S.,
& Rhoads, R.A. (2008) dalam The World Bank and higher education in the
developing world: The cases of Uganda and Thailand. International Perspectives on Education and Societymenyebutkan
dengan jelas gejala internasionalisasi yang membias kepada perguruan tinggi nasional. Menurutnya: gejala
internasionalisasi berupa dominasi berbagai pandangan ekonomi neoliberal lebih
menekankan aspek akreditasi dan universalisasi. Artinya, perguruan
tinggi dan mahasiswa dipandang sebagai produk yang harus bisa diartikulasikan
dan dipertukarkan.
==========================================
Telaah
Dokumen-dokumen Bank Dunia
Higher
Education in Developing Countries: Peril and Promise 2000
1.
Longstanding Problems and New Realities
-
The Current Situationt
-
Expansion of Higher Education Systems
-
Differentiation of Higher Education Institutions
-
Knowledge Acceleration
-
Characteristicso f the Revolution
-
Implications forDeveloping Countries
-
Implications for Higher Education
2. Higher Education
and the Public Interest
-
The Public Interest:
-
The Influence of Rate-of-Return Analysis
-
Access to Higher Education
-
Research and the Public Interest
-
Higher Education and Democratic Values
(Pendidikan tinggi harus menjadi prioritas dalam sistem pendidikan
terutama pada negara-negara berkembang. Dengan kata lain, ada pembalikan
prioritas dimana pendidikan perlu menitik beratkan pada pendidikan dasar dan
menengah malah lebih memprioritaskan pendidikan tinggi)
3.
Systems of Higher Education
-
Outline
of a Higher Education System
-
Higher
Education Institutions
-
Desirable
Features of a Higher Education System
-
Role
of the State
-
Financing
a Higher Education System
(Sistem
dipakai sebagai landasan untuk merancang sistem pendidikan. Inilah sebuah visi
sosial dan etos penelitian dan publiblikasi.
Reserce University: Penelitian dan publikasi. prov & reg.Insts. profesional schools:
program profesi yang kemudian akan berkecimpung dalam lembaga formal. vocation
schools: pendidikan ketrampilan yang kemudian akan berkecimpung dalam
komunitas-komunitas penelitian. distance education: pemerataan
pendidikan.
4.
Governance
-
Major Principles of Good Governance: menghindari kesewenang-wenanga personal. Good Governance kadang-kadang
diperlukan untuk menata sistem secara khusus pada lembaga-lembaga yang
bercirikhas keagamaan
-
The Actual Situation
-
Tools for Achieving Good Governance
5.
Sciencea nd Technology
-
A Worldwide Issue
-
Background
-
Physical and Technical Resources
-
Human Resources
-
Local, Regional, and International Cooperation
-
Reforn of the InternationalI ntellectualP ropertyR
ightsR egime: penelitian perlu menghasilkan temuan-temuan baru
-
Strategies for Scientific Development
-
University-Industry Cooperation
6.
The Importanceof General Education
-
What
Is a General or Liberal Education?
o can
think and write clearly, effectively, and In some parts of the world, the term
"liberal education" has a conservative or tradicritically,
o has
a critical appreciation of the ways in ever, is not advocating the universal
applicawhich
o has
a broad knowledge of other cultures and other times,
and is able to make decisions based
on reference 't
o the wider world and historical forces than have shape it
o has
some understanding of and experience in thinking systematically about moral and
ethical problems; and has achieved depth in some field of knowledge
-
Who
Should Receive a Liberal Education?
o
a
basic grounding for all higher education
students, whatever type of institution thev attend or course they study;
o a
discrete and substantial component of generaleducation, which helps broaden of
students engaged in specialist, professional, or technical study; and
o an
intensive general education curriculum provides exceptionally promising,
intellectually oriented students with a solid tained, basis for their careers
or for advanced specialis education
-
Why
Is General Education Relevant for Developing Countries?
o Mendukung
individu-individu mempersiapkan berbagai
fungsi sosialnya with distingtion
o Warga
yang bertanggung jawab indentitas lewat suatu proses
o Menghindarkan
brain drain
-
What
Are the Obstacles?
o
Costs and benefits. Sejarah selayaknya
tidak perlu diajarkan.
o
Hanya untuk “brightest and most
motivated students”. Pendidikan selayaknya diperuntukan kepada para specialis
untuk mempelajari general study
o
Bisa sangat elitis?
o
Bisa mengancam status quo
o
Long-term public interest vs.Short term
public interest
Peran
Bank Dunia
1. Memposisikan
disi sebagai katalisator
2.
Program dipersiapkan dengan juklak yang
jelas dan dibiayai
3. Begitu
sudah berjalan lalu ditinggalkan
Komentar:
1. Reformasi
diinisiasi BD tidak bisa dan tidak akan pernah bisa mengantikan reformasi di
suatu negara
2.
Suatu negara harus mempunyai modalnya
sendiri (ekonomi, kultural dan politik) untuk reformasi
3.
Celakanya Indonesia tidak berfikir lebih
jauh dari pada Bank Dunia
4.
Indonesia rupanya hanya menjalankan sisi
kelembagaan saja tanpa tahu secara kritis argumentasinya
5. Akibatnya:
demoralisasi pendidikan. Praktek pendidikan yang bertentangan dengan semangat
pendidikan itu sendiri
===================================================
*dari kelas Kajian Universitas ilmu Religi dan Budaya USD Sanata Dharma
Collins, C.S., & Rhoads, R.A. (2008).
The World Bank and higher education in the developing world: The cases of
Uganda and Thailand. International
Perspectives on Education and Society, 9, 177-221.
- The global transformation of
higher education.
Globalisasi, yaitu “some manner or
form a shrinkage of time and space such that events happening in one part of
the world have the potential to impact other locales” (Giddens, 1999; Held,
1991), telah mengubah struktur pendidikan tinggi di dunia, juga di
Negara-negara sedang berkembang. Beberapa kekuatan penting yang telah mengubah
struktur pendidikan tinggi:
a. Pergeseran dari ekonomi berbasis
industri ke ekonomi berbasis pengetahuan.
Telah lahir suatu bentuk baru ekonomi global yang ditentukan oleh
“computerized, network based processes connected to the production and
management of information and/or knowledge.” Akibatnya,
jantung aktivitas universitas bergeser ke “science and technology, along with
research and development.”
b. Gejala internasionalisasi (Scott,
1998), yang tampak dalam tiga bentuk:
1) Pergeseran budaya mengikuti
kekuatan pasar global berupa “Westernization” atau “Americanization” atau
“McDonaldization” dunia.
2) Internasionalisasi pendidikan
tinggi sebagaimana tampak dalam “movement and exchange of students and scholars
transnationally” disertai tiga subgejala:
a) Lahirnya bentuk-bentuk baru
identitas yang didasarkan pada konstruksi “global citizenship.”
b) Meningkatnya kesempatan untuk
berbagi gagasan, termasuk ketergantungan yang semakin meningkat dalam
komunikasi transnasional dan produksi pengetahuan pada Internet.
c) Meningkatnya peran
bahasa Inggris sebagai bahasa akademik global.
3) Meningkatnya dominasi pandangan-pandangan
ekonomi neoliberal. Neoliberalisme sebagai “an economic philosophy stressing
increased transnational and multi-national trade, the rapid flow of capital
investments, limited government intervention (with the exception of ensuring a
free market), and a general rejection of public forms of services (often
discussed as “privatization’).”
Dampak neoliberalisme terhadap pendidikan tinggi tampak dalam empat gejala
kecenderungan:
a) Penekanan pada akuntabilitas dan
efisiensi. Berupa tuntutan terhadap lembaga publik termasuk perguruan tinggi
untuk meningkatkan produktivitas dengan prinsip “to do more with less.” Tekanan
untuk mengelola dana publik
secara lebih produktif dan transparan berdasarkan ekonomi yang berpusat pada
analisis cost-benefit.
b) Penekanan pada akreditasi dan
universalisasi. Layanan pendidikan tinggi dan siswa/mahasiswa dipandang sebagai
produk yang harus bisa dengan lebih mudah diartikulasikan dan dipertukarkan.
c) Penekanan pada “international
competitiveness and massification.” Untuk menanggapi “the need to compete
globally in a knowledge-based high-tech economy” dalam pasar global.
d) Penekanan pada privatisasi. Salah
satu unsur sentral kebijakan berbagai organisasi-antar-pemerintahan (IGOs)
adalah “the push to privatize public services, including higher education” dan
“the dissolution of public services in favor of privatization.” Contoh-contoh:
World Bank dan IMF menyokong kebijakan yang bertujuan meminimalisasi dukungan
bagi pendidikan tinggi seraya meningkatkan sektor swasta; upaya WTO untuk “to treat higher education services as a tradable commodity much
in the manner of any other cumsumer product.”
Gejala-gejala di atas menimbulkan
keprihatinan para penulis tentang “sejauh mana kebijakan World Bank masa kini
terhadap Negara-negara sedang berkembang secara memadai mendukung
berlangsungnya transformasi universitas yang sejalan dengan kebutuhan
pembangunan bangsa meliputi peningkatan partisipasi suatu bangsa dalam ekonomi
yang semakin berbasis pengetahuan di satu sisi, namun di sisi lain sekaligus
memperkuat pembangunan sosial dalam diri bangsa yang bersangkutan.”
- History and background of the
World Bank.
a. Dalam bulan Juli 1944 pemerintah
AS mengundang 44 negara berpartisipasi dalam sebuah konferensi di Bretton
Woods, AS, dengan tema utama “the creation of an international monetary fund
that would rebuild and stabilize international currencies severely damaged
during the war period.” Lahirlah the International Monetary Fund (IMF).
Dalam tahun 1945 dan sebagai
tindak lanjut lain dari konferensi Bretton Woods, dibentuk organisasi keuangan
kedua yang mengkhususkan diri pada pembangunan di Dunia Ketiga. Lahirlah The
World Bank.
Jadi, tujuan inti
konferensi Bretton Woods adalah “creating a worldwide banking and monitoring
system aimed at preventing weaker economies from dragging down the rest of the
world to be spearheaded by the IMF and the World Bank” (Goldman, 2005).
b. Diputuskan sebagai tradisi,
presiden World Bank harus warga Negara AS, presiden IMF harus warga Eropa.
1) World Bank di bawah Robert McNamara
(1968-1981). Sebagai orang yang peduli pada dunia sedang berkembang, kebijakan
World Bank didasarkan pada dua visi: pentingnya “lifting people out of poverty”
dan untuk itu, “rich countries had a moral responsibility for redistributing
wealth to poorer contries” (Goldman, 2005).
2) Sesudah McNamara dan seiring
dengan berlangsungnya “Reagan-Thatcher neoliberal revolution” terjadi
pergeseran:
a) Hutang Negara berkembang
meningkat, dan peningkatan itu hanya untuk membayar bunga hutang lama.
b) World Bank menuntut pemerintah
Negara-negara (khususnya penghutang) untuk mereorganisasi dan mereorientasi
ekonomi negara mereka mengikuti arahan World Bank yang berakibat langsung pada
“berkurangnya secara dramatis pengeluaran untuk penyelenggaraan layanan
kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.” Ada yang menyebutnya sebagai
“economic genocide” atau pembantaian bangsa-bangsa secara ekonomis (Goldman,
2005).
c) Selanjutnya perubahan-perubahan sebagaimana
didikte oleh revolusi neoliberal tersebut dijadikan “conditionality” atau persyaratan
bagi Negara-negara yang mengajukan pinjaman ke Bank Dunia, yaitu “policy
changes stipulated as a prerequisite to the approval of , or continued access
to, a grant or loan, or to subsequent assistance” (Killick, 1997). Kebijakan
ini semakin kuat saat Bank Dunia dipimpin oleh Paul Wolfowitz pada 2005 yang
menguatkan kebijakan persyaratan tersebut sebagai “Washington Consensus” dan
digantikan olehj Robert Zoellick mulai pertengahan 2007.
c. Bank Dunia dikendalikan oleh
sebuah Executive Board of Directors berisi perwakilan dari 185 negara anggota.
Hak suara perwakilan antara lain ditentukan oleh besar iuran yang diberikan
oleh masing-masing Negara. Ada lima Negara dengan iuran terbesar, maka juga memiliki
suara yang dominan, yaitu AS, Jepang, Jerman, Prancis, dan Inggris. Jadi, “the
structure of the Bank provides wealthier nations the greatest influence, given
their ability to make larger contributions.”
- Evolution of the Bank’s
educational policy.
Sejarah keterlibatan Bank Dunia
dalam pembangunan pendidikan diawali dengan pergeseran dari semula berfokus
pada pemberian bantuan untuk pembangunan infrastruktur ke bantuan untuk
pembangunan human capacity yang
didasarkan pada konsep human capital.
a. Pergeseran ini terjadi pada 1980
dan dipimpin oleh George Psacharopoulos, salah satu pakar ekonomi utama Bank
Dunia waktu itu. Konsep “human capital” menyatakan bahwa:
1) “education enables individuals to
be more productive and consequently they become more likely to contribute to
improved economic conditions within a society”
2) “the success of education may be
analyzed through rate-of-return (ROR) analyses.
3) Berdasarkan
penelitian-penelitiannya, Psacharopoulos menemukan bahwa
a) “primary education to be a better
investment than secondary or higher education, based on the fact that unit
costs for primary education are small relative to the extra lifetime income or
productivity associated with literacy”
b) Sebaliknya tentang university
education, “unit costs are high relative to the extra lifetime income.”
Akibatnya, kebijakan bantuan Bank Dunia bagi pembangunan pendidikan selama 25
tahun di bawah human capital theory arahan Psacharopoulos, “university education has a
negative effect on equity and that too much of a typical national budget is
allocated to an area with a low rate of return.”
4) Berdasarkan kebijakan di atas, di
lingkungan Bank Dunia “funding and policy decisions ‘disadvantaged higher
education.”
b. Kelompok pakar lain di Bank Dunia
dimotori oleh Birdsall (1996) berpendapat berbeda:
1) “higher education was key to
advancing poverty reduction and economic development” dan “higher education
offers the potential to increase a country’s engagement in research and
knowledge production.”
2) Akibatnya, memasuki tahun 2000-an
“the Bank has essentially shifted its discourse about higher education.”
Pergeseran ini didasarkan pada “a more sophisticated analysis fo the utility of
higher education to a nation’s economic development.”
- Kritik terhadap Bank Dunia.
Kritik terhadap Bank Dunia
berkisar pada tiga isu:
a. Menerapkan kebijakan yang memberikan
focus secara eksklusif pada pendidikan dasar dan menengah, dengan akibat
menimbnulkan “disinvestment in higher education.”
b. Penekanan ekspansi pada sector
swasta, dengan akibat mengorbankan kepentingan-kepentingan public.
c. Menghalangi Negara-negara yang
sedang berkembang untuk berpartisipasi di dalam ekonomi pengetahuan dengan
cara-cara yang sesuai secara cultural, termasuk bentuk-bentuk partisipasi yang
mengembangkan “indigenous ingenuity and research.”
silahkan, mangga telaah hal 23-24 di link ini:
http://direktori.smkn2tarakan.net/Majalah%20Kemdikbud/Edisi%204%20-%202013.pdf
Komentar
Posting Komentar