Ketika menulis proposal tesis yang saya kerjakan hampir satu tahun, saya sekarang lebih melihatnya sebagai hasil perencanaan atau lebih tepatnya hasil dari bocornya perencanaan daripada perencanan itu sendiri, dan mungkin lebih tepat, bocornya terlalu banyak. Tapi dari bocoran itu, akhirnya saya memutuskan untuk menjadikannya sebagai sebuah perencanaan yang baru, meskipun tidak baru sama sekali. Diawali dengan kalimatkalimat ST. Sunardi di dalam proses ujian proposal waktu lalu: “Untuk apa teater dibutuhkan? Apa yang teater bisa berikan? Kamu seperti jadi jauh dengan teater, belum terlalu kuat keyakinanmu terhadap teater”. Pertanyaan dan asumsi mendasar sekaligus subtantif tersebut dilontarkan kepada saya setelah mengajukan proposal tesis dengan judul Bayang-Bayang Kemiskinan: analisis arena dan kritik ideologi teater indonesia di dalam arena lembaga donor, studi kasus Hibah Seni Inovatif Yayasan Kelola.
Pada proposal tersebut saya membuat hipotesa awal bahwa lembaga donor kebudayaan semacam Yayasan Kelola adalah pihak yang berhasil menelisik dan mengambil bagian secara tidak langsung dalam pembentukan etos kelompokkelompok teater. Baik yang pernah melamar atau yang tidak melamar. Hal itu bisa dilacak secara sederhana melalui syarat dan kriteria yang harus dipenuhi bila ingin mendapatkan dana tertentu, lengkap dengan efek jangka panjang lainnya seperti pengakuan sosial dan institusional dari yayasan sendiri (yang menjadi legitimator), kritikus, media massa, dan kelompokkelompok teater lain. Jadi ada perubahan struktur arena kekuasaan yang menentukan berbagai pengambilan posisi, juga strategi penempatan modal dan berbagai pengakuan di arena teater. Dan itu terjadi bukan karena ingin diakui secara legitimit oleh lembaga donor pertama, tapi juga secara sosial, yakni oleh komunitas atau seniman teater lain yang juga ikut ‘meramaikan’ perebutan atau kompetisi Yayasan Kelola yang notabene sebagai lembaga kedua, yang bertugas menerima dan mendistribusikan dana.
Rencana awal tesis tersebut adalah usaha saya mencari, menemukan kemungkinan cara bertahan, sekaligus belajar dari berbagai pelaku atau komunitas teater ketika ada dalam arena kekuasaan ekonomipolitik lembaga donor kebudayaan, baik disadari ataupun tidak disadari. Hal tersebut menjadi kegelisahan saya setelah mencoba mengingat kembali pengalaman perjalanan saya di teater baik secara praksis ataupun di dalam literatur yang saya baca. Ada sebuah etos, yakni yang disebut mentalitas, daya tahan untuk tidak kompromi dengan kekuasaan. Daya tahan yang diyakini bisa menutup lubang yang disebut ‘kemiskinan’ pelaku teater sendiri ketika mencipta. Yang paling kentara mempengaruhi saya adalah buku Pertemuan Teater 80, Wahyu Sihombing yang menjadi editor di dalam buku itu jelasjelas mendefinisikan bahwa Pertemuan Teater 80 adalah pertemuan pimpinan teater yang juga sutradara atau penulis naskah yang mendiskusikan konsep kerja teater masingmasing komunitas ketika berhadapan dengan dunia teater itu sendiri yang kurang dalam segala hal. Kurang pemain yang baik, penonton, fasilitas biaya, dan yang lainnya.
Tapi ternyata baru saya sadari juga, proposal awal tersebut lebih banyak menjauhkan saya dari teater, karena seolaholah saya tidak percaya terhadap teater, baik sebagai yang mempunyai pengalaman mencipta ataupun penonton. Karena apa? Karena saya sepertinya dendam terhadap Yayasan Kelola dan mencari musuh tapi tidak seimbang, begitu menurut pandangan ST. Sunardi setelah membaca dan menguji proposal tesis saya, yang kemudian bertanya dan mengemukaan asumsi: Untuk apa teater dibutuhkan? Apa yang teater bisa berikan? Kamu seperti jadi jauh dengan teater, belum terlalu kuat keyakinanmu terhadap teater”.
Pascaujian proposal tesis saya merasa perlu menghentikan sejenak membaca banyak hal di luar diri saya dan kemudian membaca lagi pengalaman diri sendiri dan pembacaan ST. Sunardi terhadap proposal saya. Hingga pada titik tertentu saya kembali ke Bandung, kota dimana pengalaman, pengetahuan dan (kepercayaan) saya kepada dan di dalam teater terbentuk. Saya membaca banyak hal ketika di Bandung, termasuk tulisan/artikel yang saya buat selama belajar di ilmu Religi dan Budaya (iRB) dari tahun 2012. Kebanyakan tulisan tersebut berusaha menjawab pertanyaan atau mengganggu asumsi saya sendiri terhadap apa yang dilakukan dan diyakini oleh orangorang teater di sekitar saya, terutama di lingkungan pendidikan tinggi seni STSI Bandung. Misalnya dalam Kajian Pascakolonial, dengan judul Mencari Teater Modern Indonesia Versi Arsul Sani. Tulisan tersebut bertujuan untuk memeriksa anggapan saya sendiri terhadap keberjarakan pertunjukan drama/teater dengan penontonnya yang semakin menganga, yang bukan diakibatkan oleh sesuatu yang ada di luar dirinya dalam kondisi kebeginiannya, tapi terjadi dan berpengaruh di dalam tubuh teater itu sendiri secara historispolitis. Di mana lewat posisinya, kepengaruhannya dan pemikiran Asrul Sani munculah berbagai naskah terjemahan sastra drama Barat, metode akting realisme Stanislavskian (seniman teater Rusia), dan infrastruktur teater.
Tidak jauh berbeda, tulisan/artikel saya di mata kuliah Kajian Budaya II, Koalisi Merebut Ruang Publik: Sebuah Gagasan Atas Krisis Organik Korespondensi Teater. Lewat perspektif Henry A. Giroux: Performing Cultural Studies dan Robert Samuels: Pendidikan Postmodern dan Etika Politik, tulisan tersebut bertunjuan untuk tidak lagi mempertanyakan secara historispolitis munculnya infrastruktur dan suprastruktur teater, tapi mempertanyakan fungsinya dalam menjawab berbagai krisis kebudayaan di ranah publik, teater sebagai ruang publik, dan seniman teater sebagai intelektual publik di dalam hegemoni rezim globalisasi (kapitalisme) media. Ketika seniman teater modern dari dulu (setelah kedaulatan kemerdekan RI) sampai sekarang sepertinya takut kehilangan publik/penonton, sebab masalahnya kian pelik, terutama karena masih dengan bayangbayang kemiskinannya dia harus berteater di dalam kekuasaan dan modal yang tidak lagi tunggal seperti negara, tapi yang plural, seperti kekuasaan dari Yayasan/Lembaga Donor Kebudayaan.
Saya kemudian membayangkan, bagaimana lembaga pendidikan seni (teater) dengan para pemikir atau seniman akademisnya mengambil peran penting dalam membuat formasi hegemonik dan memunculkan imajinasi sebuah gerakan kebudayaan baru dalam menjawab krisis organik di dalam korespondensi teater dengan penontonnya. Dengan menitikberatkan peran sentral lembaga pendidikan seni di dalam menjawab krisis tersebut karena pengayaan infrastruktur dan suprastrukturnya, bukan berarti koalisi ini digunakan untuk penyebaran identitas lembaga tersebut. Tapi, merupakan semacam blok historis yang di dalamnya terdapat berbagai kelompok teater baik dari dalam maupun luar kampus yang menyatu di dalam suatu formasi diskursif.
Sambil lalu mengerjakan artikel Kajian Budaya II dan sampai pada akhirnya nama atau istiah ‘intelektual publik’ selalu saya dengar dan mencoba untuk memaknaninya berkali-kali di kelas, di buku-buku lain atau di sekitaran lingkungan iRB, saya kemudian meniatkan diri untuk berselancar di dunia maya untuk mencari hubungan antara seniman dan intelektual publik. Hingga pada waktu tertetntu saya menemukan situs http://culturework.uoregon.edu/, sebuah situs berisikan publikasi elektronik dari University of Oregon Center for Community Arts and Cultural Policy, tang mempunyai misi sebagai untuk memberikan informasi dan berorientasi pada budaya, seni, pendidikan, dan masyarakat. Di dalam situs tersebut saya menemukan artikel Jodi Kushins: Recognizing Artists as Public Intellectuals: A Pedagogical Imperative, dalam artikel tersebut saya menemukan pengetahuan baru untuk lebih memaknai relasi antara seniman dan intelektual publik, setelah Henry A. Giroux menekankan bahwa pentingnya berpolitik dalam tradisi kajian budaya, yakni mempunyai misi perubahan sosial setelah terinspirasi karya performance art Suzanne Lacy sebagai model bagi pengembangan kajian budaya yang bekerja secara interdisipliner (keluar dari imperium teks dan lembaganya), performatif dan oposisional untuk menghasilkan sebuah perubahan sosial.
Jodi Kushins dalam artikel tersebut ingin menjelaskan sekaligus berdisikusi dengan membuat sub judul awal dengan sebuah kalimat tanya: Why Recognize Artists as Public Intellectuals? Melalui pertanyaan itu Kushins menjelaskan pentingnya memposisikan seniman sebagai intelektual publik, yakni sebagai pendidik yang memberikan wawasan dan melahirkan berbagai pertanyaan tentang dunia, dan penonton sebagai peserta didik yang aktif membuat makna dari karya-karya seni yang dikonsumsi. Tapi kemudian Kushins menyayangkan bahwa masih sangat sedikit publik (Amerika) yang memahami kompleksitas peran seniman atau potensi aspek pedagogis dari seni. Hingga untuk mencari masalah ini Kushins mengemukakan dua pertanyaan: Apa yang masyarakat harapkan dari seni? Dan, bagaimana seniman membayangkan dan memposisikan diri di dalam masyarakat? Dengan kemudian mengutip beberapa tokoh yang mewacanakan ‘intelektual publik’ dan aspek pedagogis dari seni seperti: Stanley Fish, Edward Said dan Carol Becker, Kushins (melalui kutipan Becker) membahas lebih jauh bagaimana pendidikan seni(man) perlu bisa membuat ‘seniman’ membayangkan diri mereka sebagai warganegara di dalam dunia, tidak hanya dunia seni.
Apa yang dimaksud menjadi warganegara dan apa yang dimaksud tidak hanya di dunia seni? Apakah menjadi warganegara dan menjadi ‘wargaseni’ adalah sesuatu hal yang bereda, terpisah? Tulisan Kushins ini memang tidak diperuntukkan membuat pertanyaan tersebut muncul dibenak saya. Tapi memang dua istilah, menjadi warganegara dan ‘wargaseni’ dalam konteksnya adalah konsekuensi dari kesenjangan yang diakibatkan pendidikan seni dan seniman itu sendiri yang umumnya difokuskan pada studi dan pengembangan karya yang dibentuk secara formal dan berdasarkan ekspresi diri (khususnya seni rupa). Apakah perjalanan saya mencari dan menemukan gagasan dari Giroux, Samuel dan Kushins begitu krusial bagi pembacaan saya yang menyebutkan adanya krisis korespondensi teater dan publiknya di Bandung? Pertanyaan ini terus saya bawa, sambil membaca tulisan-tulisan lain di jurnal Culture Work ini yang juga mempunyai kosentrasi pada pembuatan kebijakan dan pengembangan komunitas seni dan budaya. Imajinasi saya terus bertumbuh untuk merasa perlu pulang dan berusaha menjadikan diri saya lebih merasa betah di Bandung, ditambah di semester 3 saya bertemu dengan kuliah Ekonomi Politik Seni yang berkedudukan untuk melihat seni tidak terlalu naif dan agak detail dari hubungan kekuasaannya, yakni melihat seni sebagai komoditi. Proposal tesis awal saya tentang Hibah Seni Yayasan Kelola merupakan salah satu efek dari serangkaian pertemuan saya dengan berbagai perspektif yang saya temui tadi.
Dua contoh pembacaan di atas menunjukan, pengalaman belajar saya di iRB Universitas Sanata Dharma memberi banyak pengaruh di dalam cara saya membaca dan memberikan pandangan dan membayangkan sebuah kondisi terhadap fenomena yang saya gelisahi. Tetapi ketika saya pulang ke Bandung dan bertemu lagi dengan temanteman di teater, baik yang terlibat secara langsung atau tidak, saya kemudian merasakan perspektif atau gagasan atas sebuah fenomena yang saya gelisahi tersebut sepertinya masih terlalu jauh, susah, tidak dapat begitu saja mengena pada setiap wajah pengalaman yang ditemui, termasuk rencana proposal tesis awal saya mengenai arena teater yang diciptakan oleh Hibah Seni Yayasan Kelola. Jadi, sambil terus pulang pergi BandungYogyakarta, saya sering menemukan diri kadang sangat bisa berbahasa, tapi kadang juga kehilangan bahasa ketika dihadapkan wajahwajah pengalaman yang begitu kompleks. Hal terebut muncul terutama ketika saya berada relatif dekat, bahkan kadang juga terlibat dengan beberapa orang yang sedang melakukan sesuatu dengan teater.
Proposal tesis awal saya tentang Yayasan Kelola bisa jadi contoh yang baik, sebab sebagai proposal yang harusnya meyakinkan orang lain di luar diri saya terhadap apa yang akan saya kerjakan malah menimbulkan pertanyaan dan asumsi yang sangat mendasar. Terlepas dari kemungkinan adanya keterbatasan saya dalam menulis, pertanyaan dan asumsi tersebut mengingatkan saya bahwa saya adalah salah seorang yang dibangun secara sosial oleh nilainilai dan aktifitas dari teater di dalam ruang dan waktu tertentu, terutama di Bandung. Saya berani membuat kesimpulan, sebagian besar seniman atau komunitas teater di Bandung (baik yang berlatang akademik atau bukan), begitu terbuka terhadap Yayasan Kelola, saya sendiri mengalami hal yang sama terutama sebelum masuk IRB. Terlebih karena memang semejak lama, ekonomi di teater adalah ‘ekonomi rugi’ atau ‘ekonomi absurd’, dan memang di Bandung tidak ada dewan kesenian atau lembaga yang mengurusi kebijakan bagi komunitas teater di wilayah strategi budaya, ekonomi dan sebagainya ketika berhadapan dengan pihak lain, seperti swasta atau pemerintah. Kalaupun ada, lembaga itu bergerak seperti roh halus dan didirikan untuk diprivatisasi pendirinya sendiri dan untuk kelompoknya sendiri. Sampai di Bandung muncul sebuah ada istilah: teater lintas donasi, istilah untuk teater yang begitu gampang memproduksi karyakarya dengan bantuan pihak tertentu tapi kualitasnya begitubegitu saja. Ya, memang kualitasnya yang lebih disoroti (tidak pada kerjasama dan bantuan dari pihak lain), kebanyakannya dari kalangan seniman itu sendiri. Seperti ada kecemburuan dari sebuah kompetisi untuk meraih modal ekenomi dan sosial yang secara tidak langsung disetujui.
Dan di sisi lain, pengalaman estetis, berkesenian di wilayah praksis juga tidak bisa dilepaskan begitu saja. Sebab pengalaman ini jauh lebih mengena, bisa menubuh di dalam pelaku teater itu sendiri. Pengalaman ini jauh lebih bisa melahirkan sebuah keyakinan atau bahkan membunuh sebuah keyakinan yang sudah menubuh sebelumnya. Jadi, saya akhirnya mempunyai kesimpulan sementara, bahwa apapun titik perhatian saya terhadap sebuah fenomena di teater (Bandung) yang mempunyai relasi dengan kekuasaan tertentu tidak semuanya atau bahkan kebanyakan tidak bisa dibicarakan dari luar ke dalam. Misalnya seperti membicarakan genealogi pendidikan formal teater atau teater sebagai ruang publik dan senimannya sebagai intelektual publik di dalam krisis ruang publik karena rezim industri media.
Ada perbedaan yang sangat mencolok yang saya alami sampai hari ini, entah itu adalah sisi ambigu, paradoksal, aneh, atau memang tidak disadari dan tidak ditoleh sama sekali. Antara wajah-wajah dari pegalaman saya berteater, bertemu dengan berbagai orang di dalam pergaulan teater dan literatur teater Indonesia yang saya baca, yang banyak ditulis selama Orde Baru, masa di mana saya sama sekali belum pernah bertemu dengan nama atau istilah ‘teater’. Apakah wajah pengalaman di dalam pergaulan teater adalah begitu sama sekali lain di dalam setiap literatur yang saya baca? Apakah ada perbedaan ‘generasi’ yang ditandai oleh pergantian periode pemerintahan dalam skala negara juga berpengaruh terhadap situasi di dalam pergaulan teater yang membuat perbedaan itu begitu terasa?
Pengalaman tersebut muncul karena saya kerap sering menemukan keyakinan yang begitu menggebu terhadap teater (mis: teater jiwaku, teater aku terserah aku, teater tanpa batas). Ada juga yang tidak begitu yakin tetapi ia tetap menjadi pelaku teater sambil terus berkeringat, mengikhlaskan ditinggal kekasihnya, tidak diakui keluarganya sebagai anak yang berbakti dan mempunyai masa depan, menghabiskan waktunya, dan mungkin seluruh uang sakunya untuk teater. Tetapi ada juga yang begitu sinis terhadap teater, mencacinya, melaknatnya (teater keparat!, teater anjing!), tidak mau berteater tetapi mereka tetap berteater, berbicara keyakinannya terhadap teater menurut versinya sampai bisa menegasi keyakinan orang lain atau membuat sesorang melakukan pemaknaan tertentu terhadap teater (walaupun sementara). Hingga pada suatu saat mereka berpencar karena begitu bosan dengan teater atau menemukan seolaholah ada sesuatu yang lebih nyata di luar sana daripada terus bergelut dengan teater, tapi pada titik tertentu ada perasaan rindu, lalu meraka berkumpul dan mencari sebuah garapan dimana mereka bisa terlibat, dan berteater lagi. Di titik inilah saya kemudian meyakinkan diri untuk mebuat penelitian tentang beragamnya pemaknaan terhadap teater yang berlaku di dalam kehidupan komunitas teater pascaOrde Baru di Bandung untuk mencari, belajar, dan menempatkan diri di dalam bagian sejarah saya sendiri.
ah..
Komentar
Posting Komentar